Begitu kasus Corona menyeruak, ada hal mengganggu yang belum bisa saya jawab. "Bisakah saya nanti pulang kampong menjelang Lebaran?" Setahun lebih sudah di perantauan, mungkin saya termasuk orang yang lebay. Masih 'mbok-mbok'en' orang Jawa bilang.Â
Cengeng. Bukan. Bukan itu sebenarnya maksud saya. Ada tradisi masyarakat Aceh yang sangat kental melekat dalam keluarga kami. Yakni berkumpul kala Idul Fitri tiba.Â
Lagi pula ini kali kedua Lebaran saya tidak bersama mereka. Maklumlah sebagai anak pertama, ada rasa tanggungjawab yang juga menempel dalam batin ini, yang tidak mampu saya curhat kan. Â
Selesai wisuda tiga tahun silam, tidak ada kebahagiaan sejati kecuali segera mendapatkan pekerjaan. Barangkali itu menjadi impian semua wisudawan.Â
Saya jalani pendidikan Keperawatan selama 5 tahun di Banda Aceh. Biayanya cukup mahal bagi kami juga sebagian besar teman-teman, yang berasal dari kalangan menengah mayoritas.Â
'Untung' dulu saya tidak diterima di Kedokteran. Coba saja masuk Fakultas Kedokteran, bisa 'keteteran' kuliah hanya karena beratnya membayar biaya semesteran. Saya terima ini dengan lapang dada, sebagai garis hidup. Garis hidup selalu ada hikmahnya.
Saya ikuti perkembangan kasus Corona dari hari ke hari, naik turunnya jumlah kasus yang meninggal, yang diduga atau yang dirawat. Sebagai seorang Perawat, tentu paham dengan persoalan ini.Â
Selain itu, saya juga ikuti perkembangan travel, ongkos tiket, hingga kebijakan Pemerintah baik pusat maupun daerah berkenaan dengan karantina dan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).Â
"Untuk apa saya pulang jika harus dikarantina 14 hari?" Demikian pertanyaan yang selalu menghantui. Dari hari ke hari. Travel bag yang saya letakkan disudut kamar, andai saja mampu bicara, mungkin pula akan protes,: "Bang...kapan kita akan pulang?"
Sebenarnya Mamak juga sudah menyuruh pulang. Saya mengerti perasaan seorang ibu. Saya juga mengerti, pasti beliau akan bersusah payah untuk mencari dana buat bayar ongkos pulang.Â
Cinta ibu terhadap anak memang tidak kenal batas. Sebaliknya, kita ini, anak-anaknya kadang terlalu banyak batasannya. Mulai dari dana terbatas, waktu terbatas, hingga situasi kondisinya yang terbatas.