Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

George Orwell dan Peringatan Supaya Kita Jangan Jatuh Miskin

9 Agustus 2022   10:44 Diperbarui: 9 Agustus 2022   10:45 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dunia mungkin mengenal George Orwell (Eric Arthur Blair, 1903-1950) sebagai seorang sastrawan besar berkat novel alegoris politiknya Animal Farm dan 1984. Buku yang disebut pertama terlampau masyhur hingga direkomendasikan untuk dibaca sebelum kita meninggal dunia.

Lalu, novelnya 1984 merupakan sebuah 'satire tajam, menyajikan gambaran tentang luluhnya kehidupan masyarakat totalitarian masa depan yang di dalamnya setiap gerak warga dipelajari.'

Sekarang, pada abad 21 ini, adalah sesuatu tidak mencengangkan lagi bila negara punya kemampuan menyadap kehidupan privasi seseorang dengan teknologi tingkat tinggi. Tapi, Orwell jauh  hari sudah memprediksinya di dalam novel 1984, terbit pada Juni 1949, era di mana alat bernama teleskrin, polisi pikiran dan mikorofon tersembunyi, seperti digambarkan dalam 1984, adalah sesuatu yang tidak diprediksi orang banyak.

Akan tetapi, reputasi Orwell dalam jajaran dedengkot penulis besar dunia, tidak turun dari langit berbintang dan mendarat di padang rumput hijau yang indah permai. Sebaliknya. Riwayat hidup George Orwell adalah riwayat orang-orang kalah yang mencoba bangkit dengan potensi yang dimiliki dan segenggam kepercayaan akan keberuntungan. Sisi lain kehidupannya ini dia lukiskan dengan indah di dalam buku  down and out in Paris and London (terpuruk dan melarat di Paris dan London).

Di dua kota metropolitan ini, Orwell pernah hidup melarat. Di Paris, sebagai tukang cuci piring. Di London, sebagai pengemis. Ada yang menyebutkan, saat berada di Paris, Orwell tinggal hanya beberapa blok saja dari apartemen Ernest Hemingway, raksasa sastra berkebangsaan Amerika. Tapi keduanya beda nasib. Penulis The Sun Also Rises itu pindah ke Paris pada tahun 1921 bersama istri pertamanya, Hadley.

Tahun 1923, dua pasangan muda ini pindah ke Toronto saat Hadley melahirkan anak pertama Ernest. Kemudian kembali lagi ke Paris bersama si bayi pada Januari 1924. Di tahun 1927, Setelah bercerai dengan Hadley karena kedapatan selingkuh, Ernest menikah lagi dengan Pauline Pfeiffer, selingkuhannya, dan meninggalkan Paris tahun berikutnya.

Lalu, ada yang dilakukan Orwell pada periode itu?

Dia tinggal di Hotel des Trois Moineaux. Jangan salah dulu. Hotel yang dia maksud tidak seperti yang bisa dibayangkan sekarang. Di dalam buku semi autobiografinya itu, dia menulis dengan polos;

Hotel ini bangunan reyot lima lantai yang disekat-sekat menjadi empat puluh kamar dengan dinding kayu. Kamar-kamarnya sempit, pengap, dan selalu kotor, karena di situ tidak ada pelayan pembersih kamar. Madame F, pemiliknya, tak punya waktu untuk menyapu kamar-kamarnya. Dinding-dinding kamar itu setipis kayu korek api, dan untuk menutupi celah-celahnya ditempelkan berlapis-lapis kertas merah muda, yang kemudian terkelupas dan menjadi sarang kutu busuk yang tak terhitung banyaknya 

Kita kemudian tahu Orwell tidak pernah meratapi kemelaratannya. Tulisannya dalam buku ini menjadi istimewa karena interaksi dia dengan orang-orang sekitar yang senasib. Orwell secara mendetail menggambarkan kondisi yang dilihat dan dirasakan sebagai masyarakat kelas bawah yang terpuruk.

