Mohon tunggu...
Ricky Donny Lamhot Marpaung
Ricky Donny Lamhot Marpaung Mohon Tunggu... Ilmuwan - Your Future Constitutional Judge

Pemerhati Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU, Ihwal Kegentingan atau Sekadar Narasi?

6 Oktober 2019   21:17 Diperbarui: 6 Oktober 2019   21:22 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Begitupun dalam draf RKUHP pasa 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 218 berisikan setiap orang yang dianggap menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun penjara atau denda Rp 150 juta. 

Sementara pasal 219 memuat setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di depan publik, terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp 150 juta.

Dalam kasus ini, kita dapat melihat bahwa semangat reformasi dipukul mundur begitu saja yang sudah diperjuangkan 21 tahun yang lalu. 

Dimanakah letak adanya pro justitia di negeri ini? Belum lagi ini menjadi sebuah narasi besar dalam kasus yang sudah bertahun-tahun kita tidak melihat bagaimana akan diubah atau tidak RKUHP?

Menariknya, polemik-polemik RUU tidak sebatas pada dua produk UU yang disebutkan diatas, melainkan RUU Minerba, RUU Permasyarakatan, RUU Pertanahan, dll. Tidak serta merta dilihat dari aspek politik, tetapi dari aspek hukum. Oleh sebab itu, 

ketidaksiapan dan kesimpangsiuran pemerintah dalam menanggapi RUU seharusnya menjadi perspektif yang diubah untuk membuat esensi pasal yang lebih substantif. Cara pandang dan pola pikir harus melalui jalur keteraturan yang benar jika tidak maka akan membuat blunder opini tersendiri bagi pemerintah dalam hal ini.

Menanti Sikap Legislatif dan Eksekutif

Pro-kontra sikap legislatif terkait RUU memang tidak dibahas secara bersamaan dengan sikap eksekutif dalam hal ini, Presiden. Akan tetapi, pengesahan cepat-lambat di masa berakhirnya periode anggota DPR 2014-2019 seakan untuk memenuhi prolegnas yang banyak terhambat bahkan tidak sampai kepada disahkannya menjadi sebuah produk undang-undang. 

Kejar-mengejar target demi sebuah ambisi yang tidak terbayarkan oleh  sejumlah undang-undang yang semula dari 189 RUU sepanjang 2015-2019. 

Ditambah prolegnas prioritas tercatat sebesar 55 RUU. Kesemuanya hanya sebesar 26 yang ditetapkan menjadi UU berdasarkan data ICW ( Indonesia Corruption Watch). 

Jadi, beban target hanya dicapai sebesar 10 % tiap tahunnya dalam prolegnas yang telah disahkan menjadi UU. Ini jelas produktivitas buruk bagi DPR karena keseriusan mengelola negara tidak didasarkan dari produk melainkan hanya target semu. Tentunya, rakyat menanti pengelolaan yang efektif dan efisien baik itu melalui mekanisme judicial review maupun legislative review. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun