Pada tahun 1959, ada sebuah desa Bernama ujung-bone di tanah Bugis, lahirlah seorang laki-laki sederhana yang tumbuh dengan berpegang pada prinsip-prinsip keagamaan. Ia bukan hanya seorang ulama atau cendekiawan, namun juga sebagai jembatan pengetahuan yang luas untuk terus memperbarui makna-makna spiritual bagi umat muslim. Beliau adalah Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., putra dari pasangan Andi Muhammad Umar dan Andi Bunga Tungke. Kakeknya, Muhammad Ali Daeng, adalah pendiri Gerakan Muhammadiyah di Makassar.
Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat inspiratif, menghasilkan banyak karya yang membuka cakrawala berpikir. Siapa sangka di balik tatapan teduh dengan gaya bicara yang datar itu telah berhasil menyelesaikan 42 karya sejak masa mudahnya.
Prof. Nasaruddin memulai pendidikan dasarnya di SDN Ujung-Bone (1970), kemudian melanjutkan ke Madrasah Ibtida’iyah selama 6 tahun di Pesantren As’adiyah Sengkang (1971). Setelah itu, beliau meneruskan pendidikannya di PGA 4 Tahun dan PGA 6 Tahun di pesantren yang sama (1974 dan 1976).
Sejak menjadi mahasiswa, ia gemar menulis. Sebagai anak pertama dari delapan bersaudara dengan ayah seorang guru SD saat itu, ia turut berkontribusi membesarkan dan menyekolahkan adik-adiknya. Cara ia menghidupi diri dan adik-adiknya adalah dengan menulis artikel yang hampir setiap hari ia geluti.
Buku pertamanya yang laris terjual berjudul “Risalah Sarjana Muda”. Buku ini banyak dicari orang karena isinya yang unik, yaitu konsep kedewasaan menurut hukum positif dan hukum Islam. Berangkat dari hukum yang saat itu memiliki definisi kedewasaan yang berbeda-beda, ia mengangkat topik ini menjadi sebuah risalah yang di luar dugaannya ternyata banyak diminati.
Pada tahun 1980, beliau meraih gelar sarjana muda dari Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Ujung Pandang, atau yang sekarang di kenal UIN Alauddin Makassar. Setelah empat tahun kemudian ia meraih gelar Sarjana Teladan di fakultas yang sama (1984).
Untuk pendidikan pascasarjana, beliau menempuh Program S2 tanpa tesis di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1990-1992) dan menyelesaikan Program S3 dengan disertasi tentang "Perspektif Gender dalam Al-Qur’an" di universitas yang sama (1993-1998). Disertasi tersebut cukup kontroversial karena mengangkat isu sensitif di tengah masyarakat awam. Ia mengangkat tema tersebut dari pengalaman pahit ibunya yang merupakan perempuan tangguh dalam keluarga. Pengalaman inilah yang mendorong Prof. Nasar untuk memberikan pandangan teologis tentang perempuan yang bekerja. Penulisan disertasi tersebut mengalami beberapa kesulitan, mengingat pada saat itu jarang ada referensi yang sejalan dengan disertasinya. Akibatnya, ia harus mengunjungi beberapa perpustakaan besar di berbagai universitas untuk mencari referensi.
Dengan semangat dan jiwa yang haus akan ilmu pengetahuan, ia menggunakan segenap kemampuannya agar disertasinya selesai. Saking seriusnya, pria yang kini berusia 65 tahun ini baru menikah pada usia 35 tahun dengan Dra. Helmi Halimatul Udhma. Dari pernikahan tersebut, ia dikaruniai tiga anak: Adi Nizar Nasaruddin Umar, Andi Rizal Nasaruddin Umar, dan Cantik Najda Nasaruddin Umar.
Sejak kecil, Prof. Nasaruddin bercita-cita menjadi seorang dokter. Meskipun impian tersebut tidak tercapai, beliau berhasil mewujudkan cita-cita itu melalui ketiga anaknya, yang kini semuanya telah menempuh Pendidikan kedokteran. Setelah melalui berbagai tantangan dan rintangan dalam penulisan disertasinya, ternyata membawanya sebagai lulusan terbaik program Doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tidak berhenti di situ, ia pernah menjadi salah satu mahasiswa di McGill University Kanada (1993-1994) dan menjalani program Ph.D. di Leiden University, Belanda (1994-1995). Setelah mendapatkan gelar doktornya, ia menjadi sarjana tamu di Sophia University, Tokyo (2001), School of Oriental and African Studies, University of London (2001-2002), Georgetown University, Washington DC (2003-2004), dan Universitas Sorbonne Nouvelle-Paris III.
Prof juga terlibat dalam penelitian kepustakaan di berbagai perguruan tinggi di negara-negara seperti Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Korea Selatan, Arab Saudi, dan Mesir. Pada 12 Januari 2002, Prof. Nasaruddin dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Tafsir pada Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan latar belakang pendidikan yang mumpuni dengan segudang karya serta prestasi, tidak heran jika para petinggi di Indonesia mempercayakan tanggung jawab kenegaraan kepadanya. Pada 21 Oktober 2024, beliau dipanggil Presiden Prabowo Subianto ke Istana Merdeka untuk dilantik sebagai Menteri Agama RI ke-25 dalam Kabinet Merah Putih.
Di samping kiprahnya sebagai ulama dan akademisi, Prof. Nasaruddin Umar juga dipercaya memegang berbagai jabatan penting di Indonesia. Ia memiliki peran besar dalam pendidikan, pengelolaan pesantren, dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Pondok Pesantren As'adiyah Sengkang di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan sejak tahun 2022, ia turut memperkuat visi pendidikan Islam di daerah tersebut. Tak hanya itu, beliau juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Pondok Pesantren Al-Ikhlas di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, yang mengembangkan pendidikan berbasis nilai keislaman di daerah asalnya.
Di Jakarta, Prof. Nasaruddin memiliki posisi strategis sebagai Sekretaris Umum Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK) sejak tahun 1992. Ia juga turut mendirikan dan mengelola Masyarakat Dialog Antar Umat Beragama (MADIA) yang aktif sejak tahun 1983, menunjukkan kepeduliannya terhadap keberagaman dan dialog antaragama di Indonesia. Selain itu, beliau berperan sebagai Wakil Ketua di Yayasan Wakaf Yayasan Paramadina, sebuah lembaga pendidikan dan sosial, serta Ketua Yayasan Panca Dian Kasih sejak tahun 2001, yang mendukung berbagai program pemberdayaan sosial.
Di bidang pemberdayaan perempuan, beliau aktif sebagai anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) sejak tahun 1999, serta memimpin Departemen Pemberdayaan Sosial dan Perempuan dalam ICMI Pusat (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) sejak tahun 2000.
Prof. Nasaruddin juga aktif dalam bidang akademik. Ia merupakan Guru Besar dalam bidang Tafsir di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pernah menjadi Pembantu Rektor III di kampus yang sama. Beliau turut berperan sebagai staf pengajar di Universitas Indonesia untuk Program Pascasarjana, terutama di Program Studi Agama dan Perempuan, serta di Universitas Paramadina, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tak hanya di bidang akademik, Prof. Nasaruddin juga sering memberikan bimbingan di lembaga-lembaga Islam dan syariah. Sebagai anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta sejak tahun 2000, beliau dipercaya dalam mengurus berbagai isu yang melibatkan syariah. Ia juga menjadi salah satu penanggung jawab rubrik keagamaan di majalah SUFI dan tabloid Swara Damai, tempat ia mengupas berbagai persoalan keagamaan dan spiritual.
Selain itu, Kontribusi dalam pengelolaan masjid juga sangat besar. Sejak 2016, Prof. Nasaruddin menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, masjid terbesar di Asia Tenggara, di mana ia terus mendorong pengembangan peran masjid sebagai pusat pembinaan umat.
Sebagai bagian dari tanggung jawabnya terhadap pengembangan ekonomi syariah, beliau pernah menjadi Komisaris PT. Semen Indonesia dan Bank Mega Syariah. Pada tahun 2024, kepercayaan negara kembali ia peroleh ketika Presiden Prabowo Subianto melantiknya sebagai Menteri Agama Republik Indonesia ke-25 dalam Kabinet Merah Putih, menambah panjang deretan jabatan penting yang ia emban di berbagai sektor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H