Mohon tunggu...
....
.... Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Analis Politik-Hukum Kompasiana |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kasus Lippo Group: Secara Hukum, First Media tak Bisa Mempailitkan Across Asia Limited, Mengapa?

3 Mei 2016   10:37 Diperbarui: 4 April 2017   17:20 3139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Mahkamah Agung RI (Dok: Kompas.com)

Kasus operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada beberapa pekan lalu berhasil membuka kotak pandora. Ternyata dari hasil OTT yang berhasil menangkap tangan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edi Nasution tersingkap tabir dan berujung pada penggeledahan di rumah Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.

Komisi Pemberantasan Korupsi menduga bahwa ada dugaan keterlibatan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dalam sejumlah perkara Lippo Group yang kini ditangani Mahkamah Agung. Sebagaimana diketahui saat ini ada 2 anak usaha Lippo Group, antara lain Kymco Motor Indonesia dan First Media yang sedang mengajukan peninjauan kembali atas perkara yang dialami oleh dua anak usaha Lippo Group tersebut.

Salah satu perkara anak usaha Lippo Group yang berhasil menyita perhatian penulis untuk di analisa secara hukum adalah terkait dengan keputusan pailit terhadap Across Asia Limited. Perselisihan ini bermula ketika First Media, anak usaha Lippo Group mengklaim bahwa Across Asia Limited memiliki utang yang telah jatuh tempo dan sudah bisa dibayarkan kepada First Media.

Klaim utang jatuh tempo dari First Media terhadap Across Asia Limited ini tak tanggung-tanggung, jumlah utang yang diklaim telah jatuh tempo tersebut adalah sebesar US$ 45,7 atau setara dengan Rp. 617 miliar. Utang yang telah jatuh tempo tersebut harus dibayar kepada First Media oleh Across Asia Limited.

Kemudian pada 2012, First Media mengajukan gugatan pailit ke Pengadilan Niaga terhadap Across Asia Limited karena dianggap wanprestasi terhadap First Media karena utang sudah sampai jatuh tempo, utang sebesar Rp. 617 miliar tersebut tak kunjung dibayar.

Dalam putusan pailit tersebut, Across Asia Limited dinyatakan harus membayar Rp. 617 miliar yang merupakan utang yang telah jatuh tempo. Tak terima dengan putusan palit terhadap perusahaannya, Across Asia Limited mengajukan permohonan kasasi di Mahkamah Agung, namun permohonan kasasi atas putusan pailit tersebut ditolak Mahkamah Agung, dan mengakibatkan Across Asia Limited dinyatakan pailit sejak 5 Maret 2013.

Belakangan ini, Across Asia Limited mendaftarkan upaya hukum peninjauan kembali untuk membatalkan keputusan pailit yang telah diputuskan terhadap Across Asia Limited yang diwajibkan membayar utang yang telah jatuh tempo tersebut.

Secara hukum, upaya hukum yang dilakukan oleh Across Asia Limited kepada Mahkmah Agung tersebut sudah tepat karena putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak sah secara hukum untuk mempailitkan Across Asia Limited, perusahaan yang terletak di Cayman Island, Karibia, Inggris Raya. Menjadi tidak sah secara hukum dalam hal ini hanya First Media, anak usaha Lippo Group yang mengajukan permohonan pailit tersebut, harusnya lebih dari satu kreditur.

Keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan pailit First Media, anak usaha Lippo Group, menjadi tidak sah secara hukum karena permohonan pailit terhadap debitur (Across Asia Limited) tidaklah memenuhi unsur yang terkandung dalam pasal 2 ayat (1) UU No 37/2004 tentang Kepailitan.

‘’Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditur’’.

Dari syarat pailit yang diatur dalam pasal 2 ayat (1), secara hukum dapat ditarik kesimpulan bahwa keputusan mempailitkan Across Asia Limited adalah tidak sah dan tidak mendasar pada syarat utama dari suatu perusahaan dinyatakan pailit, yaitu mempunyai kreditor lebih dari satu. Nah, dalam kasus ini jelas First Media sebagai anak usaha dari Lippo Group tidak bisa mengaklaim sudah memenuhi syarat hukum untuk mengajukan permohonan pailit kepada Across Asia Limited.

Mengapa begitu? Karena harus ada kreditur lain selain daripada First Media. Memang benar syarat lain dari sebuah perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah utang yang telah jatuh waktu atau jatuh tempo.

Tetapi dalam hal ini yang menjadi masalah secara hukum adalah bukan persoalan utang yang telah jatuh tempo, tetapi yang jadi masalah adalah hanya ada satu kreditur, yakni hanya First Media. First Media tidak bisa mengklaim karena merupakan bagian dari Lippo Group sehingga bisa mengajukan permohonan pailit terhadap Across Asia Limited. Meskipun melalui Across Asia Limited , Lippo Group mengendalikan mayoritas saham dari First Media, hal tersebut tetap bisa dikait-kaitkan dengan induk perusahaan dalam hal ini Lippo Group karena yang menjadi kreditur dalam kasus ini jelas hanya First Media (anak usaha Lippo Group) bukan Lippo Group sepenuhnya.

Mengapa? karena Fisrt Media hanyalah anak usaha yang secara otomatis harus dapat memisahkan diri dari induk usaha ketika terjadi kasus hukum terlebih lagi jelas bahwa hanya ada satu kreditor yang mengajukan permohonan pailit terhadap Across Asia Group dan ini tidak memenuhi syarat pailit sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 tentang Kepailitan.

Sehingga secara hukum pula, Meskipun permohonan kasasi yang diajukan oleh Across Asia Limited tidak dikabulkan oleh Mahkamah Agung, tetapi dalam permohonan peninjauan kembali yang saat ini sedang diajukan oleh Across Asia Limited haruslah dikabulkan hakim agung yang terhormat.

Menjadi harus dikabulkan bukanlah tidak beralasan secara hukum, karena dalam kasus permohonan pailit yang dimohonkan First Media, anak usaha Lippo Group sudah jelas tidak memenuhi syarat untuk mempailitkan perusahaan yang berdomisili di Inggris Raya tersebut, yakni hanya ada satu kreditur padahal sesuai pasal 2 ayat (1) mempunyai dua kreditur atau lebih yang artinya tidak bisa jika hanya ada satu kreditur saja.

Mahkamah Agung harus kembali mempertimbangkan secara hukum terhadap permohonan peninjauan hukum yang saat ini sedang dimohonkan oleh Across Asai Limited karena apa jadinya nasib perusahaan Across Asia Limited jika permohonan pembatalan pailit itu kembali tidak dikabulkan. Dalam kasus ini yang menjadi debiturnya adalah Across Asia Limited sedangkan krediturnya adalah First Media, anak usaha Lippo Group.

Dan Mahkamah Agung pun tidak bisa kembali menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang telah memutus Across Asia Limited pailit lantaran jika itu kembali dilakukan oleh Mahkmah Agung sama saja menabrak syarat pailit bagi sebuah perusahaan. Karena akibat hukum dari keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang kemudian dikuatkan melalui kasasi oleh Mahkamah Agung telah menimbukan banyak kerugian yang harus di pikul oleh Across Asia Limited.

Antara lain debitur dalam hal ini Across Asia Limited teolah mengalami kehilangan hakinya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta yang sudah dipailitkan tersebut sehingga dengan pertimbangan hukum bahwa permohonan pailit yang diajukan First Media harus dibatalkan melalui putusan peninjauan kembali yang saat ini sedang diajukan Across Asia Limited. Selain itu pula yang harus jadi pertimbangan Mahkamah Agung adalah soal perdamaian antara First Media dan Across Asia Limited yang bisa dilakukan.

Perdamaian yang dimaksud adalah  sudah sesuai dengan pasal 222 ayat (2) UU No 37/2004 tentang Kepailitan yakni perdamaian kepada Across Asia Limited dengan membayar sebagian atau seluruh utang kepada kreditur , yang telah jatuh tempo tersebut kepada anak usaha dari Lippo Group, First Media. Karena ini adalah cara terbaik untuk menyelesaikan soal kepailitan yang telah dijatuhkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Dan bahkan penulis pun menilai putusan pailit yang dijatuhkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap Across Asia Limited adalah tersebut cacat secara hukum karena jelas permohonan pailit yang diajukan oleh Fisrt Media terhadap Across Asia Limited adalah tidak sah secara hukum karena hanya ada satu kreditur dan ini sangat tidak memenuhi syarat dari sebuah perusahaan dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga. Tak hanya soal penundaan kewajiban pembayaran utang yang telah jatuh tempo.

Tak hanya itu,Tetapi Pengadilan Niaga Jakarta Pusat juga secara hukum tidak berwenang memutuskan Across Asia Limited pailit, mengapa? Karena perusahaan ini bukan berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia melainkan sudah masuk ke Inggris Raya, yang jug selaras dengan pasal 3 ayat (1) ‘’Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau debitur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum’’.

Dari bunyi pasal itu jelas bahwa selain keputusan pailit yang dijatuhkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap Across Asia Limited yang diputuskan telah pailit, tetapi secara hukum juga keputusan tersebut ilegal karena Pengadilan Niaga Jakarta Pusat  (Indonesia) tidak berwenang memutus Across Asia Limited telah pailit, yang berhak memutus Across Asia limited , pailit atau tidak adalah Pengadilan di Cayman Island, Karibia, Inggris Raya bukan Pengadilan Niaga di Indonesia, sehingga Mahkamah Agung harus membatalkan keputusan pailit tersebut melalui peninjauan kembali yang saat ini tengah dimohonkan Across Asia Limited.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun