Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Teror Agama dan Narasi Damai

9 Desember 2020   22:00 Diperbarui: 9 Desember 2020   22:07 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan harapan, bukan hiburan, agama justru membawa ketakutan dan kecemasan. Atribut-atribut agama yang seharusnya menunjukkan identitas sakral, dalam wajahnya yang paling muram, justru menjadi fobia layaknya seorang anak kecil yang takut gelap. Tidak heran kalau dalam sebuah dokumentasi berjudul "Akar Dari Semua Kejahatan", Ricahard Dowkins, seorang ahli biologi Universitas Oxford menyatakan bahwa agama adalah akar dari semua kejahatan. 

Keyakinan agama yang tampak sakral, ramah, dan bahkan penuh damai menggiring generasi muda dan para penganut radikalnya meledakkan bom. Tesis Dawkins mudah dibantah tentu. Akan tetapi, sejarah bisa sejalan dengannya. Litani kekerasan atas nama agama (dan antar agama) dengan mudah bisa dirunut ke belakang hingga pada suatu periode di mana tendensi surgawi justru menjadi urusan sekunder.

Baron de Montesquieu, sudah sejak dulu melihat gejala kekerasan ini. Di hadapannya waktu itu terpampang kekerasan brutal antar agama Katolik dan para reformatoris. Ia mengakui kalau sejarah diwarnai peperangan antar agama, "Bukan keragaman agamalah yang menyebabkan peperangan tersebut, melainkan semangat intoleran yang menggelorakan suatu kelompok agama yang beranggapan bahwa dirinya mempunyai kekuasaan untuk memerintah," ujarnya.

Namun, di tengah narasi pesimisme intoleransi agama, selalu lahir jalan damai dari orang-orang yang tahu kalau agama itu tidak setali tiga uang dengan kekerasan. Bagi orang-orang ini wajah Tuhan itu nyata di dalam sesama; siapa saja dan apa saja yang Tuhan ciptakan. Dan memang hanya kedamaianlah yang diwartakan oleh setiap agama bukan sebaliknya. Selebihnya, adalah interpretasi bodong dan kehendak buta untuk berkuasa atas nama Tuhan.

Mari lihat sebuah narasi damai di tengah teror...

Mungkin masih segar dalam ingatan. Senin, 15 Desember 2014, Man Haron Monis, seorang pria bersenjata asal Iran menyandera puluhan orang yang berada di Lindt Caf di kota Sidney, Australia. Dalam aksi yang menyita perhatian masyarakat internasional ini, Man Haron Monis menyuruh beberapa orang pengunjung caf yang sudah ia sandera, mengibarkan sebuah bendera hitam dengan tulisan Arab dari jendela cafe. Disinyalir bendera tersebut terkait dengan sebuah kelompok garis keras Islam di Timur Tengah. 

Akhirnya, penyanderaan yang berlangsung selama enam belas jam itu berakhir setelah pihak kepolisian Australia menyerbu masuk ke dalam Caf dan meringkus pria bersenjata tersebut. Namun, masyarakat Australia berduka karena dua orang warga sipil menjadi korban dan beberapa lainnya terluka.

Kelompok-kelompok Muslim di Australia mengutuk aksi ini dan menegaskan kalau aksi teror tersebut sama sekali tidak mencirikan semangat Islam. Puluhan ribu pesan muncul di media sosial untuk mendukung warga Muslim di Australia setelah aksi penyanderaan di Sidney tersebut dapat menimbulkan Islamfobia di negara tersebut.

Dalam akun facebooknya, seorang pemuda Australia bernama Rachel Jacobs menceritakan pengalamannya saat dia berada di salah satu stasiun kereta api di Australia pada hari yang sama dengan aksi penyanderaan tersebut.

Di dalam kereta, ia melihat ada seorang penumpang perempuan yang duduk di salah satu sudut kereta dengan wajah yang sedikit pucat. Perempuan tersebut dengan takut-takut berusaha melepaskan jilbab yang ia pakai dan memasukkannya ke dalam tas. Melihat tingkah aneh dan ketakutan perempuan ini, