[caption caption="Setya Novanto dan Fadli Zon (Dok: Kompas.com)"][/caption]
Beberapa fraksi di DPR berencana akan membentuk pansus Freeport terkait kasus ‘’Papa Minta Saham’’. Fraksi-fraksi tersebut antara lain, Golkar, PDIP, PAN, PKS, Nasdem hingga Gerindra pun mendukung dibentuknya pansus Freeport. Bahkan Golkar melalui Ketua Umum Golkar versi Munas Bali, Aburizal Bakrie mendukung penuh rencana pembentukan pansus Freeport yang tak lain tujuannya untuk mencari duduk permasalahan Freeport yang sebenarnya.
Tak hanya Ical-sapaan Aburizal Bakrie, sikap Ical tersebut dapat kita anggap adalah bagian dari sikap Partai Golkar yang rupanya masing tak segan-segan membela politisinya sekaligus Ketua DPR, Setya Novanto yang sudah melakukan kesalahan fatal yakni mencatut nama Presiden-Wakil Presiden serta meminta saham listrik di Papua. Bahkan anggota MKD Golkar , Ridwan Bae pun mendukung pembentukan pansus Freeport.
Namun yang aneh adalah yang jadi dasar mendukung pembentukan pansus Freeport adalah karena Ridwan Bae mempermasalahkan legalitas rekaman dari legal standing Menteri ESDM, Sudirman Said. Sangat tidak masuk akal alasan tersebut, bisa dilihat dan diprediksi jika pansus tersebut dibentuk, yang ada justru bukan untuk kepentingan nasional terkait Freeport yang ada justru untuk kepentingan tertentu dari berbagai pihak.
Jika dari Golkar adalah Ical dan Ridwan Bae yang mendukung penuh pembentukan pansus Freeport, dari Gerindra, munculah Fadli Zon yang mengusulkan dan mendukung penuh pembentukan pansus Freeport, Â dengan alasan agar pansus bisa membongkar keberadaan Freeport di Indonesia.
Bahkan dari PDIP, Masinto Pasaribu juga menyebut bahwa PDIP mendukung penuh pembentukan pansus Freeport bahkan Masinton juga ikut mendukung digulirkannya hak angket terhadap pemerintah. Dan itu adalah tiga sikap dari tiga perwakilan partai politik mulai dari Golkar, PDIP hingga Gerindra yang berhasil penulis cantumkan alasan mereka mendukung pansus tersebut. dan marilah simak ulasan dibawah ini.
Alasan Fadli Zon yang mendukung pembentukan pansus Freeport yakni agar membongkar keberadaan Freeport di Indonesia adalah tak masuk akal, karena Freeport sudah ada di Indonesia sejak 1967, dan yang memiliki alasan yang sangat kuat untuk mengetahui mengapoa Freeport sampai mengeruk habis kekayaan alam di Papua adalah Soeharto dan rasanya sangat tidak relevan kalau pansus Freeport dibentuk, karena sesungguhnya pansus Freeport tersebut sangat kental akan aroma politiknya.
Dan perlu diketahui bahwa yang pertama kali meneken kontrak karya Freeport untuk 30 tahun pertama adalah Presiden RI Ke-2, Soeharto , lalu kemudian oleh Soeharto kontrak karya Freeport kembali diperpanjang sebelum masa 30 tahun kontrak karya tersebut berakhir, jadi untuk pernyataan Fadli Zon dirasa sangat tidak masuk di akal karena pemerintah yang berkuasa saat ini sama sekali tidak tahu-menahu soal keberadaan Freeport yang sebenarnya Presiden Jokowi hanyalah menanggung beban berat akibat keputusan Soeharto yang memperbolehkan Freeport mengeruk habis kekayaan energi di Papua sejak 1967 silam.
Bahkan kongkalikong ‘’Papa Minta Saham’’ bukan pertama kali terjadi, sebelumnya juga pernah terjadi dan anak perusahaan milik Bakrie Group mendapat saham dari Freeport lalu kemudian menjualnya kembal pada Freeport dengan harga sekitar  US$ 215,5 juta pada saat Soehato masih berkuasa, dan itu artinya Setya Novanto mewarisi apa yang pernah dilakukan oleh Aburizal Bakrie sebelumnya, yakni mendapat saham dari Freeport lalu kemudian menjualnya lagi pada Freeport.
Dan terhadap DPR disarankan untuk tidak membentuk pansus Freeport karena sesungguhnya rakyat Indonesia sudah tahu bahwa tujuan dari pembentukan Freeport adalah bagian dari ‘’silent operation’’ yang memang sudah disiapkan oleh DPR terhadap pemerintah. Kita ingat sebelumnya ada juga upaya DPR dari ebberapa fraksi salah satunya, Gerindra untuk membentuk sekaligus menggulirkan pansus kebakaran hutan untuk menyelidiki penyebab kebakaran hutan, yang sebenarnya hanya memiliki tujuan politik tertentu terhadap Presiden Jokowi.
Setelah Fadli Zon, dari PDIP muncul sosok Masinton Pasaribu yang mendukung penuh pembentukan pansus Freeport bahkan Masinton juga mendukung penuh pengguliran hak angket Freeport. Namun jika dicermati lebih jauh, ini bisa jadi suara PDIP yang mana Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri telah menjadikan Masinton sebagai corong terbaru dari PDIP untuk mulai menganggu pemerintahan Jokowi, sebeb diketahui dalam rekaman tersebut, Mega juga pernah mencaci maki Jokowi, hanya karena masalah pemilihan calon Kapolri yang saat itu mengundang polemik.
Sikap Masinton ini bisa dianggap bagian sikap dari Megawati. Masinto tak mungkin asal bicara jika tak mendapat restu dari pemegang kekuasaan tertinggi di PDIP, Megawati Soekarnoputri, bahkan yang lebih mengerikan jika ‘’silent operation’’ yang rencananya dilakukan oleh beberapa fraksi melalui pembentukan Pansus menemukan kesalahan dalam kasus masuknya Freeport di Indonesia, dan lagi-lagi warisan buruk pemerintahan Soeharto akan ditanggung oleh Presiden Jokowi yang tak tahu-menahu soal urusan mengapa Freeport bisa masuk Indonesia, karena yang paling bertanggungjawab atas kemiskinan Papua tersebut sepenuhnya adalah Soeharto yang meneken kontrak karya Freeport pada 1967 untuk 30 tahun pertama dan sebelum kontrak karya pertama berakhir, Soeharto sudah kembali meneken perpanjangan kontrak karya ke-2 yang masa kontraknya sampai 30 tahun.
Namun jika dipahami lebih jauh ini adalah bagian dari PDIP yang masing tidak sejalan dengan pemerintahan Jokowi terkait kebijakan Jokowi yang sudah secara tegas menyebutkan Freeport kalau mau memperpanjang kontraknya baru bisa dirundingkan pada 2019 mendatang atau 2 tahun sebelum berakhirnya kontrak karya yang berakhir pada 2021.
Pernyataan Masinton yang mendukung hak angket juga menimbulkan tanda tanya besar bagi penulis, Hak angket memiliki makna berupa penyelidikan yang dilakuka oleh DPR terhadap kebijakan yang berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dan jika hak angket tersebut digulirkan maka sangat berpotensi akan berlanjut pada hak menyatakan pendapat dan ujung-ujungnya niat buruk fraksi yang menggalang dukungan pembentuakn pansus akan memanggil Presiden Jokowi untuk menjelaskan duduk permasalahan Freeport, padahal Jokowi tak bisa mereka panggil-panggil.
Karena Jokowi hanya menanggung beban warisan terburuk yang pernah ditinggalkan oleh Soeharto, yang tanpa pikir panjang meneken kontrak Freeport sampai 30 tahun pada kontrak karya pertama dan dilanjut penekenan untuk 30 tahun berikutnya ,padahal kontrak karya pertama yang diteken pada 1967 saat itu belumlah habis masa kontraknya tapi sudah diteken untuk kontrak karya kedua, dan akibatnya Presiden Jokowi yang akan menanggung semua peninggalan buruk Soeharto tersebut.
Dan perlu diketahui bahwa syarat pengguliran hak angket hanyalah memerlukan usulan sedikitnya 25 orang anggota serta lebih dari dua fraksi untuk membentuk alat kelengkapan dewan disertai dokumen yang memuat kebijakan pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikannya. Sedangkan pembentukan pansus hanya butuh minimal 25 orang dan dua fraksi untuk membentuk unit kelengkapan dewan tersebut.
dan jika melihat alasan pembentukan dan penguliran hak angket maka bisa dipastikan tidak ada sama sekali urgensinya untuk membentuk pansus Freeport apalagi sampai menggulirkan hak angket yang sebenarnya sangat sarat akan muatan politik, karena tak mungkinlah menyelidiki orang yang sudah meninggal, dalam hal ini si pembuat kebijakan paling awal sekaligus yang meneken kontrak karya Freeport dalam masa 30 tahun untuk dua kali yang dimulai tahun 1967 oleh Soeharto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H