Seketika semua terlihat suram. Gelap semakin menjadi. Mataku tertutup rapat. Diriku tak dapat membukanya. Gemetar hati ini. Tanganku terasa dingin. Tubuh ini tak dapat bergerak. Dalam ingatanku hanya terlintas darah berceceran dimana-mana. Mendengar suara klakson mobil dan orang-orang yang entah sedang apa. Suara-suara itu semakin lama semakin menjauh.
Perlahan mataku terbuka. Perlahan terbangun dari tempat tidur. Banyak sanak saudara di tempat ini. Tetapi mengapa aku tak dapat mendengar sedikit saja pembicaraan mereka? Membingungkan, mengapa mereka juga terlihat sangat bersedih? Mengapa seluruh ruangan berwarna putih? Nyatanya diriku terpisah dari ragaku. Karena jika tak seperti itu, mana mungkin diriku dapat melihat ragaku sendiri.
Lelaki pembawa alat kebersihan itu menatapku. Sepertinya ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Berulang-ulang memanggil lelaki itu. Namun tak ada jawaban. Anak kecil itu menatapku, aku memperhatikannya namun semakin lama ia menangis. Hidupku tak tentu arah. Tak ada yang dapat melihat atau mendengarku. Begitu juga denganku, aku tak dapat mendengar suara mereka.
Bagaimana mungkin jiwa dan raga ini dapat berpisah. Kulihat tubuh tergeletak di atas kasur. Ia adalah diriku. Jantungnya masih berdetak dengan normal. Tanpa ada ruh di dalamnya. Apa mungkin dalam tubuhku ada ruh lain sehingga jantungnya masih berdetak?
Diriku duduk di samping raga ini sampai mentari mulai menerangi kamar. Ibu dan ayah, mereka berdua setia menemani malam dan siang. Mata sembab itu membuat hatiku terkikis rapuh. Namun apa daya diriku tak dapat mendekap mereka. Apalagi mengusap air mata mereka.
Ibu membuka pintu ternyata itu Samuel. Ia kekasihku membawa seikat bunga mawar merah jambu kesukaanku. Sangat bahagia ternyata ia sangat menyayangiku. Tetapi aku melihat sesuatu yang aneh. Mengapa raut wajahnya tak sedikit pun terlihat bersedih? Apakah hatinya terlalu kuat untuk hal ini. Tetapi aku ini kekasihnya dan pekan ini kita akan menikah.
Samuel berpamitan untuk pulang. Mengikutinya mungkin hal yang bagus. Duduk di kursi mobil tepat di belakang Samuel. Ternyata ia akan pergi ke tempat makan favorit kita berdua. Mungkin ia bersedih dan ingin merasakan kebersamaan kita dengan duduk di tempat itu.
Tetapi tidak, di sana terlihat seorang wanita cantik membawa seorang balita. Mereka terlihat sangat akrab. Keakraban mereka membuatku merasa cemburu. Hatiku semakin kesal karena tak dapat mendengar percakapan mereka. Dengan cepat aku menghilangkan pikiran-pikiran negatif. Mungkin wanita itu saudara Samuel.
Beranjak pulang, aku tetap mengikuti mereka. Di sepanjang perjalanan balita itu meminta segala macam mainan dan makanan yang di lihat. Samuel selalu memberi, aku semakin kagum karena ia mempunyai hati yang baik.
Mobil terhenti di salah satu rumah yang tak aku kenali. Untuk pertama kalinya aku melihat rumah ini. Samuel menggendong balita sambil memegang bahu wanita itu. Hatiku semakin cemburu. Mereka memasuki kamar. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Siapa sebenarnya wanita itu?
Rupanya Samuel hanya menidurkan balita itu. Dimana-mana Samuel tak pernah tertinggal melihat film kartun, begitu juga di rumah ini. Samuel tiba-tiba memeluk wanita itu. Diriku tak dapat mempercayai ini. Ia tak pernah sekalipun melakukan hal itu terhadapku. Ia aku anggap sebagai lelaki sejati yang tak pernah melakukan hal aneh terhadap wanita. Nyatanya diriku salah menilainya.
Mengapa diriku tak dapat menangis? Padahal rasa sakit ini tak dapat tertahankan. Mengapa air mata ini tak dapat keluar? Hanya diriku yang merasakan ini, bila bersama ragaku mungkin air mata ini akan terus-menerus mengalir.
Diriku berdoa kepada sang pencipta agar dapat bersatu kembali bersama ragaku. Diriku sudah tahu segalanya. Rasanya diriku akan membatalkan pernikahan itu. Rasanya kejadian ini menyadarkan akan satu hal. Bila diriku tak seperti ini mana mungkin mengetahui ia yang sebenarnya. Begitu hebatnya ia bertahun-tahun menyembunyikan kebusukan.
