Mohon tunggu...
Ricky Donny Lamhot Marpaung
Ricky Donny Lamhot Marpaung Mohon Tunggu... Ilmuwan - Your Future Constitutional Judge

Pemerhati Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU, Ihwal Kegentingan atau Sekadar Narasi?

6 Oktober 2019   21:17 Diperbarui: 6 Oktober 2019   21:22 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masih terpampang jelas kejadian hari ini dan kemarin dengan masifnya aksi demonstrasi mahasiswa yang turun ke jalan akibat tuntutan mahasiswa yang tidak terafiliasi oleh berbagai revisi undang-undang. 

Kita kembali ke peristiwa reformasi tahun 1998, tepatnya tanggal 4 Mei 1998 bahwasanya dengan jelas terpampang enam tuntutan reformasi dari amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, penghapusan dwifungsi ABRI, penegakkan supremasi hukum, pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sampai kepada ciptakan pemerintahan yang bebas KKN. 

Dengan semakin kuatnya gelombang aksi mahasiswa yang signifkan terlebih puncak agenda reformasi diakhiri oleh aksi Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti. 

Setelah itu tepat pada tanggal 21 Mei 1998,  Presiden Soeharto secara resmi mundur dari jabatannya dan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan secara resmi kepada Bacharuddin Jusuf Habibie. 

Agenda reformasi tidak berhenti sampai disitu ketika Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie muncul Tragedi Semanggi  yang kembali menurunkan BJ Habibie pada tanggal 24 September 1999 yang meninggalkan kursi jabatan tanpa seorang wakil presiden. Sekelumit kisah tragedi 1998 nampaknya tidak akan terulang seperti era reformasi ini. 

Akan tetapi, tanda ini menjadi sebuah alarm bagi pemerintah bahwa RUU bukan sebuah agenda yang terburu-buru dilaksanakan dengan tempo yang cepat. Butuh waktu bagi para legal drafter atau pembuat undang-undang dalam hal  ini DPR dan para ahli untuk menyusun bahkan merumuskan UU. 

Disisi lain, RUU seperti produk yang genting menyikapi terjadinya konflik akhir-akhir ini bahkan hingga punya kesan melemahkan produk undang-undang itu sendiri.

Cara Kerja RUU

Penyusunan kerja UU tidak hanya menyoal syarat formil namun materiil. Dikatakan disini, seperti tidak hanya memenuhi unsur tindakan bagi si pembuat UU, tetapi akibat yang ditimbulkan bagi si pembuat UU terhadap subyek hukum di masyarakat. Subyek hukum yang dimaksud adalah orang atau badan hukum.

Dengan adanya pasal-pasal karet seperti adanya dewan pengawas di KPK, status kepegawaian KPK sebagai PNS, dsb akan memunculkan sikap spekulatif dari tujuan dari adanya revisi undang-undang. Hal ini akan meletupkan sumbu distori kepemimpinan era pemerintahan Jokowi. 

Secara langsung, konteks RUU KPK dalam kasusnya memang inisiatif DPR, tetapi eksekutif harus menyetujui atau mengesahkan jika terjadinya revisi. Kompleksitas antara revisi UU dan pembuat UU menjadi sebuah pertanyaan besar sampai dimana garis besar bisa dilakukan perbaikan pasal per pasal. Mengingat, tidaklah mudah sebagai pembuat UU untuk mengubah dalam waktu tempo satu malam.  

Begitupun dalam draf RKUHP pasa 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 218 berisikan setiap orang yang dianggap menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun penjara atau denda Rp 150 juta. 

Sementara pasal 219 memuat setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di depan publik, terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp 150 juta.

Dalam kasus ini, kita dapat melihat bahwa semangat reformasi dipukul mundur begitu saja yang sudah diperjuangkan 21 tahun yang lalu. 

Dimanakah letak adanya pro justitia di negeri ini? Belum lagi ini menjadi sebuah narasi besar dalam kasus yang sudah bertahun-tahun kita tidak melihat bagaimana akan diubah atau tidak RKUHP?

Menariknya, polemik-polemik RUU tidak sebatas pada dua produk UU yang disebutkan diatas, melainkan RUU Minerba, RUU Permasyarakatan, RUU Pertanahan, dll. Tidak serta merta dilihat dari aspek politik, tetapi dari aspek hukum. Oleh sebab itu, 

ketidaksiapan dan kesimpangsiuran pemerintah dalam menanggapi RUU seharusnya menjadi perspektif yang diubah untuk membuat esensi pasal yang lebih substantif. Cara pandang dan pola pikir harus melalui jalur keteraturan yang benar jika tidak maka akan membuat blunder opini tersendiri bagi pemerintah dalam hal ini.

Menanti Sikap Legislatif dan Eksekutif

Pro-kontra sikap legislatif terkait RUU memang tidak dibahas secara bersamaan dengan sikap eksekutif dalam hal ini, Presiden. Akan tetapi, pengesahan cepat-lambat di masa berakhirnya periode anggota DPR 2014-2019 seakan untuk memenuhi prolegnas yang banyak terhambat bahkan tidak sampai kepada disahkannya menjadi sebuah produk undang-undang. 

Kejar-mengejar target demi sebuah ambisi yang tidak terbayarkan oleh  sejumlah undang-undang yang semula dari 189 RUU sepanjang 2015-2019. 

Ditambah prolegnas prioritas tercatat sebesar 55 RUU. Kesemuanya hanya sebesar 26 yang ditetapkan menjadi UU berdasarkan data ICW ( Indonesia Corruption Watch). 

Jadi, beban target hanya dicapai sebesar 10 % tiap tahunnya dalam prolegnas yang telah disahkan menjadi UU. Ini jelas produktivitas buruk bagi DPR karena keseriusan mengelola negara tidak didasarkan dari produk melainkan hanya target semu. Tentunya, rakyat menanti pengelolaan yang efektif dan efisien baik itu melalui mekanisme judicial review maupun legislative review. 

Menurut Prof. Mahfud MD, legislative review bisa menjadi jalan prosedural terbaik untuk memperbaiki tatanan berbangsa dan bernegara jika itupula DPR menghendaki perihal RUU KPK yang telah disahkan beberapa waktu lalu.  Tetapi, publik dapat menggunakan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk kembali menarik UU yang semula disahkan menjadi pengabulan gugatan agar terbitnya RUU KPK dan RUU lainnya tidak menjadi polemik berlebihan dan bahkan memicu kontroversi sebelum terbitnya di lembaran negara.

Lalu bagaimana sikap Presiden selaku eksekutif kedepan?. Menariknya, meskipun Presiden menyikapi dengan dingin bahwa RUU KPK adalah inisiatif DPR dan penundaan RKUHP, RUU Minerba, RUU Pertanahan, dsb akan melalui serangkaian proses pengkajian ulang. Patut ditunggu, apakah RUU ini sebuah ihwal kegentingan memaksa atau narasi belaka dalam pembentukannya?. Semoga jelas!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun