Mohon tunggu...
Inovasi

Pentingnya Filosofi Kehidupan Dayak

2 Oktober 2017   08:37 Diperbarui: 2 Oktober 2017   09:17 2825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya telah menjadi suatu dasar awal manusia dalam berprilaku yang akhirnya menciptakan suatu adat, di mana juga akhirnya menciptakan jati diri. Budaya itu sendiri merupakan pancaran dari budi dan akal manusia. Memahami jati diri sebenarnya tidak semudah melihat dan mendengar. Tetapi juga harus hidup di dalamnya, memahami jati diri itu dan memandangnya sebagai bentukan yang menjadkan manusia itu unik dan memiliki dasar yang berbeda.

Meskipun budaya bersifat fleksibel, karena berhubungan dengan majunya suatu perkembangan jaman, maka budaya itu sendiri secara tidak sadar akan berusaha mengikutinya. Namun, meskipun budaya itu mengalami perkembangan, suatu esensi dari jati diri kita haruslah tetap menjadi dasar kita, dan harus tetap memahami apa esensi kita telah terlahir dengan budaya kita, dan memahami esensi budaya kita sendiri.

Dayak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia, di mana memiliki budaya yang unik dan penampilan yang eksotis. Dalam kehidupan orang Dayak, memahami kehidupan sangat menjadi junjungan dalam menjalani tiap detiknya di tanah Kalimantan. Bagaimana tidak, dalam beberapa pemahaman sub-suku Dayak, yakin bahwa Dayak memiliki lingkup 3 bagian dari segi alam. Seperti yang di katakan Rosandra Dian Alqadrie "orang Dayak meyakini 3 bagian alam, yaitu, Alam Atas, Alam Tengah dan Alam Bawah, di mana Alam Atas di yakini sebagai sisi baik, lembuh dan pemberi. Dalam pemahamannya kita bisa melihat dari burung Enggang, di mana ia berperan dalam penyebaran bibit -- bibit pohon / tanaman yang paling banyak dibandingkan dengan jenis burung lainnya. Dari karakter burung ini pun lembut, indah dan burung yang setia. Kedua adalah Alam Tengah, di mana diyakini tiap kebijaksanaan dan kearifan yang di diami oleh manusia, kearifan dapat dilihat dari bagaimana segala bentuk fisik maupun non fisik, harus selaras dan memiliki harmoni yang baik. Di mana segala sisi energi positif dan negatif. Dalam Alam Tengah ini pun di yakini bahwa hidup secara komunal memiliki potensial menyelesaikan masalah yang tinggi. Yang terakhir adalah Alam Bawah, di mana ini diyakini merupakan bentuk dari bentuk keburukan yaitu, roh -- roh jahat"

Melalui pemahaman tersebut maka akan terlihat bahwa orang Dayak tidak main -- main dalam memahami suatu esensi atau sebuah filosofi dari sebuah kehidupan dan menghargai alam. karena esensi orang Dayak hidup adalah menghargai alam, karena melalui alam lah mereka dapat hidup. Di mana makanan dan segala bentuk kebutuhan mereka di dapatkan dari alam.

Segala pemahaman yang sempit dan terlalu berlebihan dalam mengartikan suatu esensi atau filosofi dari suatu kehidupan Dayak justru akan menyebabkan pergeseran makna filosofi kehidupan, di mana "alam adalah sahabat, alam adalah ibu kita dan kehidupan kita". Orang Dayak merupakan manusia yang sangat dengan alam, karena keyakinannya adalah jika orang Dayak menjaga alam, maka alam pun akan menjaga mereka. maka dari itu pemahaman yang benar terhadap memahami kehidupan orang Dayak sangatlah dbutuhkan demi menjaga alam dan menjaga ekosistem alam itu sendiri.

Sebagian orang Dayak yang telah lanjut usia, meyakini bahwa konstruksi tentang masyarakat Dayak atau memahami filosofi hidup adalah dengan mengenang manisnya zaman keemasan saat mereka masih berada di pedalaman dan mengisi kebudayaan yang hilang. Tetapi berbebeda dengan pemuda Dayak, yang memiliki pandangan, d mana pendidikan, pekerjaan dan modernisasi merupakan dipahami sebagai salah satu filososfi dalam kehidupan, namun bersamaan dengan itu adanya ketertarikan yang abadi dengan praktik -- praktik dan ritual -- ritual Dayak.

Meskipun memiliki esensi atau pemahaman yang tinggi terhadap alam, perkembangan zaman juga merupakan suatu tantangan bagi pemuda Dayak dalam memahami filosofi dalam kehidupan masa depan Dayak. Beberapa kesulitan dalam menghadapi gejolak modernisasi adalah mempertahankan esensi itu, di mana berhadapan dengan banyaknya jumlah sub-suku Dayak, yaitu terdapat 400 lebih sub-suku dengan bahasa yang berbeda dan tatanan adat yang berbeda. Jika dilihat lebih dalam ini merupakan suatu harga yang harus dibayar, ketika perbedaan itu justru menjadi lahan egois masing -- masing pemikiran kaum muda dan sebagian tetua yang meiliki keputusan untuk membuat sanggar budaya. Karena zaman akan menuntut dorongan tersendiri dari suatu kelompok atau individu, di mana mereka akan berusaha menonjolkan keunikannya masing -- masing yang rentan dengan "berlebihan" tanpa melihat filosofi dibalik produk yang ia tunjukan.

Sesuai berjalannya waktu dan berbagai pemahaman dari berbagai sub-suku yang berbeda, maka muncul beberapa pertanyaan, seperti mungkinkah pemahaman akan jati diri budaya dapat dilepaskan dari dasar filofosi? Apabila dasar filosofi yang selama ini dipandang sebagai penanda -- penanda khas dari sebuah sub-suku, lalu di anggap remeh hanya karena "keunikan", maka bagimana caranya jati diri dapat di pahami dan masuk kedalam memahami filosofi yang benar.

Untuk menjawab pertanyaan -- pertanyaan tersebut sebenarnya sangat rumit, mengapa? Karena jika berhadapan dengan beberapa pemahaman filosofi yang telah tertanam dan filosofi baru yang telah di pahami karena perkembangan zaman, maka persoalan jati diri akan mengalami perbenturan paradigma yang muncul, yaitu "kita" dan "mereka", dan celakanya jika benar -- benar mengalami perbenturan, maka akn muncul suatu persoalan di mana melibatkan sesama tubuh Dayak itu sendiri.

Pembahasan ini pada dasarnya lebih sulit, karena kasus ini tidak melibatkan 2 suku yang berbeda, namun satu suku saja dengan filosofi yang sama, namun berbeda sub-suku, sehingga ini menciptakan suatu perdebatan dan beberapa memutuskan untuk membuat pemikiran ulang terhadap dasar filosofi dalam memaknai suatu kehidupan, atau minimal terhadap cara pandang dalam menjaga alam dan memaknai alam.

Salah satu cara dalam memahami ulang dari dasar filosofi itu adalah dengan cara berdiskusi dan memberikan pemahaman yang lebih mendekati dasar dari filosofi awal dalam memaknai alam itu sendiri. Dengan berdiskusi tersebut, dapat di angkat dari melihat kekuatan eksternal yang ingin memposisikan diri dengan cara yang dikehendaki. Kekuatan eksternal itu adalah yang berwujud politis, historis, ekonomis dan juga dapat berupa ketakutan terhadap kecenderungan perubahan filosofi yang dapat bersifat permanen.

Folks of Dayak(FoD) salah satu bentukan atas dasar ingin memperkenalkan budaya Dayak pada orang banyak, di mana disadari bahwa masih banyak orang yang tidak tahu dan stigma negatif tentang orang Dayak. Namun, menurut salah satu anggota Fod mengatakan, perkumpulan ini tidak tepat jika di katakan suatu Komunitas, Organisasi Masyarakat ataupun suatu Aliansi. "Jadi ini bukan komunitas ataupun segala bentuk organisasi, tapi ini suatu keluarga. Mengapa saya katakan keluarga? Karena dalam FoD tidak ada struktur organisasinya, tidak ada namanya ketua, bendahara, dan sebagainya. Kami semua ketua, kami semua sekertaris, kami semua anggota. Kedudukan kami semua sama, meskipun tingkat pendidikan dan pekerjaan yang berbeda" Cakra Wirawan Emil Bangkan (30).

