Mohon tunggu...
....
.... Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Analis Politik-Hukum Kompasiana |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Terus Dihantam, Bos Podomoro Terpental, Rahasia Besar Terbuka

7 April 2016   18:01 Diperbarui: 10 April 2016   19:38 18831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada alasan hukum apapun untuk menyanggah kalau Ahok dituding meneraba banyak aturan dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta. Toh yang menjadi induk dari pelaksanaan reklamasi Teluk Jakarta adalah berdasarkan Keputusan Presiden No 52/1995 tentang Reklamasi. Reklamasi bisa dibatalkan asal Keputusan Presiden No 52/1995 itu dicabut oleh Presiden, namun kenyataannya hingga saat ini Keputusan Presiden No 52/1995 belum dicabut dan itu artinya selama belum dicabut adalah tetap sah.

Lalu kemudian Basuki Thajaya Purnama atau Ahok yang kembali mengeluarkan tiga  Surat Gubernur yang secara hukum artinya adalah sebagai bentuk penguatan dari empat Surat Gubernur yang dikeluarkan Fauzi Bowo pada 2012 lalu. Ahok tidak bisa tidak mengeluarkan Surat Gubernur karena jika Surat Gubernur tidak lagi dikeluarkan oleh Ahok itu artinya Ahok sama saja membangkangi Keputusan Presiden No 52/1995 tentang Reklamasi.

Keputusan Presiden tentu harus ada aturan turunannya dan itu sudah diturukan oleh Fauzi Bowo dan diperkuat lagi oleh Ahok. Tiga Surat Gubernur yang dikeluarkan oleh Ahok adalah: (1) Surat Gubernur No544/-1.794.2 tentang Perpanjangan Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau F kepada PT. Jakarta Propertindo (2) Surat Gubernur No. 541/-1.794-2 tentang Perpanjangan Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau I kepada PT. Jaladri Kartika Pakci (3) Surat Gubernur No 540/-1.794-2 tentang Persetujuan Prinsip Reklamasi Pulau K kepada PT. Pemangunan Jaya Ancol.

Lalu pertanyaan hukumnya mengapa Ahok hanya mengeluarkan tiga Surat Gubernur sedangkan sebelumnya Fauzi Bowo mengeluarkan empat Surat Gubernur sebagai turunan dari pelaksanaan Keputusan Presiden No 52/1995, sedangkan Ahok mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 542/-1.794.2  tentang Perpanjangan Izin Prinsip Reklamasi Pulau G, yang sebelumnya hanya diperkuat aturan turunannya dalam bentuk Surat Gubernur saja? Alasan hukumnya jelas bahwa tidak cukup hanya dengan mengandalkan Surat Gubernur dan oleh karena itu dibutukan penerbitan Surat Keputusan Gubernur yang memiliki kekuatan hukum lebih tinggi daripada Surat Gubernur.

Lalu jika ada pertanyaan lagi mengapa Ahok menerbitkan izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F, G, I, K, Tentu ini juga merupakan bagian dari pelaksanaan amanat Keputusan Presiden No 52/1995 tentang Reklamasi. Mau tidak mau, suka tidak suka, Ahok harus menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi terhadap empat pulau yang telah memiliki landasan hukum tersebut mulai dari Keputusan Presiden No 52/1995 hingga 7 Surat Gubernur yang menjadi alasan mengapa izin diberikan kepada pengembang untuk mengeruk Teluk Jakarta.

Lalu jika Ahok dituding terlibat suap-menyuap dalam rangka untuk memuluskan pembahasan Raperda tentang Tata Ruang dan Zonasi makin tidak masuk diakal, karena hubungan antara Eksekutif dan Legislatif tidak harmonis. Lalu kemudian tidak harmonis ini juga dituding sebagai sebab penyuapan yang dilakukan PT. Agung Podomoro Land terjadi? Tentu kodok-kodok diluar sana akan tertawa terbahak-bahak mendengar tudingan Ahok berada dipusaran suap Raperda.

Karena tudingan itu hanya asumsi belaka. Yang terjadi justru PT. Agung Podomoro Land yang sangat jelas terlihat menjadi korban dari Komisi D DPRD DKI Jakarta yang seolah-olah sengaja menahan-nahan dua Raperda. Caranya pun luar biasa cerdik yakni beralasan bahwa sidang untuk membahas Raperda tidak memenuhi kuorum. Lantas pertanyaannya adalah mengapa sampai sidang pembahasan terkahir dari dua Reaperda tersebut sidang tak kunjung kuorum?

Nah inilah awal mula terjadinya upaya perdagangan pasal-pasal yang menyangkut kewajiban pengembang. Usulan M. Taufik yang menyebut kewajiban pengembang bisa diturunkan dari 15% menjadi 5% adalah awal mula terjadinya upaya jualan pasal-pasal. Tentu penjual pasal akan melakukan mengajukan nego-nego agar pembeli pasal-pasal itu pun langsung tertarik. Usulan 5% tersebut secara tidak langsung membuat Ariesman Widjaja terkuci posisinya dan sengaja dikunci oleh Komisi D. Nah, makin jelas kan kalau Presdir PT. Podomoro Land, Ariesman Widjaja hanya menjadi korban dari permainan Komisi D DPRD DKI Jakarta.

Mengapa menjadi korban permainan? Lah sebelum OTT KPK terjadi, M. Sanusi sudah menerima uang dari PT. Agung Podomoro Land sebesar Rp. 1 miliar namun sidang tak kunjung kuorum?  Terlihat bahwa uang senilai Rp. 1 miliar tersebut masih kurang hingga berujung pada OTT KPK terhadap M. Sanusi Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta juga berujung pada penetapan tersangka Presdir PT. Agung Podomoro Land sebagai tersnagka penyuap.

Tidak masalah kalau Ahok mau dituduh ikut terlibat, tidak masalah pula kalau Podomoro disebut sebagai pihak yang paling bersalah, tetapi yang perlu dicatat bahwa Bos Podomoro, Ariesman Widjaja akan membuka semua permainan ini. Yang menuding Ahok terlibat juga makin membuat kodok terbahak-bahak karena jika Ahok ingin bermain dalam proyek , Ahok pasti akan menutup rapat-rapat permainan DPRD DKI. Tapi yang terjadi justru semua terbongkar habis oleh Ahok. Kasus UPS adalah contoh nyata Ahok membenci suap lalu membongkarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun