Mohon tunggu...
Inovasi

Pentingnya Filosofi Kehidupan Dayak

2 Oktober 2017   08:37 Diperbarui: 2 Oktober 2017   09:17 2825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Folks of Dayak(FoD) salah satu bentukan atas dasar ingin memperkenalkan budaya Dayak pada orang banyak, di mana disadari bahwa masih banyak orang yang tidak tahu dan stigma negatif tentang orang Dayak. Namun, menurut salah satu anggota Fod mengatakan, perkumpulan ini tidak tepat jika di katakan suatu Komunitas, Organisasi Masyarakat ataupun suatu Aliansi. "Jadi ini bukan komunitas ataupun segala bentuk organisasi, tapi ini suatu keluarga. Mengapa saya katakan keluarga? Karena dalam FoD tidak ada struktur organisasinya, tidak ada namanya ketua, bendahara, dan sebagainya. Kami semua ketua, kami semua sekertaris, kami semua anggota. Kedudukan kami semua sama, meskipun tingkat pendidikan dan pekerjaan yang berbeda" Cakra Wirawan Emil Bangkan (30).

Kurang lebih dua tahun yang lalu, FoD menyadari sedang terjadinya krisis dalam memahami suatu filosofi dalam berbudaya, salah satunya dalam menggunakan atribut pakaian adat. Semua di sadari ketika mereka melihat setiap bukti sejarah dari foto, video ataupun kisah lisan dari tetua tiap daerah yang ada di Kalimantan. Atribut yang sering di gunakan adalah bulu burung Enggang, bulu burung Juwe / Ruai, tulang -- belulang. Media sosial pun salah satu media yang di gunakan dalam mempersuasi masyarakat, bahwa ada hal yang berlebihan yang terjadi dalam memahami sesuatu dan  itu sudah melewati batas sehingga justru memperburuk citra Dayak.

Memang tidak ada yang salah dengan atribut, bulu burung dan tulang -- belulang. Namun, semua harus di dasari dari filosofi yang ada agar tidak berlelbihan dan terlihat seperti menghargai alam. Cakra pun mengatakan "memang hal yang wajar orang Dayak menggunakan atribut bulu burung dan tulang -- belulang, tetapi semua ada batasan dan syarat tertentu. Contohnya saja bulu burung Enggang. Bulu burung ini biasanya hanya di gunakan oleh orang tertentu saja dan dengan jumlah yang tertentu pula dan jumlah itu pun berpengaruh terhadap status sosial seseorang. Lalu tulang -- belulang. Memang pada dasarnya itu dari hasil buruan, tetapi dalam sejarah orang Dayak hampir tidak ada menggunakan tengkorak monyet sebagai atribut, karena jika memang ada silahkan katakan apa filososfinya dan apa keuntungannya?" ujarnya. "saya contohkan saja, kita bisa lihat dari salah satu sub -- suku yang bernama Dayak Ma'anyan. Mereka biasanya menggunakan tulang sebagai atribut, tetapi mereka menggunakannya pun ada batasan dan bagian tertentu yang biasa diletakan di sebuah kalung yang berbentuk menyilang, bernama Saramben / Sambang Sambit. Tiap tulang, kayu dan benda -- benda lain yang di pasang mengandung makna filosofi dan mengandung unsur magis yang tidak sembarang di pasang" tambahnya.

Langkah yang sering di lakukan oleh FoD adalah sering membuat tulisan sebagai pengetahuan dan membagikannya di Facebook, Instagram dan membuat Blog sebagai media dalam berkomunikasi. Namun, akhir -- akhir ini mereka menggunkan Whatsapp sebagai media berdiksusi. Wiro Hamjen (29) mengatakan bahwa "kami sering membuat diskusi dan membuat jargon untuk berhenti menggunakan atribut yang berlebihan, karena itu justru mendukung perburuan liar. Gampangnya deh.. semakin banyak yang menggunakan buku burung Enggang, apa gak menutup kemungkinan kebutuhan bulu burung semakin banyak dan secara tidak langsung semakin banyak yang memburu untuk dijual ke pengguna" ujarnya.

"tidak hanya melakukan diskusi di media sosial, tetapi kami juga ada aksi menggunakan atribut yang benar dan jauh dari kesan sangar dan sadis. Seperti saat acara -- acar budaya, misalnya saat acara Erau, yang dilakukan di Tenggarong, Kalimantan Timur. Jadi teman -- teman FoD yang kebetulan ikut, menggunakan atribut yang jauh dari kesan glamor dan tanpa tulang -- belulang". Ujar Wiro.

Jika dilihat apa yang dilakukan FoD sebenarnya tidak hanya sebatas meluruskan filosofi yang ada, tetapi jika lihat lebih dalam, maka kita akan menemukan bahwa, dengan tujuannya seperti itu, para penggiat budaya pun, minimal dapat menunjukan bagaimana budaya sebenarnya dari Dayak, tidak hanya mengusung unsur uniknya saja, tetapi memperlihatkan esensi sebenarnya dari penggunaan atribut -- atribut budaya.

Daftar Pustaka

Supriyoko, K., 2005. Pendidikan Multikltural dan Revitalisgasi Hukum Adat Dalam Perspektif Sejarah. Direktorat Jendral Kebudayaan

Putra, R. M. S., & Gumelar, M. S., 2017. Prosiding Kongres Internasional: Kebudayaan Dayak 1: Menjadi Dayak. Bengkayang : PT LkiS Pelangi Aksara

Maunati, Y., 2004. Identitas Dayak. Yogyakarta : LKiS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun