"Sekarang kan banyak masyarakat yang jualan kuliner di sana. Sudah ada dampak ekonominya, kenapa dipersoalkan lagi."
Jengah memang mendengar logika berpikir seperti ini, tapi memang apalah daya setiap orang bebas berpendapat, meski kelihatan sesat pikirnya. Raimundus mengetahui baik kerusakan pandan seperti apa yang terjadi di Mingar. Tanaman itu berumpun dan punya tunas yang lebat mencengkeram pasir. Bisa jadi pandan yang tumbuh tinggi itu bisa dihitung dengan jari tetapi di bawahnya ada banyak tunas dan akar pandan yang merambat di pasir pantai.
Soalnya, untuk membuat lapangan voli pantai di Mingar, tanaman itu dilibas dengan alat berat hingga akar dan tunas-tunasnya tercerabut. Bukan hanya di lokasi lapangan saja, penggusuran juga tampak jelas hingga ke belakang SDK Mingar. Padahal, setidaknya bagi Raimundus, masih ada lokasi lain di kawasan Pantai Mingar yang bisa dijadikan tempat membuka lapangan voli pantai tanpa harus merusak tanaman yang ada.
"Sekarang semua sudah terjadi, apa lagi yang mau disesalkan," pikir Raimundus sesaat. Di hadapan para aktivis peduli lingkungan, dia nyatakan kekecewaannya kepada masyarakat Mingar yang kalau mereka getol menolak penggusuran, seharusnya sudah harus mempersoalkan hal ini saat alat berat baru diturunkan ke lokasi.Â
Masalahnya pasti berbeda. Penolakan harus sudah dilayangkan sebelum penggusuran supaya pemerintah-yang memang  tak paham kelestarian lingkungan hidup-bisa berpikir dua kali untuk mengubah rumpun pandan jadi lapangan voli pantai. Bila ada penolakan sejak awal, maka alih-alih menggusur pandan, mereka pasti akan mencari lokasi lain yang dimanfaatkan untuk membuka lapangan voli pantai.
Apalagi, lokasi yang digusur itu adalah tanah ulayat. Di tempat lain di NTT, warga berdarah-darah mempertaruhkan apa saja untuk menyelamatkan tanah ulayat mereka. Tapi khusus di Mingar, warga seolah malu-malu kucing menolak hak ulayat yang selama ini dijaga oleh nenek moyang mereka dari dulu kala. Pada titik ini, Raimundus yang bukan orang Mingar itu, nyaris patah arang. Kalau warga di sana saja tidak terganggu dengan penggusuran pandan, ya untuk apa kita yang kayak cacing kepanasan. Nanti kita bisa disebut provokator lagi. Menggemaskan memang, pikir Raimundus.
Lalu, sejumlah orang mulai mengecam aksi penggusuran ini. Tak ketinggalan, kaum oposisi pemerintah juga memanfaatkan kegaduhan ini sebagai senjata baru mengguncang kepemimpinan yang sah. Mereka turun langsung ke lokasi, melakukan kajian sederhana dan segera menyimpulkan kalau penggusuran pandan ini masuk dalam kategori kejahatan lingkungan. Sah, sah saja bagi Raimundus, kalau kaum oposisi memanfaatkan situasi ini. Toh, ini blunder yang harus segera disesali.
Tak ada lagi opini yang bisa membenarkan tindakan kerusakan lingkungan untuk alasan pembangunan pariwisata. Kepada banyak warga yang bertemu dengannya, Raimundus berulang-ulang mengatakan kalau tren dunia saat ini adalah kelestarian lingkungan.Â
Kita berjalan ke ujung dunia manapun, orang-orang berjuang melestarikan lingkungan, mencari sumber daya alam yang ramah lingkungan, menemukan energi terbarukan yang tidak merusak lingkungan. Inilah ciri dan semangat dasar peradaban saat ini. Lalu kenapa kita harus membangun dengan merusak tanaman pandan yang notabene berfungsi menjaga pantai dari abrasi dan menjaga warna pasir tetap putih?
Raimundus lantang katakan, "kalau masih ada yang membela kerusakan pandan dengan berbagai pendapat konyolnya, maka sama saja itu representasi dari peradaban masyarakat Lembata yang mundur seratus tahun ke belakang. Tolonglah, jangan bikin malu. Bule-bule dari Amerika atau Eropa kalau ingin main voli pantai saja sudah mereka dapat di negara mereka sendiri atau di Bali, dengan fasilitas yang lebih lengkap. Sesungguhnya mereka datang ke sini itu mau lihat yang natural dan alami."
Kerusakan lingkungan atau dalam hal ini penggusuran tanaman pandan dan pembangunan pariwisata di desa itu adalah dua hal yang berbeda. Poin ini penting, karena masih ada banyak yang belum memberi distingsi yang tegas untuk dua hal ini. Raimundus dan orang-orang yang mengecam penggusuran pandan sama sekali tidak menolak pembangunan pariwisata di Mingar. Yang disesalkan dan kemudian dikecam itu kenapa pandan yang jadi korban?