A: Waktu? Ohhh yaaa, dan sampai hari ini kalian masih membahas refleksi saya itu, bukan?
S: Tentu saja. Itu refleksi yang komplit dan penuh makna, seolah semua misteri tentang waktu sudah terkuak di dalamnya. Saya ingin saudara menjelaskan sekali lagi secara singkat. Apakah saudara sanggup menjelaskannya lagi? Saya meminta dengan penuh hormat.
A: Ya. Tentu. Dengan senang hati. Okelah, saya akan memulai.
Waktu bukan hanya merupakan hasil suatu proses kesadaran manusia (memoria), melainkan juga merupakan pemahaman mendasar manusia akan waktu dalam posisinya sebagai makhluk yang mempunyai hubungan dengan kebenaran abadi.
S: Kebenaran abadi? Rupanya saudara membuat refleksi yang lebih teologis tentang waktu.
A: Ya, memang demikian. Sebab sulit rasanya memisahkan manusia dari Tuhan. Dari tilikan filsafat, penjelasan tentang waktu belum memadai. Filsafat butuh teologi.
S: Meski filsafat bukan pelayan teologi, kan?
A: Ya, memang. Saya setuju dengan pendapat saudara.
S: Itu bukan pendapat saya. Itu keyakinan setelah Abad Pertengahan. Tepatnya pada masa Rennesans. Silakan lanjutkan.
A: Ada dua macam waktu yakni, waktu objektif dan waktu subjektif. Waktu objektif adalah semacam arus tetap ketika segala kejadian berlangsung. Oleh karenanya waktu objektif terpecah-pecah secara jelas dan ketat ke dalam satuan-satuan waktu, yakni masa lalu yang telah lewat dan tiada lagi, masa depan yang belum datang, dan masa kini yang hanyalah momen sesaat antara masa lalu dan masa depan.
S: Itu persis seperti yang sedang saya bahas sebelumnya.