thrifting sedang ramai diminati anak muda Indonesia belakangan ini. Kegiatan ini awalnya bertujuan sebagai alternatif kebutuhan fashion guna menghemat pengeluaran dan mendukung gerakan sustainable fashion dalam rangka membantu ekologi dengan mengurangi limbah tekstil.
JAKARTA - Berburu pakaian bekas layak pakai atau disebut denganDilansir dari Kompas.com, Fashion Designer brand Rengganis dan Indische sekaligus Vice Executive Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC), Riri Rengganis mengatakan, ada tiga faktor pemicu orang-orang menyukai thrifting.Â
Pertama, thrifing menantang kreativitas dalam styling karena ada unsur surprise dalam berbelanja thrift. Pemicu kedua yakni karena barang-barang thrift lebih murah. Ketiga, adanya kesadaran akan sustainability (keberlanjutan), karena masyarakat mulai memahami bahwa baju bekas merupakan sumber limbah dunia yang sangat besar.
Namun, seiring berjalannya waktu esensi utama dari thrifting mulai berubah. Hal ini juga dirasakan oleh salah satu penjual pakaian bekas di Pasar Senen, Mega. Ia merasakan perubahan esensi ini dapat dilihat dari sisi pembeli yang mana sekarang hanya mencari pakaian dengan merek-merek ternama saja.
"Karena hal ini, toko yang penjualnya orang tua yang awalnya nggak tahu merek-merek ternama akhirnya jadi tahu. Kayak waktu itu gua masih dapet Giordano ori cuma Rp30.000-Rp50.000. Tapi sekarang udah tahu nih Giordano tuh mahal, ya tetep dijual mahal aja padahal mah nggak tahu itu ori atau nggak," ujarnya saat diwawancarai di Pasar Senen, pada Sabtu (17/12).
Senada dengan mega, salah satu penikmat thrifting, Rizal Feriansyah mengungkapkan, esensi thrifting di zaman sekarang hanya sebatas menjadi pemuas gengsi para penikmatnya saja. Karena menurutnya esensi tersebut tidak sesuai dengan esensi awal dari thrifting.
"Karena sekarang yang gua lihat orang thrifting tuh kebanyakan lihat dari brandnya gitu nggak kayak dulu kan thrifting tuh cari yang masih bagus atau layak kan, sekarang lebih cari brand yang bagus, brand yang ternama gitu," ucapnya saat diwawancarai di Pasar Senen, pada Sabtu (17/12).
Rizal juga menjelaskan adanya media sosial sangat berpengaruh pada perubahan esensi thrifting ini. Karena banyaknya konten-konten mengenai thrifting dengan memfokuskan pada merek-merek ternama dan harga yang terbilang murah.
"Akhirnya sekarang banyak bermunculan toko-toko thrift online yang hanya ngejual barang-barang dengan brand-brand ternama doang dan dibandrol dengan harga yang cukup mahal kisaran Rp100.000-500.000," ucapnya.
Hal ini juga disepakati oleh pemilik toko thrift Mtstudioz, Rahmat Hidayat menjelaskan selain konten media sosial, obrolan dari mulut ke mulut juga memengaruhi perubahan esensi thrifting yang membuat masyarakat menjadi Fear of Missing Out (Fomo).
"Harganya pun berubah, mungkin kalau dulu 20 ribu kita sudah dapat hoodie bagus. Kalau sekarang kita Belanja ke pasar bawa duit 20 ribu tuh kita kayak belum dapat apa-apa. Ya mungkin itu tadi penyebabnya ya," ujarnya saat diwawancarai di toko miliknya, pada Sabtu (17/12).
Lebih lanjut, Rahmat menambahkan, dengan adanya perubahan esensi dan harga, tidak membuat kurangnya peminat thrifting. Karena walaupun harganya naik, jika dibandingkan dengan toko aslinya sangat jauh berbeda.
"Mungkin mereka berpikir ya mereka bisa memenuhi gengsi dia dengan harga yang sedikit lebih mahal dibanding kalau dia beli pakaian asli di official store nya,"
Sehubungan dengan itu, Rizal sebagai penikmat thrifting pun masih merasa jika membeli pakaian bekas di era sekarang masih worth it. Karena menurutnya bisa mendapatkan barang merek ternama dengan kualitas bagus dan harga yang murah.
"Gua juga merasakan hal lain dari thrifting yaitu element of surprise gitu kayak gua lagi pilih-pilih baju nih eh tiba-tiba gua dapet barang-barang yang nggak gua duga sebelumnya," jelasnya.
Di sisi lain, pengoleksi barang-barang bekas, Mohammad Rafi Nur menganggap thrifting untuk sekarang sudah tidak worth it lagi. Karena menurutnya kenaikan harga mengubah makna dari thrifting itu sendiri.
"Sebenarnya sekarang kalo dibandingkan harga baju thrifting dengan harga baju baru, harganya juga beda tipis. Jadi mending beli yang baru karena kualitasnya pun masih bagus meskipun beda merek," jelasnya saat diwawancarai di kediamannya pada, Sabtu (17/12).
Ia juga berharap semoga industri thrifting ini kedepannya semakin stabil dari segi harga. Karena menurutnya jika harga thrifting stabil kembali, maka industri ini dapat dinikmati oleh semua kalangan tidak hanya kalangan tertentu saja.
"Karena jujur dari gua pribadi keberatan banget dengan tanda kutip thrift ini yang pada dasarnya mencari barang murah, justru harganya nggak beda jauh sama yang baru," tambahnya.
Dari sisi penjual, Mega berharap industri thrifting ini terus hidup walaupun banyak perbedaan-perbedaan yang dirasakan baik dari segi esensi maupun harga. Karena menurutnya industri thrifting mempunyai nilai uniknya sendiri.
"Thrifting ini semoga bisa terus bersaing dengan pasar-pasar fashion lainnya seperti mal, swalayan agar masyarakat tetap bisa menikmati thrifting ini," pungkasnya.
Penulis: Ricky Alif Abdul Rahmat, NIM: 11210511000151, Mahasiswa semester 3 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H