Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Mengunggah Kebaikan di Media Sosial Bermasalah Secara Etika?

18 Desember 2020   22:23 Diperbarui: 18 Desember 2020   22:33 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya melihat langsung penanganan korban erupsi Ile Lewotolok sudah lebih dari dua minggu ini terhitung sejak gunung itu meletus pada 29 November 2020. Ribuan warga di dua kecamatan yakni Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur mengungsi ke Kota Lewoleba. Mereka harus rela meninggalkan rumah mereka, ternak dan kebun mereka karena bahaya erupsi Ile Lewotolok bisa terjadi kapan saja. Hingga saya menulis artikel ini, belum ada kepastian kapan mereka sudah bisa kembali ke kampung halaman mereka.

Sebagai pengungsi, warga dari Ile Ape ini layak mendapat pertolongan. Mereka sendiri tak pernah memilih jadi pengungsi. Keadaan bencana alam yang memaksa mereka menjadi pengungsi untuk sementara waktu. Maka pemerintah pun wajib memberi jaminan kehidupan kepada ribuan warga tersebut.

Semua bentuk pertolongan dari pemerintah tentu adalah sebuah kewajiban karena pengungsi punya hak untuk mendapatkannya. Jadi, saya tidak melihat kewajiban itu sebagai sebuah bentuk sosial karitatif yang perlu dibahas.

Yang akan disinggung di sini adalah rupa-rupa bantuan sosial kemanusiaan yang datang dari pelbagai pihak pasca erupsi Ile Lewotolok. Tak terhitung berapa banyak bantuan sosial yang mengalir untuk para pengungsi. Mulai dari komunitas, lembaga hingga partai politik turun langsung memberikan bantuan guna meringankan beban para pengungsi.

Rasa kemanusiaan dan persaudaraan itu menyebarluas dengan sangat cepat. Media sosial tentu punya andil besar akan hal ini. Sejak awal potongan-potongan foto dan video bagaimana korban dievakuasi memang berseliweran di media sosial. Hal ini menggugah nurani setiap orang yang melihatnya tanpa memandang ruang agama, suku dan ras.

Atas nama kemanusiaan, semuanya seolah bergandengan tangan mengumpulkan donasi secara spontan demi meringankan beban para pengungsi erupsi Ile Lewotolok. Kita tentu 'Angkat topi' untuk spontanitas kemanusiaan yang luar biasa ini.

Di media sosial, sudah barang tentu, terpampang banyak sekali aksi-aksi menebar kebaikan bagi para pengungsi. Beraneka foto ditampilkan di sana. Dengan baju partai politik atau spanduk tertentu atau komunitas tertentu, para penyumbang berpose bersama para pengungsi dengan tumpukan-tumpukan bantuan yang mereka bawa. Biasanya ada paket sembako, pakaian layak pakai, masker dan pelbagai kebutuhan lainnya. Tentu ini bukan masalah. Malah sebuah apresiasi masih harus diberikan.

Dengan mengunggah aksi kemanusiaan itu di media sosial, siapa saja setidaknya mau memberi tahu dua hal; pertama, lembaga, komunitas, partai politik atau kita punya eksistensi, kita ada dan turut menebar kebaikan. Kedua; sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik dan para donatur bahwa bantuan itu sampai ke tangan warga terdampak erupsi Ile Lewotolok. Alasan yang terakhir ini tidak ingin saya ulas.

Lebih lanjut penting untuk melihat bagaimana menakar motivasi orang mengunggah kebaikan di media sosial. Kebaikan itu memang harus ditakar untuk menguji sejauh mana aksi kemanusiaan, dalam konteks yang saya sebut diposting di media sosial tersebut berhadapan dengan etika.  

Media sosial punya peran penting menyebarluaskan informasi tentang keadaan susah dan menderita suatu individu atau kelompok masyarakat tertentu. Itu harus diakui, karena seringkali gelombang kebaikan itu datang karena masifnya informasi yang dibagikan di media sosial.

Namun, ketika kita berhadapan dengan si penderita itu dan memberinya pertolongan yang sangat dia butuhkan, hendaknya yang kita lakukan itu semata-mata karena memang itu sebuah kewajiban dan bukan sebuah tuntutan eksistensi. Jika tidak demikian, apa yang kita sebut dengan 'aksi kemanusiaan' itu berubah menjadi eksploitasi terhadap penderitaan orang lain.

Motivasi Kebaikan atau segala sesuatu yang kita sebut berbuat baik haruslah ditempatkan pada tempatnya yakni kewajiban. Artinya kita harus pastikan bentuk kebaikan yang kita buat adalah didorong oleh kewajiban yang harus dilakukan dan bukan mengandung tujuan di dalam dirinya. Dengan kata lain, motivasi kebaikan adalah kewajiban. Dari sinilah saya akan memulai.

Immanuel Kant (1724-1804) merumuskan apa yang kemudian dinamakan etika deontologis. Menurut Kant, nilai moral sebuah tindakan ditentukan oleh motivasi tindakan tersebut. Sebuah tindakan mengandung nilai moral bila tindakan itu dilakukan semata-mata atas kesadaran akan kewajiban (Yunani, Deon; Kewajiban).

Dengan ini, dia melayangkan kritik terhadap segala jenis etika teleologis yang menilai baik buruknya sebuah tindakan berdasarkan tujuannya (teleos), termasuk di dalamnya etika eudaimonia, utilitarian dan hedonis. Argumentasinya sederhana, yaitu etika teleologis mereduksi moralitas hanya menjadi instrumen untuk meraih tujuan tertentu. Pada titik ini, kita tidak bisa lagi menilai mana tindakan bermoral dan mana yang tidak.

Bagi Kant, motivasi kebaikan hanyalah satu yakni kewajiban. Dia tidak boleh jadi instrumen untuk meraih sesuatu, termasuk pula untuk tuntutan eksistensi. Setiap kali kita hendak melakukan sekecil apapun kebaikan maka pastikanlah di dalam diri bahwa kehendak kita bertindak itu semata-mata karena bertindak baik itu sebuah kewajiban. Titik.

Konsekuensinya, untuk Kant, kebaikan yang dimotivasi oleh semangat untuk meraih surga seturut perintah ajaran agama pun, tidak bisa disebut sebagai sebuah tindakan yang bermoral, karena lagi-lagi ada tujuan yang ingin diraih. Kebaikan hanya jadi instrumen untuk seseorang meraih surga.

Ia lalu membedakan antara legalitas dan moralitas. Saya langsung pada contoh untuk membedakan kedua istrilah ini. Seorang politisi membawa bantuan sembako untuk diberikan kepada pengungsi erupsi Ile Lewotolok. Bersama dengan bantuan itu ada spanduk bertuliskan nama dan foto politisi lengkap dengan lambang partai politik yang mengusungnya.

Saat bantuan itu diserahkan kepada pengungsi, tim kerja dari politisi itu mengabadikan momen itu dengan kamera ponsel, lima menit kemudian, foto-foto itu sudah terpampang ramai di beranda Facebook. Sang politisi boleh saja berdalih kalau bantuan itu murni aksi kemanusiaan tanpa embel-embel politik.

Tapi dalam kacamata etika deontologis, mengunggah aktivitas itu di media sosial supaya semua orang tahu kalau si politisi turut dalam aksi kemanusiaan, bukanlah sebuah tindakan bermoral. Untuk Kant, itu namanya legalitas.

Dalam novel Dunia Sophie karya Jostein Gaarder, tema ini diulas dengan sangat apik. Dalam percakapan para tokohnya, Jostein menulis, 'hanya jika kamu melakukan sesuatu murni karena kewajibanlah, tindakanmu dapat dikatakan sebagai tindakan moral. Oleh karena itu etika Kant kadang-kadang disebut etika kewajiban'

"Aku dapat merasakan bahwa aku berkewajiban mengumpulkan uang bagi Palang Merah atau bazar amal."

'Ya, dan yang penting, kamu melakukannya sebab kamu tahu itu benar. Bahkan jika uang yang kamu kumpulkan hilang di jalan, atau jumlahnya tidak memadai untuk memberi makan semua orang seperti yang diniatkan semula, kamu sudah mematuhi hukum moral. Kamu bertindak karena dorongan niat baik, dan menurut Kant, niat baik inilah yang akan menentukan apakah tindakan itu secara moral benar, bukan akibat dari tindakan itu. Etika Kant karenya juga disebut etika niat baik."

Tentu tak cukup membahas etika kewajiban Kant hanya dalam satu artikel singkat ini. Akan tetapi, penekanannya cukup jelas. Harga kebaikan itu mahal jika kita menempatkannya dalam konteks kewajiban. Kebaikan yang didorong oleh tujuan tertentu akan menjerumuskan kita pada bahaya eksploitasi penderitaan orang. Manusia bukan lagi subjek dari penanganan musibah, melainkan objek semata.

Saya kira tak banyak yang bisa sepakat dengan pemikiran semacam ini. Namun, di tengah tuntutan eksistensi khas abad 21 yang begitu kuat, etika ini penting untuk memurnikan motivasi orang berbuat baik.

Jika kita berhadapan dengan penderita yang ingin kita bantu, pandanglah dia sebagai sesama saudaramu, matikan layar ponsel mu, simpan di dalam saku, berbagi kisah dengannya dan timbalah pengalaman pertemuan wajah dengannya. Ketika pulang, kita akan sadar kebaikan kita tidak ternilai.

Sumber: Novel Dunia Sophie, Kuliah Umum Fritzerald K Sitorus Teater Utan Kayu Jakarta, 23 Oktober 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun