Mohon tunggu...
Ridha Afzal
Ridha Afzal Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

If I can't change the world, I'll change the way I see it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ramadan, Waisak dan Pedagang Pisang di Pasar Besar Malang

7 Mei 2020   01:00 Diperbarui: 7 Mei 2020   00:58 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kolase. diolah dari holidaystarindonesia.com

Tahun lalu, dalam perjalanan ke Yogya, saya sebenarnya ingin mampir ke Borobudur, melihat dari dekat sisa-sisa kebesaran bangsa kita yang dibangun oleh Raja Simaratungga pada tahun 824 Masehi. Beliau adalah Raja Mataram kuno dari Dinasti Syailendra yang beragama Budha. 

Borobudur merupakan candi atau kuil terbesar di dunia sekaligus monument terbesar di dunia (Wikipedia, 2020). Hanya sebatas itu yang saya tahu tentang kisah kebesaran kerajaan Budha di Indonesia, 12 abad silam. 

Pada saat yang sama, Islam dipercaya sudah datang di Aceh, tempat asal saya. Ada tiga teori yang berbeda terkait kedatangan Islam ke negeri ini menurut beberapa literature yang pernah saya baca.

Teori Gujarat mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 sebagaimana dikatakan oleh Snouch Hurgronje (Suryanegara, 1996). 

Sementara Teori Mekkah menyebutkan Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah, sekitar abad ke 7-8 Masehi yang langsung dari Arab. J.C. Van Leur mengatakan dalam bukunya "Indonesia: Trade and Society", pada tahun 674 Masehi di pantai barat Sumatera sudah terdapat pemukiman Arab Islam dengan perkiraan bahwa bangsa Arab telah membangun pemukiman perdagangannya di Kanton pada abad ke-4 Masehi. Sedangkan Teori  ketiga,

 Teori Persia, sebagaimana dikemukakan oleh Suryanegara (1996) bahwa pelopor Teori Persia di Indonesia adalah P.A. Hoesein Djajaningrat menyatakan datangnya Islam ke Indonesia seiring dengan berdirinya Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 Masehi. 

Dari ketiga teori ini, teori kedua yang mendukung masa kedatangan Islam ke Nusantara bersamaan dengan masa dibangunnya Candi Borobudur di Jawa.

Meski demikian, dalam sejarahnya, tidak pernah terjadi konflik antara penganut agama Budha dan Islam di Indonesia. Artinya, penganut kedua agama tersebut sudah teruji berabad lamanya hidup berdampingan dan rukun. 

Pernah ada keprihatinan kita terhadap isyu Rohingya tahun-tahun lalu, akan tetapi ditegaskan bahwa yang terjadi di sana adalah konflik non-agama. 

Kejadian ini tidak menjadikan kedua umat di Indonesia terprovikasi. Hubungan Islam dan Budha di Indonesia ini membuktikan adanya interaksi yang utuh yang telah melahirkan dua peradaban besar dunia.

Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad SAW membawa Islam yang bermula di Arab, beliau SAW hidup dari tahun 570-632 Masehi, memberikan suri tauladan yang baik tentang kehidupan dalam keberagaman ini. 

Sedangkan Budha Shakyamuni yang hidup di India bagian tengah-utara dari tahun 566-485 Sebelum Masehi, pula mengajarkan hal yang sama. Pada saat ini, interaksi di mana umat Islam dan Budha hidup berdampingan di wilayah yang sama, ada di tujuh Negara: Bangladesh, Tibet, Ladakh, Thailand, Malaysia, Myanmar dan Indonesia (Arromadloni, Kolom, Detik News, 15 Sep. 2017).

*****

Sekitar 5 km dari tempat saya tinggal, ada kuil kecil indah, yang semula saya tidak tahu ini tempat apa. Maklumlah, kami orang Aceh tidak pernah melihat kuil di Tanah Rencong. 

Saya melihat Kuil, Klenteng, Pura sesudah keluar dari sana, saat ke Bali dan Pulau Jawa. Saya bertanya kepada seorang teman, tempat apa itu, dijawabnya tempat peribadatan orang Budha. 

Dari situ kemudian wawasan keragaman religi saya bertambah. Bahwa Indonesia ini sungguh besar dan kaya, bukan hanya keberagaman suku dan budaya, namun juga toleransi terhadap kebhinnekaanya.  

