Sesungguhnya, bukan Jokowi, Prabowo atau Via Vallen yang dihasrati oleh para pendukung/penggemar, tetapi penanda-penanda identitas yang melekat pada diri Jokowi, Prabowo atau Via Vallen.Â
Lalu, kita terlanjur berfantasi dengan penanda tersebut untuk kemudian kita identifikasikannya kepada diri kita. Persoalan yang bisa muncul dari identifikasi fantasmatik ini adalah siapkah kita bila terjadi peralihan penanda pada objek hasrat tersebut? Bahwa ternyata Jokowi sendiri adalah orang yang tidak toleran, suka berfoya-foya, dan bahkan diktator.Â
Hanya dengan peralihan penanda-penanda sebagai identifikasi fantasmatik, kita seketika juga bereaksi: muntah, marah-marah, apatis, bahkan stres. Padahal peralihan identifikasi fantasmatik itu bisa saja hanya permainan penanda-wacana belaka.
Sama halnya disaat kita menghasrati objek hasrat Via Vallen dan disaat yang bersamaan ia mengatakan bahwa dirinya adalah waria, di situlah momen segala identifikasi fantasmatik terhadap Via Vallen rontok. Padahal Via Vallen sebagai objek tidak berubah. Hanya posisi simboliknya saja yang bergeser dan pemaknaan pun menjadi bergeser.
Di politik, pemaknaan atau posisi simbolik dari seorang politisi yang kita idolakan selalu memiliki kecenderungan mengalami pergeseran-pergeseran. Tidak ada yang tetap dan autentik. Kita pada akhirnya hanyalah menjadi permainan-permainan penanda/simbolik yang justru kita buat sendiri, yaitu identifikasi fantasmatik kita.
*tulisan ini pernah diuat di geotimes.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H