Kurang lebih dua tahun yang lalu, FoD menyadari sedang terjadinya krisis dalam memahami suatu filosofi dalam berbudaya, salah satunya dalam menggunakan atribut pakaian adat. Semua di sadari ketika mereka melihat setiap bukti sejarah dari foto, video ataupun kisah lisan dari tetua tiap daerah yang ada di Kalimantan. Atribut yang sering di gunakan adalah bulu burung Enggang, bulu burung Juwe / Ruai, tulang -- belulang. Media sosial pun salah satu media yang di gunakan dalam mempersuasi masyarakat, bahwa ada hal yang berlebihan yang terjadi dalam memahami sesuatu dan  itu sudah melewati batas sehingga justru memperburuk citra Dayak.

Memang tidak ada yang salah dengan atribut, bulu burung dan tulang -- belulang. Namun, semua harus di dasari dari filosofi yang ada agar tidak berlelbihan dan terlihat seperti menghargai alam. Cakra pun mengatakan "memang hal yang wajar orang Dayak menggunakan atribut bulu burung dan tulang -- belulang, tetapi semua ada batasan dan syarat tertentu. Contohnya saja bulu burung Enggang. Bulu burung ini biasanya hanya di gunakan oleh orang tertentu saja dan dengan jumlah yang tertentu pula dan jumlah itu pun berpengaruh terhadap status sosial seseorang. Lalu tulang -- belulang. Memang pada dasarnya itu dari hasil buruan, tetapi dalam sejarah orang Dayak hampir tidak ada menggunakan tengkorak monyet sebagai atribut, karena jika memang ada silahkan katakan apa filososfinya dan apa keuntungannya?" ujarnya. "saya contohkan saja, kita bisa lihat dari salah satu sub -- suku yang bernama Dayak Ma'anyan. Mereka biasanya menggunakan tulang sebagai atribut, tetapi mereka menggunakannya pun ada batasan dan bagian tertentu yang biasa diletakan di sebuah kalung yang berbentuk menyilang, bernama Saramben / Sambang Sambit. Tiap tulang, kayu dan benda -- benda lain yang di pasang mengandung makna filosofi dan mengandung unsur magis yang tidak sembarang di pasang" tambahnya.

Langkah yang sering di lakukan oleh FoD adalah sering membuat tulisan sebagai pengetahuan dan membagikannya di Facebook, Instagram dan membuat Blog sebagai media dalam berkomunikasi. Namun, akhir -- akhir ini mereka menggunkan Whatsapp sebagai media berdiksusi. Wiro Hamjen (29) mengatakan bahwa "kami sering membuat diskusi dan membuat jargon untuk berhenti menggunakan atribut yang berlebihan, karena itu justru mendukung perburuan liar. Gampangnya deh.. semakin banyak yang menggunakan buku burung Enggang, apa gak menutup kemungkinan kebutuhan bulu burung semakin banyak dan secara tidak langsung semakin banyak yang memburu untuk dijual ke pengguna" ujarnya.

"tidak hanya melakukan diskusi di media sosial, tetapi kami juga ada aksi menggunakan atribut yang benar dan jauh dari kesan sangar dan sadis. Seperti saat acara -- acar budaya, misalnya saat acara Erau, yang dilakukan di Tenggarong, Kalimantan Timur. Jadi teman -- teman FoD yang kebetulan ikut, menggunakan atribut yang jauh dari kesan glamor dan tanpa tulang -- belulang". Ujar Wiro.

Jika dilihat apa yang dilakukan FoD sebenarnya tidak hanya sebatas meluruskan filosofi yang ada, tetapi jika lihat lebih dalam, maka kita akan menemukan bahwa, dengan tujuannya seperti itu, para penggiat budaya pun, minimal dapat menunjukan bagaimana budaya sebenarnya dari Dayak, tidak hanya mengusung unsur uniknya saja, tetapi memperlihatkan esensi sebenarnya dari penggunaan atribut -- atribut budaya.

Daftar Pustaka

Supriyoko, K., 2005. Pendidikan Multikltural dan Revitalisgasi Hukum Adat Dalam Perspektif Sejarah. Direktorat Jendral Kebudayaan

Putra, R. M. S., & Gumelar, M. S., 2017. Prosiding Kongres Internasional: Kebudayaan Dayak 1: Menjadi Dayak. Bengkayang : PT LkiS Pelangi Aksara

Maunati, Y., 2004. Identitas Dayak. Yogyakarta : LKiS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun