Sejak pilpres 2014 hingga pilkada DKI 2017 dan pilkada serentak dibeberapa wilayah tahun 2018, wacana penanda identitas menguat dan meruncing dalam memproyeksikan calon pemimpin hingga para simpatisan.Â
Hal tersebut terlihat dari alat politik identitas yang disemai sebagai kampanye hitam. Wacana yang dimainkan adalah wacana yang saling beroposisi: toleran-intoleran, proulama-tidak proulama/prokomunis, nasionalis-tidak nasionalis, proasing/aseng-propribumi, pendatang-pribumi, pluralis-fundamentalis, jujur-korup, dan lain sebagainya.
Kita cenderung membuat identifikasi pada seseorang yang kita hasrati atau idola. Jokowi dan Prabowo secara tanpa sadar kita lekatkan pada suatu identitas. Bagi simpatisan, Jokowi akan diidentifikasi sebagai yang 'toleran' dan mengatakan Prabowo dan pendukungnya 'tidak toleran'.Â
Begitupun simpatisan Prabowo akan mengidentifikasi Prabowo sebagai 'Proulama' dan mengatakan Jokowi dan pendukungnya 'tidak proulama', 'prokomunis', 'anti-Islam', dan sebagainya.
Wacana-wacana ini dimainkan, diperhadap-hadapkan, hingga membentuk polarisasi. Masyarakat terpolarisasi dengan membawa identitifikasi tokoh yang didukung dengan identitas yang saling melabeli.Â
Para pendukung Jokowi juga akan diidentifikasi sebagai orang yang tidak mendukung ulama. Sedangkan para pendukung Prabowo akan diidentifikasi sebagai 'intoleran', 'anti-pancasila', 'fundamentalis', dan sebagainya.
Jelang pilpres 2019 ini, wacana penanda identitas mengalami peralihan. Para pendukung Jokowi yang memposisikan diri mereka sebagai pembela kemajemukan, toleran, tidak menggunakan agama sebagai cara berpolitik, seketika beralih disaat Jokowi memilih Kyai Maaruf Amin.
Jokowi dianggap malah memainkan isu agama oleh lawan politik. Sebaliknya, Prabowo yang diusung melalui ijtimak ulama tidak memilih pilihan ulama sebagai pendampingnya.Â
Prabowo yang direpresentasikan sebagai pemimpin yang membela umat Islam dan membela ulama juga beralih dari penanda identitas tersebut. Inilah momen di mana subjek (para pendukung) mengalami keterbelahan identitas. Identifikasi fantasmatik terhadap tokoh pilihan oleh para pendukung mengalami peralihan penanda identitas.
Identifikasi Fantasmatik
Identifikasi fantasmatik adalah sesuatu yang menjadi objek penyebab hasrat subjek. Dalam konsep psikonalisis Lacan, identifikasi tersebut disebut sebagai objek petit a. Jokowi, Prabowo, TGB, Mahfud M.D., AHY, Uno hingga Via Vallen adalah objek hasrat pendukung-penggemar-fans, sedangkan objek penyebab hasratnya adalah segala penanda identitas yang merepresentasikan tokoh publik atau idola tersebut.