[caption caption="Ketua DPR, Setya Novanto bantah catut nama Presiden (Dok: Kompas TV)"][/caption]
Pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh Ketua DPR, Setya Novanto sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said bukan hanya menimbulkan persoalan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Novanto yang menjadi makelar atau calo dalam perpanjangan kontrak karya Freeport yang kontraknya baru dapat diperpanjang dua tahun sebelum masa kontrak karya tersebut habis pada tahun 2021.
Dan dalam penjelasan kali ini penulis hanya mmebedah persoalan hukumnya saja, tidak membedah persoalan politik, karena di dua analisa sebelumnya, sudah penulis analisa secara mendalam, komperhensif dan teliti.
Namun terlepas dari persoalan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Setya Novanto yang mencatut nama Jokowi-JK dalam perpanjangan kontrak karya Freeport, yakni dengan menyebut bahwa total 20% saham akan diberikan kepada Jokowi sebesar 11% dan sisanya, 9% akan diberikan untuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, Tentu saja berimpikasi pada Hukum Pidana dan Tata Negara.
Dari aspek Hukum Tata Negara. Sebagaimana diketahui bahwa, DPR mempunyai tiga fungsi, yakni legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Aspek Hukum Tata Negara
Fungsi legislasi, fungsi DPR yang memiliki kewenangan absolut untuk menyusun dan membentuk Undang-undang. Sedangkan fungsi anggaran, yaitu fungsi DPR yang melakukan pembahasan anggaran bersama-sama dengan pemerintah dalam hal ini eksekutif. Kemudian fungsi pengawasan, yaitu fungsi dimana DPR memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan-pengawasan terhadap lembaga-lembaga negara.
Setelah fungsi DPR dibahas, Penulis juga mau menjelaskan persoalan mengenai jabatan dalam sistem Hukum Tata Negara. Dalam sistem Hukum Tata Negara. diketahui, Jabatan adalah sesuatu kedudukan yang melekat pada seseorang, yang mana jabatan itu diberikan oleh negara untuk menjalankan atau mengaplikasikan alat kelengkapan negara, untuk terjaminnya jalannya pelaksanaan pemerintahan.
Mengacu dari penjelasan diatas jelas bahwa jabatan Setya Novanto sebagai Ketua DPR yang melekat padanya tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, karena Hukum Tata Negara tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Maka pernyataan Setya Novanto yang menyebut bahwa pertemuannya dengan petinggi Freeport adalah tidak dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR, alah seseuatu pembodohan yang amat luar baisa terhadap publik.
Dalam Hukum Tata Negara, diketahui bahwa jabatan yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang sudah berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur, Maka jabatan tersebut melekat padanya selama 24 jam. Tidak peduli dimana seorang pejabat itu berada, melakukan tindakan apapun, Jabatan yang melekat padanya kan tetap melekat selama 24 jam, sebelum masa jabatannya telah berakhir, dan itu tak bisa terbantahkan oleh siapapun juga yang belajar Hukum Tata Negara.
Terlepas dari persolan tersebut, diketahui bahwa yang memiliki kewenangan untuk membicarakan persoalan perpanjangan kontrak maupun investasi adalah kewenangan mutlak yang dimiliki oleh pejabat eksekutif. Bisa Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Walikota termasuk Bupati sekalipun.
Dan tidak untuk Ketua DPR, Karena jabatan sebagai ketua legislatif hanya memiliki tiga fungsi, Legislasi, anggaran, dan pengawasan. Maka, yang dilakukan oleh Setya Novanto, tidak hanya melanggar ketentuan fungsi DPR saja, Mealinkan sudah melanggar sumpah jabatan yang ducapkan saat Novanto hendak diangkat sebagai pimpinan tertinggi di parlemen.
Aspek Hukum Pidana
Terlepas dari pelanggaran sumpah jabatan, dan membangkangi fungsi DPR. Setya Novanto juga jelas-jelas melanggar ketentuan dalam Hukum Pidana. Sebagaimana diketahui bahwa, sebagai anggota DPR, yang juga pimpinan DPR, Setya Novanto sama sekali tidak memiliki hak dan kewenangan untuk mencampuri urusan eksekutif, dalam hal ini soal perpanjangan kontrak suatu perusahaan, maupun membicarakan persoalan investigasi, karena itu kewenangan penuh yang dimiliki oleh Eksekutif, bukan legislatif.
Memahami lebih jauh terkait tindakan Novanto yang mencatut nama Jokowi-JK dalam usahannya untuk memuluskan perpanjangan kontrak karya Freeport yang baru berakhir pada 2021 mendatang, Maka dapat disimpulkan ada 2 jenis kejahatan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilanggar oleh Novanto terkait pencatutan nama Jokowi-JK.
Penipuan dan menyalahgunakan wewenang adalah dua kejatahan yang diatur dalam KUHP yang sudah dilanggar oleh Novanto dalam kasus ini.
Pasal 378 KUHP
‘’Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain, untuk menyerahkan barang seseuatu kepadannya, atau supaya memberi hutan maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun
Memahami lebih dalam pasal 372 KUHP Tentang penipuan, Maka dapat disimpulkan bahwa Setya Novanto dengan tipu muslihat yang sudah dilakukannya yakni dengan mengatsnamakan Jokowi-JK meminta jatah saham untuk perpanjangan kontrak Freeport adalah sebuah kebohongan yang bermuara pada penipuan, Karena kebohongan yang dilakukan oleh Setya Novanto adalah untuk mendapatkan keuntungan dirinya sendiri dan pengusaha terkenal, Riza Chalid dan Presdir Freeport. Dan jika pasal ini diterapkan dengan tegas, Maka Novanto bisa dijerat dengan pasal ini.
Pasal 423 KUHP
‘’Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan meyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Mencermati dan memahami pasal 423 KUHP tentang penyalahgunaan kekuasaan. Maka dapat pula disimpukan bahwa Novanto sudah menyalahgunakan kekuasaanya ataupun wewenangnya sebagai anggota DPR, sekaligus sebagai Ketua DPR , yakni dengan menjadi makelar atau calo dari Freeport, perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat tersebut.
Selain menyalahgunakan kekuasaan ataupun wewenang yang dimilikinya, dan lebih jauh memamahi pasal ini, Maka sudah dapat dikatakan bahwa Novanto juga (akan) menerima saham 49% dari Freeport untuknya yang akan membangun atau mengerjakan proyek PLTA di Timika, Papua, yang akan dibangunnya bersama-sama dengan Freeport. Walaupun belum menerima, penginterprestasian pasal ini sudah dapat dipahami adalah bagian dari tindakan Novanto yang meminta jatah saham segar sebesar 49% untuk pribadi Novanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H