Orang lebih mengenal Bob Dylan sebagai seorang musisi ketimbang sastrawan, meski pelantun Like A Rolling Stone ini juga sebenarnya pernah menerbitkan sebuah buku puisi berjudul Tarantula (1971).Â
Ia pun lantas mengubah namanya menjadi Bob Dylan atas kekagumannya pada penyair Inggris Dylan Thomas. Kiprahnya di dunia musik sangat mengagumkan jauh melebihi apa yang ia raih sebagai penyair Tarantula.Â
Ia bahkan dianggap sebagai legenda hidup musik asal Amerika Serikat. Maka tidak heran kalau banyak orang terkejut ketika ia justru dianugerahi hadiah Nobel Sastra 2016. Ia menyisihkan nominator lain yang dianggap sebagian orang lebih mumpuni dalam bidang sastra dibanding Dylan seperti Haruki Murakami (Jepang), John Banville (Irlandia), Ngugi wa Thiong'O (Kenya), Joyce Carol Oates (AS), Adonis (Suriah), dan Javier Marias (Spanyol).Â
Tak pelak lagi Dylan adalah musisi pertama yang menerima Nobel Sastra sepanjang sejarah, walaupun Dylan sendiri pernah masuk dalam nominasi penghargaan yang sama meski tidak sebagai unggulan.Â
Isu kepentingan di balik ajang bergengsi ini kemudian cukup kuat berhembus bagi yang kecewa dengan terpilihnya musisi keturunan Yahudi ini sebagai peraih Nobel Sastra tahun ini.
Namun demikian, Swedish Academy sebagai dewan juri Nobel Sastra memiliki alasan tersendiri. Sekretaris Swedish Academy Sara Danius menilai lagu-lagu Dylan sangat puitis di telinga dan ia sendiri dianggap telah menciptakan 'ekspresi-ekspresi puitik' dalam tradisi lagu Amerika.Â
Musisi kelahiran Minnesota, AS ini memang sangat terkenal dengan lirik lagunya yang puitis dan kental dengan kritik sosial. Selain lagu-lagu protes, Dylan juga mahir menggarap tema cinta.Â
Beberapa lagu bertemakan cinta justru masih 'akrab di telinga' hingga kini seperti To Make You Feel My Love, Forever Young, Emotionally Yours, Just Like A Woman dan judul-judul lainnya yang amat puitis dan romantis.
Berbagai tema lagu telah ia garap dan banyak mempengaruhi musisi-musisi dunia bahkan musisi sekaliber The Beatles. Dylan yang lahir pada 24 Mei 1941 ini kemudian menjadi salah seorang musisi paling berpengaruh sepanjang sejarah. Karya-karyanya menjadi inspirasi penyanyi-penyanyi muda hingga saat ini.
Dengan alasan-alasan inilah, pencipta lagu bernama lengkap Robert Allen Zimmerman ini dinilai layak meraih hadiah Nobel Sastra 2016. Tidak sedikit pencinta musik dan sastra menyambut gembira terpilihnya 'Si Tukang Protes' ini sebagai peraih Nobel Sastra 2016. Ketika namanya diumumkan sebagai pemenang, tepukan tangan dari para jurnalis yang hadir membahana selama beberapa saat.
Dylan dan Idealisme
Tahun 1990 Yayasan Nobel memberi batasan pada sastra, 'bukan hanya karya sastra, tetapi juga tulisan-tulisan lain yang berdasarkan bentuk dan gayanya memiliki nilai sastra'. Tahun 2015, wartawan senior Belarusia, Svetlana Aleksijevitj (68) yang mendapat hadiah Nobel Sastra berkat tulisan-tulisannya yang berani mengeritik pemerintah Rusia. Ia dianggap sebagai penulis paling vokal sedunia yang menentang rezim Rusia (juga pada masa Komunis Uni Soviet).
Pada 2016, Bob Dylan bersama lagu-lagunya tampil sebagai pemenang. Selain lirik-lirik dalam irama musik folk yang puitis, Dylan merupakan pencipta lagu yang menyandarkan bahunya pada idealisme. Beberapa lagunya justru sangat tajam mengeritik kebijakan-kebijakan pemerintah.Â
Lagunya Blowin in the Wind dan Time They are A-Changin' menjadi 'lagu kebangsaan' para pejuang HAM dan konon sangat digemari oleh Soe Hok Gie. Di dalam lagunya yang melegenda Knockin' On Heaven's Door, ia hendak memprotes kebijakan pemerintah AS yang terus merekrut anak muda sebagai tentara dan dikirim ke Vietnam dan pada akhirnya mati sia-sia di sana. Ia dengan tegas menolak mengikuti wajib militer yang diberlakukan pemerintah AS.
Lirik-lirik lagunya kuat menyuarakan semangat kebebasan dan menggambarkan keresahan seorang anak zaman. Idealismenya tidak pernah mati. Bahkan dengan suara parau khas Dylan, ide-idenya yang dibalut apik dengan petikan dawai gitar dan tiupan harmonika, tumbuh subur, menyebar cepat ke berbagai kalangan, dan memberi pengaruh bagi anak muda selama beberapa dekade, bahkan hingga kini.
Musik dan Puisi
Adalah Gordon Ball, seorang Associate Professor di Washington dan Yale University yang merupakan salah satu orang yang merekomendasikan Dylan menerima Nobel Sastra. Maret 2007, jurnal ilmiahnya yang berjudul Dylan and The Nobel dipublikasikan ulang di Oral Tradition Journal, Volume 22, Issue 1. Menurutnya, dua kriteria utama hadiah Nobel yakni idealisme yang kuat dan kemaslahatannya bagi masyarakat luas, sudah dipenuhi Dylan. Di dalam jurnal ilmiahnya itu, ia dengan jelas membeberkan alasan mengapa Bob Dylan yang sejatinya adalah seorang musisi bisa menerima hadiah Nobel di bidang sastra.
Menurutnya, musik dan puisi dalam sejarahnya saling terkait. Karya Dylan telah menghidupkan kembali koneksi penting keduanya. Ia telah membantu puisi kembali ke transmisi primordial oleh napas manusia, menghidupkan kembali tradisi penutur, pencerita, penembang, dan penyanyi. Koneksi penting musik dan puisi telah melemah setidaknya di Amerika Serikat, tahun 1930-an sampai 1960-an ketika 'Kritik Baru' lebih menekankan puisi sebagai teks tertulis yang eksplisit sehinga mereduksi kelisanannya.
Lebih lanjut Ball mengungkapkan, Dylan seolah telah mengindahkan kembali pengamatan Ezra Pound bahwa, "...di Yunani dan Province, puisi mencapai kecemerlangan tertinggi dari segi ritmis dan irama pada saat syair dan musik saling erat merajut bersama...." Pound menyebut musik dan puisi sebagai 'seni kembar'. Puisi liris Yunani disampaikan dengan nyanyian dan iringan sebagaimana Homer bernyanyi dengan harpa atau kecapi.
Mengutip W.B Stanford, Ball menulis, "di Yunani dan Romawi, pendidikan musik dan puisi disimpan bersama dalam disiplin yang disebut mousike." Puisi dan musik masing-masing saling diakui eksistensinya. Penghargaan Nobel pada Dylan lebih jauh untuk menghargai suatu performatif. Musik dan puisi masing-masing tidak mengeksklusifkan diri. Keduanya saling memberi daya dan imajinasi tanpa sedikitpun menghilangkan kekhasan masing-masing.
Walau banyak kalangan yang terkejut dengan penghargaan Nobel Sastra yang jatuh ke tangan seorang musisi legendaris, pengaruh Dylan sebagai musisi dan pencipta lirik-lirik puitis selama beberapa dekade terakhir tak dapat disangkal oleh siapa pun. Dan inilah yang menjadi ciri khas Dylan dengan nominator-nominator lain atau dengan peraih Nobel Sastra tahun-tahun sebelumnya; yakni menghidupkan kembali syair-syair puitik dengan musik dan memberi daya imaji yang kuat ke dalam musik dengan syair-syair puitik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H