Mohon tunggu...
Ricky A Manik
Ricky A Manik Mohon Tunggu... Peneliti -

belajar untuk menjadi kuat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sastra Sebagai Gerakan Literasi Progresif

4 Januari 2019   09:53 Diperbarui: 4 Januari 2019   10:13 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam survei yang tersebar diberbagai media yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) mulai dari tahun 2012 dan yang terakhir tahun 2015 menempatkan Indonesia sebagai urutan ke-64 dari 72 negara dalam budaya literasinya. Lima besar ditempati oleh Singapura, Jepang, Estonia, Taiwan, dan Finlandia. Sedangkan riset UNESCO pada tahun 2012 mengatakan bahwa indeks minat baca masyarakat kita baru mencapai 0,001. Artinya, dari 1000 penduduk hanya satu orang yang memiliki minat baca.

Apakah kondisi ini menandakan bahwa masyarakat kita belum melek baca atau bahan bacaan di masyarakat khususnya di dunia pendidikan kita itu minim? Atau ada strategi yang salah dalam membudayakan literasi yang kita lakukan terutama di dunia pendidikan kita?

Ketiga pertanyaan itu memiliki korelasi satu dengan yang lainnya. Bagaimana mungkin suatu masyarakat bisa melek baca jika bahan bacaan tidak ada atau memadai. Sekalipun memiliki bahan bacaan yang banyak, belum tentu membuat minat baca masyarakat tumbuh jika strategi dalam menumbuhkan kesadaran minat baca tidak ada atau salah. Kesalahan startegi ini dapat dilihat dari program yang dilakukan oleh Taufik Ismail sebelum muncul survei PISA dan UNESCO. 

Program Taufik Ismail yang dianggapnya sebagai hasil riset pribadinya tentang minat baca masyarakat Indonesia yaitu MMAS (Membaca, Menulis, Apresiasi Sastra) untuk guru dan dua program yang disponsori Ford Foundation (FF) yaitu SBMM (Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca) dan SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya). Kedua program yang disponsori FF selama tahun 2000-2002 ini justru tak menunjukkan peningkatan minat baca masyarakat.

Menurut Faruk dalam makalahnya Peranan Sastra dalam Membentuk Budaya Literasi (2016) bahwa kesalahan startegi itu dimungkinkan karena tidak adanya landasan teoritik yang kuat mengenai keberaksaraan atau budaya aksara itu sendiri. Dua program andalan itu bukannya menguji daya baca siswa dan mendatangkan banyak buku ke sekolah, justru mendatangkan sastrawan untuk tidak menulis, melainkan berbicara, dan meminta siswa bertanya, bukan membaca. 

Bagi Faruk, program ini justru bukan mengajak atau membentuk tradisi membaca, melainkan tradisi kelisanan. Bukan membentuk budaya tulis, tetapi membentuk budaya lisan. Dampak dari strategi ini justru menghasilkan figur otoritatif dan menjauhkan masyarakat dari teks itu sendiri. Orang yang berbicara (sastrawan) menggantikan teks sastranya dalam menentukan kebenaran teks sastra yang ditulisnya.

Strategi yang salah dengan menumbuhkan budaya lisan dibanding budaya tulis dan baca, malah dapat memberi dampak dalam fungsinya bahan bacaan. Sekalipun program penerbitan buku sebagai bahan bacaan dan dibagi-bagi secara gratis ke setiap perpustakaan, tidak serta-merta akan menumbuhkan minat baca masyarakatnya. Sebab, bagi masyarakat dengan budaya lisan, bahan bacaan (teks) hanya akan menjadi azimat atau rajah. Buku-buku hanya akan menjadi artefak yang berdebu (kalau tidak dimakan rayap) yang mengisi rak-rak perpustakaan.

Tahun 2016, Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud membuat program penulisan buku bahan bacaan untuk tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Ada 170 buku yang dicetak dengan isi mengambil cerita rakyat seluruh Nusantara (penulis juga termasuk dalam penulisan buku tersebut). Tahun 2017 dan 2018 ini melalui Badan Bahasa dan Balai/Kantor Bahasa mengadakan sayembara penulisan buku bahan bacaan. Badan Bahasa sendiri akan memberikan sekitar 190 buku yang terpilih untuk kemudian diterbitkan. 

Belum lagi pemenang yang ada disetiap Balai/Kantor Bahasa diseluruh Nusantara. Ini mengartikan bahwa strategi pemerintah dalam menerapkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) adalah dengan menyediakan sebanyak-banyaknya bahan bacaan untuk dunia pendidikan kita. Kemendikbud pun melalui program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) menerapkan siswa untuk membaca selama lima belas menit sebelum pelajaran dimulai (Permendikbud No.23 tahun 2015). Apakah strategi ini berhasil? Jelas belum bisa diukur. Namun, jika seluruh gerakan tersebut hanya sebatas pemberian bahan bacaan dan mengembangkan tradisi membaca buku (teks), bukan pada tradisi menulisnya, maka kita salah kaprah dalam memahami literasi. Gerakan literasi hanya menjadi tindakan kedua (membaca).

Tidak ada yang salah dari program tersebut. Kebutuhan akan bahan-bahan bacaan memang diperlukan. Hanya saja, program itu kurang progresif. Lalu, di mana problemnya? Problemnya adalah ketidakpahaman akan esensi literasi. Titik anjaknya adalah kemelekaksaraan. Kemelekaksaraan ditandai dengan perubahan masyarakat lisan ke masyarakat tulisan. Masyarakat dengan tradisi menulis.

Hal ini menandakan bahwa tindakan pertama dari gerakan literasi adalah menulis, bukan membaca. Membaca adalah tindakan kedua. Orang yang sering menulis, pasti gemar membaca. Orang yang sering membaca, belum tentu gemar menulis. Artinya, jika ingin tradisi literasi masyarakat kita meningkat, program menulis adalah hal yang mesti diutamakan, karena jika minat menulis tinggi, maka minat baca juga akan ikut tinggi.

Sastra Sebagai Gerakan Literasi

Kegiatan yang paling memungkinkan untuk melakukan tindakan membaca dan menulis (mengarang) adalah sastra. Mengapa paling memungkinkan? Pertama, karena sastra merupakan seni berbahasa dibandingkan dengan seni yang lain. Tindakan membaca dan menulis memerlukan bahasa sebagai mediumnya. 

Kegiatan membaca dan menulis membutuhkan kemampuan dalam seni memahami. Ilmu seni memahami ini kita temukan dalam salah satu ilmu sastra yaitu hermeneutik, sebuah ilmu penafsiran, interpretasi terhadap teks. Hermeneutik ini menandakan bahwa teks-teks (sastra) terbuka peluang untuk diperiksa selalu makna yang terkandung di dalamnya. Keterbukaan teks sastra dalam beragam penafsiran menunjukkan bahwa sastra merupakan aktivitas kebahasaan yang kuat baik dalam proses membaca atau menulis karya-karya sastra yang inovatif. Proses ini mendorong masyarakat khususnya dalam dunia pendidikan mengasah kemampuan berpikirnya menjadi lebih progresif.

Kedua, sebagai karya yang memiliki sifat imajinatif, sastra membentuk dunia yang ada pada dirinya sendiri melalui teks yang dihadirkannya. Sehingganya, membaca sastra menuntut kepekaan dan kesadaran akan tekstualitas. Dengan kemampuan ini, bukan tidak mungkin akan memunculkan masyarakat-masyarakat yang kritis, yang mampu memahami berbagai peristiwa atau fenomena yang terjadi di lingkungannya.

Ketiga, kepekaan dan kesadaran tekstual muncul dari relasi antara pembaca dan teks sastra, berasal dari relasi subjek-objek, bukan dari relasi intersubjetif yang muncul dari kecenderungan tradisi lisan. Hubungan antara pembaca dan teks sastra membebaskan pembaca dari figur otoritatif yang terkadang memiliki tafsiran sendiri terhadap teks. Sastrawan tidak perlu ikut campur dalam proses pembaca memahami teks sastranya.  

Keempat, karya-karya sastra daerah seperti pantun, syair, seloko, pepatah-petitih, mantra, cerita rakyat (dongeng, mitos, dan legenda) yang dimiliki oleh masyarakat lisan dapat direvitalisasi dengan cara mendokumentasikannya baik secara tulisan atau rekaman oleh masyarakat pemiliknya. Aktivitas demikian memberi ruang artikulatif bagi masyarakat untuk menggali dan memberdayakan potensi sosial-budaya sendiri. 

Sekolah dan lembaga-lembaga (Kemendiknas, Diknas Provinsi/Kabupaten, Badan/Balai/Kantor Bahasa dan lainnya) sudah harus berperan aktif dalam menumbuhkan kesadaran menulis dan membaca di masyarakat, sebab kerja-kerja kebudayaan (sastra sebagai mediumnya) inilah yang pada akhirnya membuat gerakan literasi menjadi lebih progresif, bukan konservatif. 

Jambi, 18 Juli 2018

*Tulisan ini pernah dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 4 November 2018

**Pemerhati sastra tinggal di Jambi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun