Bersambung dari keadaan yang dialami siswa saat ini, dan kemungkinan stress sekolah dengan resiko sangat tinggi. Tingkat stress siswa akan mempengaruhi psikologis dan prestasi akademis siswa itu sendiri, sebagai seorang pendidik harus memperhatikan sisi lain dari kondisi psikis peserta didik yaitu sejauh mana resiliensi dilakukan oleh peserta didik tersebut.Â
Upaya yang dilakukan tentu saja untuk meminimalisir perubahan buruk dari keadaan psikis dan prestasi para peserta didik. Dari beberapa definisi tentang resiliensi dapat disimpulkan bahwa, resiliensi itu sendiri adalah suatu proses yang dilakukan oleh satu individu untuk bertahan dari situasi stressfull. Â
Seseorang yang resiliensi biasanya memiliki beberapa ciri umum, yaitu mampu merespon positif dengan lingkungan social, mampu mengendalikan diri sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya untuk memecahkan masalah, mampu bertindak secara independen sadar tentang identitas diri, dan sadar akan adanya masa depan dengan pengaharapan yang gemilang.Â
Apabila hal tersebut mampu dilakukan oleh para peserta didik kita, kekhawatiran cara belajar dengan high-risk itu terpatahkan. Berarti kita dalam tahap aman mengendalikan materi dan pembelajaran  jarak jauh saat ini.
Lalu apa yang harus guru lakukan apabila peserta didik justru tidak memperlihatkan resiliensinya. Memahami resiliensi itu sendiri merupakan hasil kombinasi dari factor-faktor I HAVE, I AM dan I CAN (Desmita, 2016).Â
Resiliensi tidak dapat terjadi hanya dengan satu factor saja, tetapi ada kesinambungan dari setiap faktornya untuk saling melengkapi. Factor-faktor tersebut akan tumbuh apabila ada reaksi positif dari lingkungan sekitar termasuk lingkungas sekolah terutama guru sebagai stakeholders dan berperan aktif dengan siswa.Â
Upaya pengembangan resiliensi peserta didik dapat dilakukan dengan enam strategi atau dikenal dengan istilah "The Resiliency Wheel" yang dicetuskan oleh Henderson dan Milstein (2003). Strategi ini dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan terutama mengatasi stresfull siswa dalam situasi sekarang ini.
Tahap 1, yaitu increase bonding, pada tahap ini pendidik dan peserta didik harus menciptakan relationship yang baik. Perilaku dan sikap yang positif akan menjadi bonding atau kekuatan dari dalam diri (inner strength) peserta didik itu sendiri.
Tahap 2, yaitu set clear and consistent boundaries, konsistensi dari pengembangan dan implementasi peraturan sekolah yang disampaikan pada peserta didik. Sementara, sekarang ini tidak menjamin adanya konsistensi dalam aturan sekolah karena dalam upaya menanggulangi pandemic yang masih mewabah di Negara kita.Â
Tanggungjawab lebih yang diemban oleh pendidik dalam menyampaikan setiap aturan yang berlaku dengan cara sikap dan bahasa yang baik sehingga peserta didik tetap mampu berpikir positif.
Tahap 3, yaitu Teach Life Skills, pemahaman tentang keterampilan-keterampilan hidup mampu membantu peserta didik untuk mengendalikan resiko disfungsi pembelajaran.