Mohon tunggu...
Ricky Donny Lamhot Marpaung
Ricky Donny Lamhot Marpaung Mohon Tunggu... Ilmuwan - Your Future Constitutional Judge

Pemerhati Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Reformasi Wibawa Mahkamah Konstitusi

20 April 2020   19:18 Diperbarui: 20 April 2020   19:30 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembahasan revisi UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tengah digodok dalam rangkaian rapat paripurna sebagai prioritas. Namun, ditengah wabah pandemi Corona, agenda tersebut nampaknya akan ditunda dalam waktu yang belum ditentukan. Akan tetapi, instrumen RUU MK terkesan diagendakan secara terburu-buru bersamaan dengan RUU KUHP dan RUU Permasyarakatan. 

Padahal, justru ini akan menjadi sebuah pelemahan institusi dari lembaga legislatif terhadap lembaga eksekutif. Mengapa dikatakan demikian?. Hal ini mengacu kepada kebutuhan yang dirasa tidak mendesak. Mahkamah Konstitusi sebagai benteng terakhir peradilan dalam memutus perkara melalui kewenangannya dirasa sudah memenuhi standar kelembagaan secara jelas baik itu dari segi pengangkatan hakim, aturan sidang, dan standardisasi serta penguatan secara internal. 

Dinamika yang tidak biasa justru mewarnai polemik jika diadakannya perubahan kedua terhadap UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Pada pasal 4 draf revisi terhadap UU itu tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima tahun. Poin ini akan mengubah pasal dalam UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 24 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa masa jabatan ketua dan wakil ketua adalah dua tahun enam bulan. 

Selain itu, pengangkatan terhadap hakim pada usia syarat minimun sebagai hakim MK akan mengalami perubahan dari semula usia 47 tahun menjadi 60 tahun. Hal ini memicu berbagai kontroversi, pasal-pasal itu terancam menjadi pasal karet karena memunculkan ketidakjelasan dalam substansi yang digunakan. 

Pasal 22 juga menjadi poin yang patut diperhitungkan. Dijelaskan bahwa pasal itu mengatur masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali pada masa jabatan berikutnya. Dalam draf revisi, ternyata pasal itu dihapus. Tentu, ini menjadi manuver politik bagi DPR. Kesan yang ditunjukkan adalah delapan dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi telah berusia 60 tahun. Belum lagi, ini menjadi hal yang tidak diuntungkan bagi Saldi Isra karena syarat usia hakim konstitusi yang tidak memenuhi ketentuan draf RUU MK tersebut.

  Seakan Mahkamah Konstitusi berjalan mundur dikarenakan bukan perbaikan institusional yang terjadi melainkan pelemahan terhadap sebuah institusi melalui instrumen hukum. Tercatat, RUU MK telah mengalami isu perubahan dari tahun 2018 hingga 2020. Dengan adanya pelemahan secara institusional dan individual dalam kapasitas hakim maka ini bisa menjadi blunder politik yang dilakukan DPR. Meskipun hal ini belum dibahas karena mengalami penundaan, RUU MK mengalami konsekuensi politik jika instrumen itu diubah secara besar-besaran. Bilamana terjadi, yang tidak diuntungkan adalan calon hakim konstitusi kedepannya. 

Terlebih, kapasitas sebagai hakim konstitusi tidak bisa dilihat hanya dari segi usia, melainkan track record dan keputusan hakim dalam mempertimbangkan sebuah perkara menurut keyakinan dan hati nurani. Apalagi jika dikaitkan secara transparansi dan akuntabilitas, menurut Laporan Mahkamah Konstitusi Tahun 2019 sepanjang tahun 2013-2019, Mahkamah Konstitusi telah meregistrasi sebanyak 3.005 perkara. 

Dari perkara tersebut telah diputus sebanyak 2.974 perkara. Adapun 31 perkara masih dalam tahap proses pemeriksaan Mahkamah Konstitusi. Dengan berkualitasnya putusan perkara yang telah diputus oleh hakim baik amar putusan ditolak, diterima, dan dikabulkan, selayaknya hakim konstitusi tidak dipandang menurut usia ataupun perpanjangan jabatan yang diemban melalui draf perubahan RUU Mahkamah Konstitusi.

  Sebuah tafsiran logis, jika mengingat jabatan hakim Mahkamah merupakan posisi strategis dalam lembaga yudikatif. Menyoal peran besar tersebut, kajian terhadap internalisasi penguatan lembaga haruslah dipandang secara lebih mendalam dan analisis kebijakan yang komprehensif di rapat paripurna DPR. 

Motif kepentingan politik harus ditiadakan, apalagi  jika berhasil menjadi perubahan atas Undang-Undang maka hal yang akan diuji sejumlah pihak terkait pro-kontra penambahan ataupun penghapusan pasal atas perubahan Undang-Undang tersebut. Berkaca kepada penguatan secara lembaga, Mahkamah Konstitusi secara langsung sudah mempunyai anggota dewan etik untuk mengatur kode etik dan pedoman perilaku selama beracara bagi para hakim konstitusi. 

Integritas yang dipunya para hakim saat ini juga pada taraf yang aman-aman saja. Seharusnya, dalam hal ini rekrutmen dan seleksi hakim lah yang harus lebih diperketat dari tahap demi tahap yang dilalui seorang calon hakim konstitusi. Perlu adanya kerjasama antar-lembaga yang menjembatani transparansi dan akuntabilitas selama proses rekrutmen baik itu panitia seleksi Mahkamah Konstitusi maupun DPR dan Mahkamah Agung selaku pengusul lembaga hakim konstitusi. 

Dengan adanya hal-hal yang diatur dalam konteks kelembagaan, banyak kalangan akan memunculkan opini apakah memang Mahkamah Konsitusi akan direformasi secara wibawa atau dikuatkan secara lembaga. Tentu, ini menjadi pertanyaan besar.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun