A: Waktu subjektif adalah kesadaranku akan keberlangsungan segala sesuatu.
S: Maksudnya?
A: Berkat kesadaran, jejak-jejak yang ditinggalkan oleh pengalaman inderawi yang sementara, dapat 'direkam' dalam bentuk gambar-gambar dan dengan begitu, keberlakuannya dapat dipertahankan.
S: Apakah ini yang saudara maksudkan juga dengan kenangan, ingatan?
A: Ya. Itu beberapa di antaranya. Gambar-ganbar itu selanjutnya dapat dihadirkan (dimasakinikan', atau dijadikan up to date).
S: Ya, kata itu masih sering kami gunakan hingga kini.
A: Â Dan cara penghadiran gambar-gambar itu memperlihatkan adanya tiga dimensi waktu: kalau peristiwa masa lalu dihadirkan, hasilnya adalah memori atau ingatan, seperti yang sudah saudara bilang tadi. Hadirnya hal yang nyata-nyata pada saat kini dan di sini adalah penglihatan, sedangkan hadirnya hal yang akan datang pada saat kini menimbulkan pengharapan.
S: What a wonderful idea! (terperangah mendengar nasihat St. Agustinus)
A: Maka, tidaklah tepat jika dikatakan bahwa masa depan dan masa lalu itu ada.
S: Mengapa? (masih heran dengan mulut yang belum terkatup rapat)
A: Sebab, yang sungguh-sungguh ada hanyalah pengalaman masa kini, suatu 'kekinian', yang berkat aktivitas jiwa (aktivitas penghadiran) dapat merebak sampai ke masa lalu dan masa depan. Di dalam jiwa, kita membuat perhitungan waktu yang kita terima sebagai satu kesatuan dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dengan demikian, kesadaran saya akan keberlangsungan waktu sebagai satu kesatuan masa lalu, masa kini (sebagai titik pokok), dan masa depan disebut sebagai 'bentangan jiwa'.