Diriku tersadar dari tidur panjang. Masih ada ibu dan ayah di sampingku. Mereka terlihat begitu gembira, raut wajah sedih yang kemarin terlihat sekarang berubah menjadi raut wajah kegembiraan. Hari ini juga diriku akan pulang ke rumah. Karena sangat ajaib tubuhku dinyatakan sudah sembuh total.
***
"Nak, 3 hari lagi engkau akan menikah. Semuanya sudah kami persiapkan sedemikian rupa. Pasti senang sekali? Setelah kesedihan perihal kecelakaan kemarin, sekarang terganti dengan perihal pernikahanmu." Ibuku sambil tersenyum bahagia.
"Tetapi aku tak dapat melanjutkan pernikahan itu bu, maaf." Ucapku.
"Mengapa nak?." Ibuku kaget.
"Tak apa ibu, tolong telepon Samuel agar ia kesini. Nanti akan aku jelaskan semuanya bersama Samuel." Ucapku.
Terlalu banyak alasan, ia rupanya tak ingin kesini. Entah mengapa diriku semakin benci mendengar berbagai macam alasan. Mungkin ia sudah tak mempunyai hati. Bukankah seharusnya ia ikut menjemputku ketika mengetahui diriku akan pulang hari ini? Nyatanya ia datang ketika malam tiba bersama seikat bunga mawar merah jambu kesukaanku.
"Syukurlah engkau sudah pulih kembali. 3 hari lagi kita akan melangsungkan pernikahan. Apakah engkau tahu aku merasa sangat bersedih. Pikiranku pun tak tentu arah. Setiap hari aku selalu mendoakan kesembuhanmu agar kita dapat melangsungkan pernikahan tepat waktu. Aku juga sudah membuat rumah sesuai dengan yang engkau inginkan." Ucap Samuel dengan wajah bahagia.
Aku hanya terdiam. Entah mengapa semakin benci mendengarnya seperti itu. Mulut yang penuh kebohongan. Ia tiba-tiba menyentuh tanganku.
"Mengapa? Engkau tak suka kehadiranku disini?." Tanya Samuel dengan wajah cemas.
"Apa engkau dapat jujur tentang segala hal yang selalu kau sembunyikan terhadapku?." Tanyaku.
Samuel terlihat kebingungan.
"Hal yang selalu aku sembunyikan? Sepertinya aku sudah menceritakan segala hal kepadamu. Tak ada yang aku rahasiakan lagi. Apa engkau lupa? Apa perihal kecelakaan itu membuat ingatanmu terganggu?." Tanyanya seolah tak mengerti.
"Soal wanita dan balita itu?"
"Wanita dan balita manakah yang engkau maksud?."
"Pikirkan saja sendiri. Rupanya engkau selama ini sudah membohongiku. Di depanku engkau seakan sangat menyayangiku, selalu menjagaku. Tapi di belakangku engkau nyatanya. Entah. Diriku selama ini menginginkan rumah klasik, rupanya engkau malah membuat rumah klasik untuk wanita itu." Diriku mencoba menjelaskannya.
"Oh, ya sepertinya aku sudah tahu wanita dan balita yang engkau maksud. Wanita dan balita yang ini kan?." Ucapnya sambil memperlihatkan foto di layar ponsel.
"Iya." Ucapku kesal.
"Rupanya engkau wanita pencemburu. Tapi sebentar mengapa engkau mengetahui adikku yang ini? Mengapa engkau tadi mengatakan rumah klasik? Ini sebenarnya ada apa?." Samuel sangat penasaran.
"Jadi itu adikmu? Kau mencoba membohongiku? Aku sudah mengetahui semuanya. Wanita itu selingkuhanmu dan balita itu buah dari hasil cintamu dengannya kan?." Diriku semakin kesal.
"Wanita itu adikku, ia adik kesayanganku. Namun semenjak ada lelaki hidung belang yang tak bertanggung jawab terhadapnya. Ia di usir dari rumah. Sebagai seorang kakak aku mencoba mencari tempat tinggal dan segala yang ia butuhkan. Kebetulan aku sudah membuat rumah klasik untukmu. Jadi nanti adikku tinggal bersama kita. Bila nanti aku bekerja akan ada adikku yang selalu menemanimu." Jelasnya.
"Apa buktinya bila wanita itu adikmu?."
"Ini lihat untung saja dalam dompetku terdapat kartu keluarga. Ini KTP adikku." Sambil memperlihatkan berbagai macam kertas.
Diriku percaya. Dari awal diriku memang tak mempercayai bila ia berselingkuh. Ia lelaki baik. Merasa bersalah karena sudah berburuk sangka terhadapnya. Kita melangsungkan pernikahan dengan nuansa klasik yang sangat diriku idamkan. Tinggal di rumah klasik bersama adik dan anaknya yang sangat lucu. Sangat bahagianya diriku dapat hidup bersama lelaki yang sangat baik. Meskipun sangat sibuk dari pagi hingga malam. Tetapi ia selalu mempunyai waktu untukku, istrinya.
***
Kuningan, 10 Desember 2018
Rida Nugrahawati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H