Tanggal 7 Mei 2020 ini merupakan hari Raya Waisak (Waisaka) yang juga dikenal dengan nama Visakah Puja di India, Vesak di Malaysia dan Singapore, dan Vesak di Srilanka, tentu sangat dirindukan oleh umat Budha. 

Sebagaimana umat Islam merindukan Ramadan serta menyambut Festival Idul Fitri. Sayangnya, dalam kondisi wabah Covid-19 seperti ini, kita tidak bisa berkumpul bersama, menunaikan ibadah di Kuil bagi umat Budha dan Tarawih seperti tahun-tahun silam bagi umat Islam selama Ramadan ini.

Namun demikian, saya pribadi meyakini kita memiliki kesamaan dalam hal optimisme. Baik selama Ramadan bagi umat Islam, maupun Hari Raya Waisak bagi umat Budha, bahwa hidup harus jalan terus. 

Kita bersama harus tetap memiliki semangat hidup dan memperjuangkan kehidupan meski berada di tengah wabah. Optimism ini harus kita jaga, baik yang berhubungan dengan kebersamaan antar umat beragama secara eksternal, maupun sesama agama secara internal. Optimisme inilah yang menuntun kita bersama mencapai tujuan. 

Terutama dalam situasi sulit saat ini di mana kita dihadapkan pada wabah yang bisa menurunkan semangat, yang pada glirannya bisa mengganggu kepentingan komunitas serta kebersamaan antar umat beragama.

Di tempat kami tinggal memang tidak ada umat yang beragama Budha. Meskipun demikian tidak menghalangi warga di tempat kami untuk tetap mengedepankan rasa saling menghargai antara umat beragama. 

Sebagaimana yang diajarkan dalam Islam. Rasulullah SAW mengajarkan untuk melindungi warga Yahudi dan Nasrani, ketika Makkah berada dalam kekuasaan Islam. 

Bahkan mereka yang mengganggu ketentraman kedua umat yang bukan beragama Islam pun, dikenakan hukuman. Ini menandakan bahwa Islam mengedepankan kebersamaan, perdamaian dan persatuan. Tiga landasan dasar ini yang memperkuat optimisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, demi menjaga kehidupan yang aman, nyaman, tenteram dan sejahtera.  

*****

Kemarin pagi saya pergi ke Pasar Besar Malang untuk membeli buah Jambu. Kami tempuh perjalanan sekitar 30 menit dari rumah, dengan motor. Penjualnya seorang laki-laki, sudah tua, kemungkinan di atas 60 tahun umurnya, kurus, berperawatan kecil.

Saat saya tanya asal mana beliau, dijawabnya dari Dampit. Sekitar 40 km arah selatan kota Malang. Saya tanya lagi jam berapa tiba di Pasar Besar ini, beliau bilang sesudah Salat Subuh beliau berangkat. 

Jika saya lihat secara fisik, membuat kita tidak sampai hati. Buah-buah yang dijual pun jauh dari kualitas yang kita lihat di supermarket. Pisang dan buah Jambu. 

Saya hanya membeli dua kilogram. Tentu saja tanpa saya tawar. Bahkan tidak saya minta sisa kembalian uangnya. Sungguh, bukan karena saya berlebihan. Akan tetapi beliau memang membutuhkan bantuan dengan kita beli dagangannya.

Saya menyadari ada banyak orang seperti beliau yang mengalami nasib yang sama. Di tengah-tengah kondisi seperti ini, namun masih memiliki semangat atau optmisme guna memperjuangkan hidup dan kehidupannya. 

Saya yakin, kita yang bernasib lebih baik jika mengaplikasikan rasa optimisme dalam kehidupan beragama ini dalam bentuk yang lebih konkrit, yaitu membantu mereka yang membutuhkan, tidak akan melihat apa latar belakang agama orang yang akan kita bantu, sebagaimana penjual pisang tersebut.

Inilah sebenarnya esensi Waisak dan Ramadan. Waisak mengajarkan kedamaian pada sesama seperti yang diemban oleh Budha Gautama. 

Sedangkan Ramadan mengajarkan, bukan hanya kuat menahan lapar dan dahaga. Melainkan harus kuat pula dalam menebarkan semangat untuk membantu sesama yang membutuhkan, tanpa melihat latar belakang agama atau kepercayaannya.  

Malang, 7 Mei 2020.
Ridha Afzal
WA: 0823-6815-5600

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun