Bunyi merupakan salah satu unsur yang membentuk puisi. bunyi tersebut dapat menciptakan dan menambah keindahan. Menurut Pradopo, bunyi dapat memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan menimbulkan suasana yang khusus (2005: 22). Berkaitan dengan puisi, bunyi dibagi menjadi dua macam, yaitu efoni dan kakofoni. Efeoni merupakan kombinasi bunyi yang merdu dan berirama, sedangkan kakofoni adalah kombinasi bunyi yang tidak merdu. Bunyi efoni dapat menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang, cinta, dan hal-hal lain yang menggembirakan. Berkebalikan dengan efoni, kakofoni dapat memperkuat suasana yang tidak menyenangkan. Unsur yang membangun puisi setelah bunyi adalah kata. Kata merupakan satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri (Kridalaksana, 2011: 110). Pengalaman seseorang dapat digambarkan melalui kata-kata. Kata-kata tersebut kemudian dimanfaatkan dalam pembentukan karya sastra. Dalam hal ini, pengarang harus memperhatikan diksi (pemilihan kata). Kata harus dipilih dengan setepat-tepatnya agar pengalaman seseorang dapat terungkap. Unsur ketiga yang membangun puisi adalah citraan. Citraan merupakan gambaran angan (Pradopo, 2005:79). Citraan ini berfungsi untuk membuat lebih hidup gambaran yang ada di dalam pikiran. Gambaran-gambaran angan dapat tercipta dari indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, dan penciuman. Gerakan pun dapat menimbulkan gambaran angan.
Ada tiga ciri umum puisi, yang pertama adalah pola bunyi atau rima. Rima adalah penataan unsur bunyi yang ada dalam kata. Penataan ini berupa pengulangan bunyi yang sama pada satuan baris atau pada baris-baris berikutnya dalam bait. Contohnya puisi lama seperti pantun dan syair, pola bunyi sifatnya tetap. Contohnya pantun berima ab-ab dan syair berima aa-aa. Yang kedua adalah irama. Irama terlihat sangat jelas saat puisi dibacakan. Intonasi, penekanan kata, tempo, dan penataan rima memunculkan irama puisi. Yang ketiga adalah pilihan kata atau diksi. Kata-kata pilihan berfungsi untuk menyampaikan makna puisi. Kata-kata juga dipilih berdasarkan efek bunyi yang ditimbulkan jika dibacakan. Kata-kata yang dipilih dapat berupa kata-kata yang objektif maupun emotif. Menurut Hasanuddin (2002:56) terdapat berbagai beberapa unsur bunyi yaitu sebagai berikut:
- Irama, merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan suasana. Dengan demikian, irama tidak hanya tercipta didalam
sajak dengan pola-pola bunyi yang teratur, namun juga oleh suasana yang tecipta. Suasana melankolis akan menyebabkan tempo lambat pada sajak tersebut. Suasana meledak-ledak akan menyebabkan tekanan dinamik tinggi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa irama terbagi atas dua bagian: Ritme dan Metrum. Metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu, sedangkan Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan halnya menjadi gema, dendang penyair. - Kakafoni dan Efoni, adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan didalam sajak dapat menimbulkan kesan yang cerah atau sebaliknya, suatu kesan keburaman. Kesan ini tercermin dari keseluruhan sajak. Kesan ini tertangkap dari keseluruhan sajak melalui suasana yang melingkupinya. Menurut Pradopo (2007:27) menyatakan bahwa kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu biasanya disebut Efoni sedangkan kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k, p, t, s, ini disebut Kakafoni. Kakafoni ini cocok dan dapat untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serta tak teratur bahkan memuakkan.
- Onomatope, salah satu pemanfaatan unsur bunyi yang cukup dominan dalam sajak. Istilah Onomatope menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984:54) adalah Penggunaan kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang. Istilah lain untuk onomatope ini adalah tiruan bunyi.
Denotasi dan konotasi adalah teori Barthes yang biasa digunakan untuk menjabarkan suatu bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, denotasi diartikan sebagai makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif, sedangkan konotasi berarti tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata makna yang ditambahkan pada makna denotasi. Secara sederhana, denotasi berarti makna yang sesungguhnya dari suatu kata atau bahasa, sedangkan konotasi adalah makna yang berbeda dengan perasaan dan pandangan seseorang menilainya. Salah satu upaya untuk memahami sebuah puisi adalah dengan mengenali kata yang termasuk denotasi dan konotasi (Juhara, dkk, 2005:173). Arti kata denotasi dalam sebuah puisi merujuk pada arti yang sebenarnya. Kata konotasi dalam sebuah puisi merujuk pada arti tambahan. Pemilihan kata denotasi dan konotasi dalam sebuah puuisi dimaksudkan untuk menimbulkan gambaran yang jelas dan padat.
Makna konotasi adalah makna suatu kata berdasarkan perasaan atau pemikiran seseorang. Makna konotasi dapat pula dianggap sebagai makna denotasi yang mengalami penambahan makna. Penambahan tersebut dapat berupa pengiasan atau perbandingan dengan benda atau hal lainnya. Oleh karena itu, makna konotasi disebut pula makna kias atau makna kontekstual. Makna konotasi berarti makna kias, bukan makna sebenarnya. Sebuah kata dapat berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma masyarakat tersebut.
- Polisi berhasil menangkap tangan kanan koruptor kelas kakap itu.
- Tangan kanan = orang yang dipercaya, pembantu utama
- Andre dituduh sebagai kambing hitam dalam kerusuhan antarkampung itu.
- Kambing hitam = orang yang dijadikan tumpuan kesalahan.
Makna denotasi adalah makna suatu kata sesuai dengan konsep asalnya, apa adanya, tanpa mengalami perubahan makna atau penambahan makna (Waridah:2008). Makna denotasi disebut pula makna lugas. Makna denotasi lazim disebut makna konseptual yaitu makna yang sesuai dengan hasil obsevasi (pengamatan) menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman yang berhubungan dengan informasi (data) faktual dan objektif. Lalu juga disebut makna sebenarnya, umpamanya, kata kursi ialah tempat duduk yang berkaki empat (makna sebenarnya). Kemudian makna lugas yakni makna apa adanya, lugu, polos, makna sebenarnya, bukan makna kias (Widjono:2007).
- Tangan kanan Mila terkilir sewaktu bermain bulu tangkis.
- Tangan kanan = tangan sebelah kanan
- Pak Tejo mempunyai lima ekor kambing.
- Kambing = binatang pemamah biak dan pemakan rumput (daundaunan), berkuku genap, tanduknya bergeronggang, biasanya dipelihara sebagai hewan ternak untuk diambil daging, susu, kadangkadang bulunya.
METODE
Metode yang digunakan dalam menganalisis tiga puisi karya Tri Budhi Sastrio ini adalah metode penelitian kualitatif yang karakteristiknya bersifat deskriptif atau bisa disebut sebagai metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan kuantitatif. Menurut Sugiyono (2016:9) metode deskriptif kualitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci teknik pengumpulan data dilakukan secara trigulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Penelitian deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, melukiskan, menerangkan, menjelaskan, dan menjawab secara lebih rinci permasalahan yang akan diteliti dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok atau suatu kejadian. Dalam penelitian kualitatif manusia merupakan instrumen penelitian dan hasil penulisannya berupa kata-kata atau pernyataan yang sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Pada penelitian ini peneliti mengkaji data yang ada yaitu berupa tiga puisi yang sudah dipilih oleh peneliti dalam buku berjudul "Inspirasi Tanpa Api" dengan memfokuskan pada permasalahan yang dimuat, yakni bunyi dalam puisi tersebut serta makna denotasi dan konotasinya. Dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan hasil analisis dengan cara simak catat. Jadi peneliti akan membaca keseluruhan puisi yang sudah ditentukan, lalu ketiga puisi tersebut dianalisis dari segi bunyi serta makna denotasi dan konotasinya, kemudian hasil analisis atau pembahasan tersebut akan dijelaskan secara panjang lebar menggunakan teori yang sudah ditentukan dalam penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASANÂ
Analisis Bunyi dan Makna pada Tiga Puisi Pilihan dalam "Inspirasi Tanpa Api" Karya Tri Budhi Sastrio
Analisis kajian bunyi irama, kakafoni, dan efoni pada puisi Jejak Langkah Sang Pangabdi, Mengampuni itu Indah dan Mudah, dan Kisa Gotami Mencari Biji Sesawi karya Tri Budhi Sastrio dalam buku "Inspirasi Tanpa Api" adalah sebagai berikut.
- Jejak Langkah Sang Pengabdi