Mohon tunggu...
Ricky A Manik
Ricky A Manik Mohon Tunggu... Peneliti -

belajar untuk menjadi kuat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena Fiksimini

7 Januari 2019   07:54 Diperbarui: 7 Januari 2019   08:13 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengaruh munculnya teknologi elektronik atau multimedia tak dapat dipungkiri telah memberi perubahan pada  masyarakat dan kebudayaannya. Perubahan tersebut terletak pada sensibilitas masyarakatnya. Pada masyarakat lisan, sensibilitas terletak pada indera pendengaran, sebab informasi yang didapat oleh masyarakat lisan bersifat temporal, terjadinya melalui tatap muka. 

Makanya cenderung masyarakat lisan membangun tempat-tempat sejarahnya, monumen-monumen, atau patung-patung tokoh yang mereka anggap penting untuk diingat dan ini membawanya kepada masyarakat yang komunal. Selain itu masyarakat lisan selalu terikat pada konteksnya, harus tatap muka, ada material-material yang hadir dalam wujud nyata. 

Sementara itu pada masyarakat tulis, informasi itu bersifat meruang dan mewaktu. Dalam konteks sastra dapat kita temukan pada naskah-naskah kuno yang berisi informasi-informasi tentang keadaan, prilaku, tradisi masyarakat pada waktu itu. Ini artinya konteks sosial dan kebudayaan masyarakat tulis termediasi oleh tulisan dan percetakan yang bersifat mekanik. Kalau kita mengetahui kondisi masyarakat melalui tulisan pada suatu zaman tertentu, itu menandakan bahwa tulisan tersebut meruang dan mewaktu.

Bagaimana dengan masyarakat hari ini yang hampir seluruh sektor kehidupannya dilingkupi oleh teknologi elektronik. Apalagi sekarang orang menyebutnya dengan istilah zamannya gadget. Smartphone, laptop, notebook, komputer, kamera, tablet, dan beragam jenis gadget lainnya seolah-oleh diperlukan dan dibutuhkan guna mendapatkan informasi dari seluruh penjuru dunia. 

Bagi yang tidak memiliki gadget akan dianggap (secara tidak langsung) bagi masyarakat multimedia sebagai orang yang ketinggalan zaman, nggak up to date, gaptek (gagap teknologi), lemot, lelet, dan segala macamnya. Informasi tidak lagi didapat dari seseorang melalui face to face seperti pada tradisi lisan, atau dari media tulis dalam hal ini buku atau naskah-naskah yang berada di luar konteksnya. 

Dalam artian, kehadiran bahasa dalam tradisi tulis atau cetak memiliki keterbatasan hanya kepada teksnya saja dan konteks selalu berada di luarnya. Multimedia telah memberikan informasi berupa teks-teks yang tidak lepas dari konteksnya, seperti televisi dan internet pada youtube misalnya. Pada konteks tersebutlah letak perbedaan sensibilitas sosial dan kultur masyarakat modern dengan pascamodern.

Sensibilitas modern yang menjadi dasar ilmu pengetahuan merupakan produk yang dimediasi oleh tulisan, sedangkan tulisan itu sendiri merupakan kekuatan teknologis yang membentuk subjek yang mandiri di hadapan semesta objek-objek, subjek yang reflektif dan kontemplatif dengan cara mengambil jarak dari kehidupan agar ia mampu memahami, menjelaskan, dan merepresentasikan kebenaran secara objektif. 

Sedangkan sensibilitas pascamodern tidak lagi membentuk subjek yang mandiri yang berhadapan secara berjarak dengan objek, melainkan membentuk subjek yang terlibat dalam hubungan intersubjektif dengan subjek yang lain sehingga yang diutamakan dalam proses perolehan ilmu pengeahuan bukanlah hasil yang berupa kebenaran, melainkan proses interaksi dan pengalaman dalam proses itu sendiri (Faruk, 2011: 50).

Dalam pidato pengukuhan guru besar UGM dengan judul Sastra dalam Masyarakat (Ter-)Multimedia(-kan), Faruk mengatakan bahwa pengertian konteks dalam berbagai pendekatan (pembaca teks dan karya sastra melalui teori sastra) yang digunakan cenderung dipahami sebagai sebuah totalitas yang di dalamnya teks menjadi terdefenisikan, sebagai esensi yang menempatkan teks sebagai eksistensi, sebagai kode yang menempatkan teks sebagai aktualisasinya, atau metabahasa yang menempatkan teks sebagai bahasa sehingga hubungan antara teks dengan konteks menjadi hierarkis. 

Sedangkan konteks dalam sensibilitas multimedia adalah sesuatu yang diciptakan sehingga membentuk diri semacam simulakrum dan bahkan hiperrealitas dalam pengertian Baudrillard. Karena itu, sensibilitas multimedia yang demikian dapat juga disebut sebagai sensibilitas pascamodern (Faruk, 2011: 21).

 

Fenomena Facebook dan Twitter 

Sampai hari ini diperkirakan ada sekitar 65 situs jejaring sosial, 39 situs jejaring sosial beranggota diatas 10 juta, dan ada lima situs yang memiliki anggota sebanyak 100 juta, termasuk salah duanya Facebook (FB) dan Twitter. Dua situs jejaring sosial ini sangat fenomenal dibandingkan situs-situs jejaring sosial lainnya yang ada sebelumnya seperti friendster, tagged, myspace, dll. 

Keberadaan Facebook dan Twitter seolah-seolah telah mengakomodasi masyarakat dalam menjaga hubungan pertemanan atau membuat hubungan sosial lainnya (misalnya mencari jodoh) serta saling berbagi informasi. Selain itu, kedua jejaring sosial ini juga memberi ruang ekspresi kata-kata bagi penggunanya yaitu berupa status yang bisa ditulis kapan saja. 

Ruang ekspresi kata-kata ini juga memberikan kebebasan tanpa batas sehingga kadang kita temui anak sekolah harus berurusan dengan yang berwajib karena telah memaki-maki gurunya melalui status FB yang dibuatnya. Fasilitas chatting yang ada juga memberikan ruang sesama anggota untuk saling berbincang-bincang secara langsung.

Fenomena Twitter juga menjadi kecemasan bagi industri media arus utama (mainstream), baik media cetak, elektronik, maupun online. Seorang kolumnis teknologi Guardian.co.uk bernama Alan Rusbridger dalam opininya itu memperingatkan dan menyarankan pemilik media untuk berdamai dan tidak harus malu mengadopsi kelebihan Twitter dalam mendistribusikan kontennya.

Bagi warga dunia maya (netizen), Twitter yang mulai online sejak 15 Juli 2006 adalah sebuah keniscayaan. Dengan tekanan waktu dan kesibukan, warga di dunia maya ini tidak lagi ngeblog dengan membuat posting yang panjang lebar. 

Cukup berkicau seperti burung tentang apa yang terjadi dan menginformasikan peristiwa yang menimpanya atau orang lain, pesan sudah sampai secara berantai. Kecepatan dalam mengakses informasi inilah yang harus diwaspadai dan menjadi pertimbangan oleh media cetak sekalipun telah memiliki kultur pembacanya sendiri.

Kehadiran FB dan Twitter dalam konteks sastra juga telah memiliki peran dalam penulisan sastra saat ini. Sebagai media di dunia maya, keduanya telah memperlihatkan kekuatan dan pesonanya yang membuka berbagai kemungkinan bagi pertumbuhan dan penyebaran sastra. 

Melalui Twitter dan FB seorang penulis dapat mendistribusikan, menjual, atau menginformasikan buku karya-karyanya. Selain itu, sebagai media sosial, FB dan Twitter telah mempertemukan para pemilik hobi dan ketertarikan yang sama, seperti halnya para pecinta sastra yang kemudian membentuk komunitas-komunitas sastra yang terbuka, heterogen, lintas sosial dan dunia. Komunitas-komunitas ini serupa yang oleh Bennedict Anderson sebut sebagai Imagined Communities.

Fenomena Fiksi mini

Istilah Fiksi mini dipopulerkan oleh Agus Noor. Fiksi mini menurutnya adalah fiksi yang hanya terdiri dari "secuil" kalimat. Mungkin empat sampai sepuluh kata, atau satu paragraf. Tetapi di dalam fiksi mini terdapat "keluasan dan kedalaman". Ia menyebutnya fiksi mini bukan prosa mini karena fiksi mini bisa juga berbentuk puisi. 

Tetapi yang membedakannya dengan "puisi pendek" ada pada unsur naratif atau penceritaan. Puisi pendek seperti haiku memang lebih tepat dikatakan sebagai puisi pendek, bukan fiksi mini. Bila dalam prosa kita menemukan adanya peneritaan seperti penokohan (protagonis dan antagonis), konflik, obstacles atau juga complication dan resolution. Barangkali, pada fiksi mini, justru resolution itu yang dihindari, karena dalam fiksi mini, akhir (ending) menjadi semacam gema, yang terus dibiarkan tumbuh dalam imajinasi pembaca.

Seorang novelis dunia Ernest Hemingway pernah bertaruh dengan temannya bahwa ia mampu menulis novel lengkap dan hebat hanya dengan enam kata.

For sale: baby shoes, never worn.

Tulisan ini ditulisnya pada tahun 1920 dan Hemingway menganggap bahwa itu adalah karya terbaiknya. Menurut Agus, fiksi mini sesungguhnya punya sejarah yang panjang. Fabel-fabel pendek karya Aesop (620-560 SM), adalah sebuah "kisah mini" yang penuh suspens dalam kependekannya. 

Di perancis, fiksi mini dikenal dengan nama nouvelles. Orang Jepang menyebut kisah-kisah mungil itu dengan nama "cerita setelapak tangan", karena cerita itu akan cukup bila dituliskan di telepak tangan kita. Ada juga yang menyebutnya sebagai "cerita kartu pos" (postcard fiction), karena cerita itu juga cukup bila ditulis dalam kartu pos. 

Di Amerika, ia juga sering disebut fiksi kilat (flash fiction), dan ada yang menyebutnya sebagai sudden fiction atau micro fiction. Bahkan, seperti diperkenalkan Sean Borgstrom, kita biasa menyebutnya sebagai nanofiction. Apa pun kita menyebutnya, saya pribadi lebih suka menamainya sebagai fiksi mini. Begitu kata Agus dalam artikelnya yang berjudul Fiksi mini: Menyuling Cerita, Menyuling Dunia di Harian JawaPos, Minggu 13 Desember 2009.

Fiksimini adalah ruang berbagi cerita yang terbuka bagi semua orang yang mengikutinya-biasa disebut sebagai followers. Sesuai dengan namanya, cerita yang ditampung di ruang itu adalah fiksi yang mini alias cerita yang pendek sekali. Setiap satu cerita tak boleh lebih dari 140 karakter, termasuk spasi dan nama pengirim. 

Tetapi dalam kependekannya fiksi mini itu, unsur-unsur cerita dapat ditemukan, seperti tokoh, karakter, plot, ketegangan, dan konflik. Setiap pengirim (yang ditandai dengan @nama) dituntut memainkan semua unsur drama secara efektif sehingga bisa menggugah, bahkan meletupkan ledakan yang mengesankan. 

Biasanya, setiap hari ada moderator yang menyodorkan tema tertentu, seperti surat, ranjang, soto, ciuman, atau soal lain. Pengikut lantas menanggapi dengan membuat cerita mungil dengan tema tadi.

Istilah fiksi mini nge-trend dalam dunia sastra ketika internet begitu mendominasi dalam kehidupan kita. Dunia seolah-olah semakin berkelebat cepat dan waktu dapat dilipat dengan kecil dan praktis. Dan kita merasa semuanya menjadi penting atas segala sesuatu yang serba gegas, sekilas, dan ringkas itu. Kecepatan dan keringkasan adalah ciri tulisan internet. 

Melalui internet kita dapat melihat dunia hanya dengan sebuah telepon genggam. Perubahan pandangan tehadap dunia yang telah ter-multimedia-kan telah membawa sensibilitas yang baru dalam masyarakat dan kebudayaannya. Hal inilah yang membedakannya dari kultur masyarakat tulis yang memandang dunia melalui objektivitasnya.

Dari penjelasan dan asumsi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kehadiran fiksi mini di media sosial merupakan produk masyarakat yang telah ter-multimedia-kan. Terbentuknya masyarakat ini disebabkan oleh kecanggihan teknologi yang dijadikan sebagai mode of information dan membentuk suatu budaya masyarakat dengan sensibilitas multimedia. 

Jika melihat dari bentuk yang ditawarkan oleh fiksi mini ini, maka ia membentuk kecenderungan baru dalam karya sastra atau apa yang dapat disebut sebagai karya sastra pascamodern. Dengan demikian, ia juga akan membutuhkan pendekatan-pendekatan baru dan teori-teori baru dalam ilmu sastra.

*artikel ini pernah dimuat di koran Jambi Ekspres

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun