[caption caption="DIREKTUR EXECUTIVE PIKIR KALTARA"][/caption]Di banyak varian arena kehidupan sosial, tak sedikit dari para pegiat gerakan pembaharuan terserap pada salah satu sudut hingga ke titik persoalan pilihan metodologi dalam menafsir realitas sosial. Proses dalam memilih dan menjalankan metodologi adalah pilihan-pilihan logis dalam sebuah tradisi ilmiah.
Konsekuensi logisnya, ada kesadaran atas konteks spesifik dimana pilihan-pilihan itu bekerja. Sayangnya, kesadaran ini yang seringkali tidak hadir. Alhasil, yang terjadi adalah generalisasi, yang bahkan di sisi lain terjadi pemaksaan penerapan kaidah-kaidah yang diklaim universal atas konteks spesifik (lokal), di sisi lain pula, partikularisasi atas konteks yang diklaim berdiri di ‘ruang lain’, kebal atas kaidah-kaidah universal.
Pada titik ini, menjadi penting menafsir kenyataan sosial dengan lengkap dan terintegrasi. Bukan malah menajamkan pertentangan-pertentangan atau mengkultuskan narasi rasionalitas yang berujung pada dogmatism yang baru. Kita butuh landasan dan kerangka epistemik yang mampu keluar dari perangkap logika oposisional biner.
Kita butuh cara pandang yang memungkinkan kita merangkai kegaduhan menjadi keutuhan, meski itu mungkin sesuatu yang baru. Ide dasar inilah yang sedang dibangun-kembangkan oleh PIKIR KALTARA dalam menerjemahkan problem-problem sosial mutakhir, khususnya di kawasan perbatasan dan umumnya di Kalimantan Utara.
Pada agenda diskusi dengan subtema “Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ancaman Krisis Lingkungan” pada tanggal 27 Maret 2016, PIKIR KALTARA menghadirkan dua fasilitator, yaitu Ir. Budi Setiawan (Kepala Dishutamben Kota Tarakan) dan Hariyadi Hamid, SE., M.Sc (Dosen cum Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan). Kedua fasilitator menyampaikan materi ”Kontribusi Pengelolaan Migas dan Batubara dalam Pembangunan Kaltara” dan “Menakar Keadilan Sosio-Ekonomi dalam Pengelolaan Migas di Kaltara” dalam perspektif berbeda, karena kedua fasilitator ini bergerak di ruang berbeda juga karena terlahir dari proses atau tradisi pengetahuan yang berbeda. Demikian pula dengan gagasan-gagasan keduanya. Tafsir atas postur masalah pun mengacu pada landasan dan kerangka berbeda. Misalnya dalam “Menakar Keadilan Sosio-Spasial dalam Pengelolaan Migas dan Batubara di Kaltara” sebagai pokok pembahasan dalam diskusi.
Ir. Budi Setiawan memaparkan beberapa catatan sejarah pengelolaan migas di Indonesia, yang dimulai sejak 1896 yang disebut-sebut sebagai tahun pertama eksploitasi minyak bumi yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan di Tarakan, bermula sejak Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM), perusahaan milik Belanda menemukan minyak bumi di Utara Pulau Kalimantan, khususnya Tarakan pada tahun 1905. Tahun 1907, KNPM dan Shell bergabung menjadi Royal Dutch-Shell Group. Untuk tujuan pengelolaan, minyak bumi Tarakan, dibentuk De Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) yang secara spesifik bekerja di bidang eksplorasi, produksi, pengilangan. Sedangkan untuk urusan transportasi dan pemasaran, diambil alih oleh Anglo Saxon Petroleum Coy.
Pada awal abad 20, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda bekerjasama untuk mendirikan perusahaan gabungan, yaitu Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij (NIAM). Perusahaan ini kemudian berubah menjadi Permindo pada tahun 1959 dan pada tahun 1968, berubah menjadi Pertamina.
Fasilitator kedua, Hariyadi Hamid, SE., M.Sc banyak menyoroti simpul-simpul kelam dalam praktek pengelolaan sumber daya alam, khususnya migas dan batubara di Kalimantan Utara yang harus segera diurai. Mulai dari dominasi perusahaan asing di sektor hulu dan hilir, kerusakan lingkungan, ketimpangan pendapatan, hingga keengganan beralih dari paradigma lama yang begitu konsumtif dan berlebih-lebihan. Di sektor produksi migas misalnya, Hariyadi Hamid menyoroti rendahnya keterlibatan perusahaan nasional. Mengacu pada data BP Migas (sekarang SKK Migas), tahun 2012 terdapat sekitar 85,4 persen dari 137 wilayah kerja pertambangan migas nasional dimiliki perusahaan migas asing. Perusahaan nasional hanya mendapat jatah sekitar 4,6 persen dimana Pertamina hanya menguasai 8 persen. Porsi 85,4 persen itu didominasi 5 kontraktor besar asing (Exxon Mobile, Chevron, Shell, Total dan Beyond Petroleum).
Simpul penting lain yang harus segera diretas menurut Hariyadi Hamid adalah konsep ketahanan energi nasional setelah peralihan dari produksi berorientasi ekspor (migas sebagai sumber pendapatan utama negara) ke produksi berorientasi pemenuhan kebutuhan energi nasional, yang dimulai sejak Indonesia keluar dari OPEC pada tahun 2005. Selama ini juga pengelolaan sumber daya alam masih bertumpu pada sumber tak terbaharukan. Over-eksploitasi pada sumber energi fosil hanya mengakibatkan kerusakan serius, terutama bagi lingkungan yang muaranya juga pada manusia.
Pun demikian, kontribusi migas bagi pendapatan negara tak bisa diingkari. Tahun 1970-an, Indonesia panen besar. Ini terjadi saat krisis energi dunia dimana harga migas (minyak bumi) meroket 4 kali lipat. Lalu tahun 2011, pendapatan negara dari migas sebesar Rp 35,75 milyar dollar; 2012 sebesar 36,13 milyar dollar. Jumlah ini terus meningkat drastis pada tahun 2013 sampai 2014. Kemudian menurun pada tahun 2015 akibat anjloknya harga minyak dunia. Demikian halnya menurut Ir. Budi Setiawan, dengan mengacu pada data Hasil Audit BPK terhadap laporan keuangan Pemerintah Pusat tahun 2014. Laporan ini dirilis pada 25 Mei 2015 yang menempatkan Tarakan sebagai Kota Terkaya ke-17 di Indonesia dari segi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam, yaitu sebesar 722,77 miliar. Penyumbang utama berasal dari sektor perikanan dan gas bumi.
Guna mengurai simpul-simpul ini, menurut Hariyadi Hamid, perlu ada cara pandang baru pengelolaan migas yang mempadu-padankan unsur Profit - People - Planet dalam orientasinya, disebut konsep Tripple Bottom Line. Sebuah paradigma di mana subjek (negara dan perusahaan pengelola migas) tidak hanya berorientasi laba (unsur profit), atau sekedar menggugurkan kewajiban pada masyarakat sekitar dalam konsep CSR (unsur people), tetapi juga memastikan keberlanjutan bumi (unsur planet).
Sebuah paradigma dimana reformulasi tata kelola dalam aturan dan kebijakan lebih komprehensif dan terpadu dalam kerangka komunikasi dialektis permanen. Sebuah paradigma yang mampu mengafirmasi standar-standar nilai dan moral ’lokal’. Sebut saja konsep pengelolaan SDA ’versi’ Kecerdasan Lokal, dimana alam dikelola sekedar memenuhi kebutuhan dasar manusia. Untuk mewujudkan visi utama ini, masyarakat, negara dan perusahaan memiliki tanggunggujawab dalam porsinya masing-masing.
**
Secara keseluruhan, kedua fasilitator ini bertemu dalam dua perkara mendasar. Pertama, pembangunan tidak selalu tentang pembebasan. Derap-laju pembangunan selalu saja menyisakan ruang-ruang penjara tergelap bagi kemanusiaan. Pengelolaan sumber daya alam – sebut saja migas dan batubara di manapun, termasuk Kaltara – yang disebut-sebut sebagai bagian penting dalam proyek pembangunan, tidak selalu tentang meningkatnya kualitas dan derajat hidup. Tetapi juga tentang menurunya kualitas dan derajat hidup dalam dimensi fundamental yang lain.
Di negara-negara industri berkembang, seperti Indonesia di mana kepemilikan alat-alat produksi, modal dan sumber daya manusia masih sangat tidak memadai, selalu terpapar masalah serius, sedikitnya dalam dua aspek: pembagian hasil yang tidak adil dan ketergantungan pada sumber daya impor yang juga menutup pertumbuhan kemampuan sumber daya lokal. Lebih dari itu, dalam pengelolaan SDA dimana akumulasi kekayaan material menjadi landasan spirit eksploitasi sekaligus obsesi paling gemuk, alam lah yang paling dirugikan. Celakanya lagi, warga lokal yang justru dipaksa menanggung resiko dan potensi ancaman setiap saat di sepanjang lintasan rantai krisis lingkungan akibat over-eksploitasi.
Meski demikian, pengelolaan migas dan batubara baik dengan modal (tenaga, uang, infrastruktur) lokal (baca: Indonesia) maupun asing tidak berarti harus ditolak. Hanya saja, perubahan paradigma pengelolaan menjadi sesuatu yang injury time, terutama dalam tesis keadilan. Sebuah paradigma di mana upaya-upaya menakar keadilan dalam pengelolaan migas dan batubara tidak hanya berbicara bagaimana meretas pola dominasi-sub ordinasi dalam relasi manusia-manusia, tetapi juga relasi manusia-alam.
Dengan kata lain, keadilan tidak ditafsir hanya sebagai pembagian hasil yang proporsional antara manusia pemilik dengan manusia pekerja (pengelola) atau pembagian yang proporsional atas resiko dan potensi bencana. Tetapi juga pembagian ’hasil’ yang proporsional antara manusia dengan alam. Dalam pengelolaan migas dan batubara misalnya, konsep keadilan tidak hanya bekerja pada relasi antara perusahaan asing dengan rakyat Indonesia tetapi juga pada konteks ekologis yang spesifik dimana mesin-mesin perusahaan bekerja.
Kedua, minimnya stok energi di Kaltara bukan semata karena masalah kelangkaan, tetapi juga karena masalah lain, ketimpangan dalam rantai distribusi. Dalam konsep-konsep perencanaan klasik, sebut saja MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), koridor ekonomi Kalimantan diposisikan sebagai lumbung ekonomi nasional. Sedikitnya ada 6 jenis SDA potensial di Banua Etam: minyak bumi, gas, kayu, kelapa sawit, bauksit dan batubara. Di Kalimantan Utara, minus bauksit, segmen-segmen potensial itu begitu melimpah, bahkan emas berhasil diidentifikasi di beberapa daerah.
Konsekuensinya, dalam konsep-konsep perencanaan besar konsumsi energi nasional, bumi Kalimantantermasuk Kaltara tak jarang diperlakukan hanya sebagai ”pemasok” bagi kebutuhan energi di kota-kota besar – dari industri pengolahan hingga hiburan – yang hampir seluruhnya terletak di pulau Jawa. Sementara kebutuhan energi, bahkan di sentra-sentra kehidupan yang vital daerah pamasok seperti Kaltara masih serba minim. Maka tak heran, pemadaman listrik di hampir semua daerah di Kaltara, apalagi Kota Tarakan menjadi ’teror’ yang sudah menjadi agenda rutin. Belum lagi masalah kelangkaan BBM dan gas elpiji yang pernah berlangsung lama dan bisa terjadi sewaktu-waktu.
Penghasil energi tapi krisis energi, aneh bukan? Predikat Kota Terkaya ke-17 karena besarnya DBH dari sektor migas bukan prestasi yang cukup membanggakan, benar gak? Bergunung janji korporasi pengolah (penghisap) migas, yang diberi nama”CSR” yang pelaksanaannya tak lebih dari sekedar menggugurkan tanggungjawab atas (dosa) sosial-spasial bukan hiburan yang berkelas, bukan?
***
Ricky Valentino, S.Pt., M.Ikom
Direktur Eksekutif PIKIR KALTARA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H