Mohon tunggu...
Ricky Valentino
Ricky Valentino Mohon Tunggu... profesional -

* ALUMNI UNIVERSITAS HASANUDDIN * MAHASISWA PASCA SARJANA ILMU KOMUNIKASI POLITIK UNIV MERCU BUANA * DIREKTUR EXECUTIVE PIKIR KALTARA

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Keadilan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kalimantan Utara; Tinjauan Sosio-Spasial

23 April 2016   00:18 Diperbarui: 23 April 2016   00:31 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah paradigma dimana reformulasi tata kelola dalam aturan dan kebijakan lebih komprehensif dan terpadu dalam kerangka komunikasi dialektis permanen. Sebuah paradigma yang mampu mengafirmasi standar-standar nilai dan moral ’lokal’. Sebut saja konsep pengelolaan SDA ’versi’ Kecerdasan Lokal, dimana alam dikelola sekedar memenuhi kebutuhan dasar manusia. Untuk mewujudkan visi utama ini, masyarakat, negara dan perusahaan memiliki tanggunggujawab dalam porsinya masing-masing.

**

Secara keseluruhan, kedua fasilitator ini bertemu dalam dua perkara mendasar. Pertama, pembangunan tidak selalu tentang pembebasan. Derap-laju pembangunan selalu saja menyisakan ruang-ruang penjara tergelap bagi kemanusiaan. Pengelolaan sumber daya alam – sebut saja migas dan batubara di manapun, termasuk Kaltara – yang disebut-sebut sebagai bagian penting dalam proyek pembangunan, tidak selalu tentang meningkatnya kualitas dan derajat hidup. Tetapi juga tentang menurunya kualitas dan derajat hidup dalam dimensi fundamental yang lain.

Di negara-negara industri berkembang, seperti Indonesia di mana kepemilikan alat-alat produksi, modal dan sumber daya manusia masih sangat tidak memadai, selalu terpapar masalah serius, sedikitnya dalam dua aspek: pembagian hasil yang tidak adil dan ketergantungan pada sumber daya impor yang juga menutup pertumbuhan kemampuan sumber daya lokal. Lebih dari itu, dalam pengelolaan SDA dimana akumulasi kekayaan material menjadi landasan spirit eksploitasi sekaligus obsesi paling gemuk, alam lah yang paling dirugikan. Celakanya lagi, warga lokal yang justru dipaksa menanggung resiko dan potensi ancaman setiap saat di sepanjang lintasan rantai krisis lingkungan akibat over-eksploitasi.

Meski demikian, pengelolaan migas dan batubara baik dengan modal (tenaga, uang, infrastruktur) lokal (baca: Indonesia) maupun asing tidak berarti harus ditolak. Hanya saja, perubahan paradigma pengelolaan menjadi sesuatu yang injury time, terutama dalam tesis keadilan. Sebuah paradigma di mana upaya-upaya menakar keadilan dalam pengelolaan migas dan batubara tidak hanya berbicara bagaimana meretas pola dominasi-sub ordinasi dalam relasi manusia-manusia, tetapi juga relasi manusia-alam.

Dengan kata lain, keadilan tidak ditafsir hanya sebagai pembagian hasil yang proporsional antara manusia pemilik dengan manusia pekerja (pengelola) atau pembagian yang proporsional atas resiko dan potensi bencana. Tetapi juga pembagian ’hasil’ yang proporsional antara manusia dengan alam. Dalam pengelolaan migas dan batubara misalnya, konsep keadilan tidak hanya bekerja pada relasi antara perusahaan asing dengan rakyat Indonesia tetapi juga pada konteks ekologis yang spesifik dimana mesin-mesin perusahaan bekerja.

Kedua, minimnya stok energi di Kaltara bukan semata karena masalah kelangkaan, tetapi juga karena masalah lain, ketimpangan dalam rantai distribusi. Dalam konsep-konsep perencanaan klasik, sebut saja MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), koridor ekonomi Kalimantan diposisikan sebagai lumbung ekonomi nasional. Sedikitnya ada 6 jenis SDA potensial di Banua Etam: minyak bumi, gas, kayu, kelapa sawit, bauksit dan batubara. Di Kalimantan Utara, minus bauksit, segmen-segmen potensial itu begitu melimpah, bahkan emas berhasil diidentifikasi di beberapa daerah.

Konsekuensinya, dalam konsep-konsep perencanaan besar konsumsi energi nasional, bumi Kalimantantermasuk Kaltara tak jarang diperlakukan hanya sebagai ”pemasok” bagi kebutuhan energi di kota-kota besar – dari industri pengolahan hingga hiburan – yang hampir seluruhnya terletak di pulau Jawa. Sementara kebutuhan energi, bahkan di sentra-sentra kehidupan yang vital daerah pamasok seperti Kaltara masih serba minim. Maka tak heran, pemadaman listrik di hampir semua daerah di Kaltara, apalagi Kota Tarakan menjadi ’teror’ yang sudah menjadi agenda rutin. Belum lagi masalah kelangkaan BBM dan gas elpiji yang pernah berlangsung lama dan bisa terjadi sewaktu-waktu.

Penghasil energi tapi krisis energi, aneh bukan? Predikat Kota Terkaya ke-17 karena besarnya DBH dari sektor migas bukan prestasi yang cukup membanggakan, benar gak? Bergunung janji korporasi pengolah (penghisap) migas, yang diberi nama”CSR” yang pelaksanaannya tak lebih dari sekedar menggugurkan tanggungjawab atas (dosa) sosial-spasial bukan hiburan yang berkelas, bukan?

***

 Ricky Valentino, S.Pt., M.Ikom

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun