Alarm pagi ini mengagetkanku. Hari pertama menikmati malam di rumah ini. Rumah ini menjadi sejarah masa kecilku dulu, karena semasa kecil aku tinggal bersama nenek. Ketika beranjak remaja aku tinggal bersama orang tuaku di Jakarta. Bernostalgia sejenak dari rutinitas padatnya Kota Jakarta. Sayangnya hanya aku sekarang sendiri di sini.
Tapi rasanya membosankan jika aku berdiam diri saja. Aku memberanikan untuk berjalan-jalan keluar.
"Ajeng, kamu kemana saja? Baru sekarang ibu melihatmu lagi." Tanya ibu-ibu depan rumah.
"Iya, Ajeng sekarang di Jakarta dan selagi libur Ajeng ingin menginap di sini meskipun sendiri." Kataku, sambil mengingat-ingat ibu ini.
"Ajeng mengapa kamu terlihat bingung. Ibu itu Bu Desi, ibunya Reno. Kamu ingat?." Tanyanya.
"Oh iya, Bu Desi ibunya Reno. Ia teman bertengkarku dulu." Kataku sambil tertawa.
Mengingat Reno memang teman masa kecilku. Ia sangat baik, penyayang, perhatian dan sangat peduli terhadapku. Ketika kecil jika aku tak mau makan, ia akan marah dan menjauhiku. Apalagi sekarang, ia sudah dewasa. Mungkin ia tambah perhatian dan peduli terhadap siapa saja.
"Ayo main ke rumah ibu." Ajaknya.
"Ayo ibu boleh, lagi pula aku bosan diam saja di rumah." Kataku.
Setelah sampai, aku melihat sosok pria tampan duduk di kursi depan rumah. Pasti itu Reno karena siapa lagi. Rasanya aku seperti ingin tersenyum sendiri.
"Reno tebak ini siapa." Kata Bu Desi sambil tersenyum. Namun Reno tak menjawab.
"Hay Reno, apa kamu masih mengenalku?." Tanyaku. Ia hanya melirik sedikit dan mengangguk sambil bermain game online.
"Kita masuk ke dalam saja yuk." Ajak Bu Desi.
Suasana rumah yang begitu sepi, sunyi. Seperti tak berpenghuni.
"Dimana pak Herman, Bu? Sepertinya aku merindukan kumis tebalnya." Kataku sambil tersenyum.
"Ia sudah tak ada di sini lagi Ajeng." Kata Bu Desi. Sambil mempersilahkan untuk duduk.
"Memangnya kenapa Bu?." Tanyaku sambil duduk di kursi ruang tamu.
"Nanti akan ibu ceritakan, namun ibu akan mengambilkan minum untukmu dulu ya sebentar." Kata Bu Desi.
Reno memasuki rumah. Aku menyapanya namun hanya tatapan dingin yang aku terima. Ia melewatiku begitu saja. "Ada apa sebenarnya dengan Reno?." Tanyaku dalam hati.
Bu Desi datang membawa jus alpukat dan bolu. Ia kemudian menceritakan perihal rumah tangganya. Ternyata dulu terjadi KDRT di keluarga Bu Desi. Dulu Pak Herman melakukan kekerasan itu di depan anaknya, Reno. Dan sekarang orang tua Reno sudah bercerai.
"Oh pantas saja Reno sekarang menjadi dingin. Ternyata permasalahan keluarga yang mengubahnya seperti ini." Kataku dalam hati.
Memang terkadang anak yang dingin di sebabkan kurang kehangatan dalam keluarga. Apalagi melihat orang tua bertengkar, itu akan membuatnya merasa tak di hargai dan tak di pedulikan. Atau mungkin perasaan dendam atau bersalah yang berlarut-larut. Atau lebih parah lagi, ia akan menjadi apatis ( tak peduli terhadap keadaan sekitar).
"Ajeng dapatkah kamu menolong ibu?." Tanya Bu Desi.
"Menolong apa Bu?." Tanyaku.
"Menolong untuk mengubah Reno. Semakin lama ia semakin dingin. Ibu seperti hidup sendiri, tak ada perhatian sedikit pun darinya." Kata Bu Desi, sambil memegang tanganku.
"Semasa kecil dulu Reno dekat sekali denganmu dan ibu selalu memperhatikan jika dulu Reno sangat peduli padamu. Ibu merindukan Reno kecil yang baik hati dan peduli kepada siapa saja." Sambung Bu Desi.
"Tapi bagaimana mungkin aku dapat mengubah Reno. Aku disini hanya beberapa hari saja Bu." Kataku.
"Ajeng, kamu pasti bisa. Ibu memberi kepercayaan kepadamu. Entah harus bagaimana lagi. Ibu bingung Ajeng" Kata Bu Desi.
"Baiklah, aku akan mencoba mengubah Reno seperti dulu lagi." Kataku sambil tersenyum.
***
Malam sudah hampir tiba. Aku terus berpikir bagaimana mengubah orang apatis menjadi peduli kembali?. Aku tak ahli dalam hal tersebut. Namun kasihan jika aku tak menolong Bu Desi. Ia akan merasa hidup sendirian dan seperti tak mempunyai anak. Akhirnya dengan bantuan google aku mendapat jawabannya.
"Jika masa kecil anda bermasalah, pertimbangkan konseling untuk mengatasi semua akibatnya yang mungkin memengaruhi emosi dan perilaku anda."-kutipan wikiHow.
Setelah membaca artikel wikiHow yang begitu panjang. Aku langsung memahami Reno.
***
Keesokan harinya aku pergi ke rumah Reno untuk mengajaknya ke panti asuhan. Kebetulan ia sedang libur kuliah. Bu Desi langsung mengizinkan kami pergi.
Sepanjang perjalanan Reno hanya terdiam kaku. Aku bingung harus bertanya apa lagi, karena sejak tadi aku yang harus bertanya. Setelah sampai di panti asuhan baru ia bertanya.
"Apa sebenarnya tujuanmu mengajakku kesini?." Tanyanya. Aku hanya tersenyum dan menarik tangannya.
"Tolong lepaskan tanganku." Katanya sambil berusaha melepaskan genggamanku.
"Aku tak mau, aku akan melepaskan tanganmu jika aku sudah bertemu pemilik panti ini." Kataku sambil tertawa.
Ia berhenti. "Aku tidak mau kesana jika kamu tidak melepaskan tanganku Ajeng." Katanya.
"Ternyata kamu masih ingat namaku ya. Eh iya kamu sudah sarapan? Aku belum sarapan. Bagaimana jika kita makan bubur dulu, itu di sebelah sana." Kataku sambil menunjuk bubur samping panti.
"Aku sudah sarapan." Katanya.
"Ya sudah antar aku kesana." Kataku.
"Tidak mau, aku menunggu disini." Katanya.
"Ya sudah aku tak mau makan. Biarlah maghku kambuh." Kataku.
"Sekarang kamu makan dulu, jika kamu sakit siapa yang mau bertanggung jawab?." Tanyanya.
"Aku tak bisa jika harus makan sendiri, kamu mau menemaniku kan?." Tanyaku.
"Iya, terpaksa." Katanya.
"Loh kok terpaksa..." Kataku.
Ia langsung menarik tanganku untuk sarapan bubur. Ia memesan satu mangkuk untukku.
"Mang dua mangkuk ya, yang satu jangan pakai seledri." Kataku.
"Mang satu saja campur." Katanya.
"Mang dua saja ya mang, dua." Kataku.
"Jadi ini yang benar yang mana satu atau dua?." Tanya tukang bubur.
"Dua mang, yang satu jangan pakai seledri untuk Reno karena sejak kecil ia tak menyukai seledri." Kataku dan menarik Reno untuk duduk.
"Ini neng buburnya." Kata mang bubur.
"Iya mang terima kasih." Kataku.
"Reno ini ya makan buburnya." Kataku sambil menggeserkan bubur ke arah Reno.
"Aku tak ingin memakannya." Katanya.
"Ini enak. Jika kamu tak mau makan bubur. Aku juga sama tak mau." Kataku.
"Kamu menyebalkan." Katanya dengan tatapan sinis.
Akhirnya ia memakan bubur. Aku jadi ingat Reno kecil, ia selalu memaksa agar aku makan. Dan sekarang terbalik, aku yang memaksanya makan. Tapi jika di perhatikan ia masih sedikit peduli kepadaku. Jika ia tak peduli, mana mungkin ia tadi menarik tanganku untuk makan bubur.
Aku bertanya alasan Reno bersikap apatis terhadap lingkungan sekitar termasuk ibunya. Awalnya ia tak ingin bercerita. Namun setelah aku paksa agar ia terbuka, ia menceritakan semuanya.
Kaget ketika aku mendengar mengapa ia seperti ini. Sebenarnya Reno tak ingin bersikap seperti ini, namun alam bawah sadarnya seperti memaksa ia untuk bersikap apatis. Rupanya ia seperti ini karena semenjak orang tuanya bercerai, teman sekolahnya selalu mengejek. Ia juga merasa tak diinginkan di keluarganya, karena menurutnya jika ia diinginkan tak mungkin orang tuanya bercerai. Ia juga memiliki trauma karena dulu sering melihat orang tuanya bertengkar.
Berulang kali ia berkata bahwa. Sebenarnya ia tak ingin bersikap dingin terhadap ibunya. Ia menyayangi ibunya, namun selalu saja seperti ada dendam jika ia melihat ibunya. Ia ingin berubah namun tak tahu harus bagaimana.
Ternyata benar, Reno seperti ini karena masa lalunya. Aku langsung mengubah tujuan. Tadinya aku mengajak pergi ke panti asuhan untuk memberi contoh kepada Reno bahwa bukan ia saja yang tak mendapat kasih sayang utuh. Dan aku ingin agar Reno lebih mensyukuri hidupnya dan lebih peduli terhadap lingkungan sekitar.
Namun jika seperti ini aku harus membawanya ke konseling agar di terapi atau di berikan nasihat-nasihat untuk berubah. Semoga kamu cepat berubah. Aku merindukan Reno kecil.
***
Kuningan, 06 Januari 2019
Rida Nugrahawati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H