Suatu hari di musim panas kudapati uangku tinggal 450 franc. Di luar itu tidak ada lagi, kecuali 36 franc per minggu, upah yang kuperoleh dari memberikan les Bahasa Inggris. Sampai saat ini aku belum memikirkan masa depan. Tetapi, kini aku menyadari, aku harus segera melakukan sesuatu. 

Secara tersirat, dia menggambarkan kenyataan bahwa hidup di Kota Paris tanpa pekerjaan yang bisa mendatangkan uang adalah kesialan dan seketika kita akan menjadi orang tolol di mata siapa saja yang melihat.

Yang pertama kau alami adalah titik terendah yang khas dari kemiskinan, pergeseran-pergeseran yang terjadi padamu, kekejian yang rumit, makan seirit-iritnya. 

Saking miskinnya dan butuh duit, Orwell harus menyelundupkan beberapa potong pakaiannya dari penginapan, dan menggadaikannya di pegadaian Prancis. Dia mendapat uang tujuh puluh franc untuk pakaian seharga sepuluh pound. Dengan begitu, dia hanya punya pakaian di badan; jasnya sudah rusak di bagian siku-sebuah mantel yang masih cukup untuk digadaikan, dan selembar baju cadangan.

Selama tiga minggu, Orwell luntang lantung tanpa pekerjaan meski dia sempat dapat kiriman honor dari tulisan artikelnya di koran lokal. Dengan susah payah, dia dan sahabat karibnya, Boris, akhirnya memperoleh pekerjaan di Hotel X. Orwell bertugas sebagai tukang cuci piring di hotel mewah tersebut. Bekerja dari pukul tujuh pagi sampai pukul sembilan seperempat malam.

Down and out in Paris and London adalah buku yang penuh drama kehidupan. Riwayat pribadi Orwell dikisahkan dengan polos dan jenaka sekaligus menyingkap salah satu bagian paling mengkhawatirkan dalam hidup manusia yakni melarat karena tidak punya uang. Bagi dia, ini titik terendah dalam hidup.

Sepotong kalimat ikonik dari memoar yang ditulis Ernest Hemingway sepertinya tidak berlaku bagi Orwell, "Kamu cukup beruntung jika pernah tinggal di Paris saat muda karena kemana pun kamu pergi seumur hidupmu, perasaan itu akan tetap tinggal bersamamu karena Paris adalah pesta yang  berpindah-pindah."

Sebaliknya, dari Paris, Orwell menulis tanpa embel-embel metafora yang menggelegar dan mengecoh pikiran;

Ketika kau sudah mendekati kemiskinan, kau mendapatkan sesuatu yang bisa menyeimbangkan hal-hal lainnya. Kau mendapatkan kebosanan dan berbagai keruwetan yang buruk, dan awal dari kelaparan. Tetapi, kau juga mendapat semacam 'kebebasan' dari kemiskinan ini; yakni bahwa kemiskinan melenyapkan masa depan. 

Orwell kemudian pindah ke London. Di kota ini, nasibnya ternyata tak lebih beruntung. Justru semakin mengkhawatirkan. Tak kunjung mendapatkan pekerjaan, Orwel terpuruk di jalanan. Bergaul dengan para gelandangan, orang-orang jalanan dan tinggal berpindah-pindah di rumah-rumah penampungan.

Dengan pengalaman ini, dia memotret dari dekat kehidupan para gelandangan di jalanan Kota London, menguak isi hati mereka, menyibak persoalan hidup mereka hingga terlempar ke jalanan dan stigma-stigma masyarakat urban pada gelandangan. Semuanya terjadi hanya karena mereka tak punya uang.

Dengan keyakinan-keyakinan filosofis dan kepercayaan yang sifatnya religius, kita bisa saja tersenyum sinis jika orang berkata, 'uang adalah segalanya. Segalanya-galanya uang.'

Orwell tak menampik anggapan itu, tapi...

Aku hanya bisa berkata, inilah dunia yang akan menunggumu jika kau tak punya uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun