Lebih lanjut, Rahmat menambahkan, dengan adanya perubahan esensi dan harga, tidak membuat kurangnya peminat thrifting. Karena walaupun harganya naik, jika dibandingkan dengan toko aslinya sangat jauh berbeda.
"Mungkin mereka berpikir ya mereka bisa memenuhi gengsi dia dengan harga yang sedikit lebih mahal dibanding kalau dia beli pakaian asli di official store nya,"
Sehubungan dengan itu, Rizal sebagai penikmat thrifting pun masih merasa jika membeli pakaian bekas di era sekarang masih worth it. Karena menurutnya bisa mendapatkan barang merek ternama dengan kualitas bagus dan harga yang murah.
"Gua juga merasakan hal lain dari thrifting yaitu element of surprise gitu kayak gua lagi pilih-pilih baju nih eh tiba-tiba gua dapet barang-barang yang nggak gua duga sebelumnya," jelasnya.
Di sisi lain, pengoleksi barang-barang bekas, Mohammad Rafi Nur menganggap thrifting untuk sekarang sudah tidak worth it lagi. Karena menurutnya kenaikan harga mengubah makna dari thrifting itu sendiri.
"Sebenarnya sekarang kalo dibandingkan harga baju thrifting dengan harga baju baru, harganya juga beda tipis. Jadi mending beli yang baru karena kualitasnya pun masih bagus meskipun beda merek," jelasnya saat diwawancarai di kediamannya pada, Sabtu (17/12).
Ia juga berharap semoga industri thrifting ini kedepannya semakin stabil dari segi harga. Karena menurutnya jika harga thrifting stabil kembali, maka industri ini dapat dinikmati oleh semua kalangan tidak hanya kalangan tertentu saja.
"Karena jujur dari gua pribadi keberatan banget dengan tanda kutip thrift ini yang pada dasarnya mencari barang murah, justru harganya nggak beda jauh sama yang baru," tambahnya.
Dari sisi penjual, Mega berharap industri thrifting ini terus hidup walaupun banyak perbedaan-perbedaan yang dirasakan baik dari segi esensi maupun harga. Karena menurutnya industri thrifting mempunyai nilai uniknya sendiri.
"Thrifting ini semoga bisa terus bersaing dengan pasar-pasar fashion lainnya seperti mal, swalayan agar masyarakat tetap bisa menikmati thrifting ini," pungkasnya.
Penulis: Ricky Alif Abdul Rahmat, NIM: 11210511000151, Mahasiswa semester 3 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta