Selain itu, terdapat perbedaan pandangan dan kesulitan dalam mengakses saksi dan korban yang menjadi kendala dalam memberikan pendampingan hukum. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah dan lembaga-lembaga terkait harus bekerja sama untuk memberikan dukungan dan bantuan yang memadai kepada LPSK. Selain itu, dibutuhkan peningkatan dalam pemberian akses terhadap informasi dan pelatihan terkait pendampingan hukum bagi saksi dan korban.
Analisis hukum terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menunjukkan bahwa Undang-Undang tersebut sangat penting dalam memberikan perlindungan dan pengamanan bagi saksi dan korban. Undang-Undang tersebut mengatur mengenai kewenangan, tanggung jawab, dan prinsip-prinsip yang harus dijunjung tinggi oleh LPSK dalam menjalankan tugasnya.
Tanggung jawab pertama yang harus diemban oleh LPSK adalah memberikan pendampingan dan konsultasi hukum kepada saksi dan korban. Dalam menjalankan tugas ini, LPSK harus mampu memberikan bantuan hukum secara komprehensif dan terpercaya kepada saksi dan korban. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa saksi dan korban memahami hak-hak mereka serta dapat memperjuangkan hak-hak tersebut secara adil dan setara.
Tanggung jawab kedua yang harus diemban oleh LPSK adalah memberikan perlindungan dan pengamanan kepada saksi dan korban. Perlindungan dan pengamanan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti memberikan fasilitas tempat tinggal, pengamanan pribadi, serta perlindungan terhadap ancaman atau kekerasan yang mungkin terjadi. Dalam menjalankan tugas ini, LPSK harus mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan saksi dan korban.
Tanggung jawab ketiga yang harus diemban oleh LPSK adalah membantu saksi dan korban dalam memperoleh hak-haknya, termasuk hak mendapat kompensasi dan restitusi dari pelaku kejahatan. Dalam hal ini, LPSK harus memastikan bahwa saksi dan korban memperoleh hak-hak mereka secara adil dan setara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Tanggung jawab keempat yang harus diemban oleh LPSK adalah mengembangkan dan menerapkan program pelatihan dan pendidikan bagi saksi dan korban. Program pelatihan dan pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saksi dan korban dalam memperjuangkan hak-hak mereka, serta memperkuat keberanian dan kepercayaan diri saksi dan korban.
Tanggung jawab kelima yang harus diemban oleh LPSK adalah mempromosikan kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait dalam memberikan perlindungan dan pengamanan bagi saksi dan korban. Dalam hal ini, LPSK harus aktif berkoordinasi dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait seperti kepolisian, pengadilan, dan lembaga bantuan hukum lainnya.
Tanggung jawab terakhir yang harus diemban oleh LPSK adalah menyampaikan saran dan pendapat kepada pemerintah dan lembaga-lembaga terkait mengenai kebijakan perlindungan saksi dan korban. Dalam hal ini, LPSK harus memastikan bahwa saran dan pendapat yang disampaikan didasarkan pada fakta dan analisis yang obyektif dan dapat memberikan kontribusi positif bagi peningkatan perlindungan dan pengamanan bagi saksi dan korban.
Sebagai lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang, LPSK memiliki dasar hukum yang kuat dalam melaksanakan tugasnya. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PPSK) adalah landasan hukum utama yang mengatur pembentukan, tugas, dan wewenang LPSK.
Pasal 4 UU PPSK menyebutkan bahwa LPSK berwenang memberikan perlindungan dan pengamanan bagi saksi dan korban yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, LPSK juga berwenang memberikan bantuan hukum, pendampingan, dan advokasi kepada saksi dan korban dalam rangka memperoleh hak-hak mereka.
Pasal 5 UU PPSK menyebutkan bahwa LPSK dapat memberikan perlindungan dan pengamanan kepada saksi dan korban yang mengalami ancaman kekerasan atau balas dendam dari pelaku kejahatan. Perlindungan dan pengamanan ini dapat berupa pengawalan, pengamanan tempat tinggal, atau perlindungan terhadap ancaman yang mungkin timbul.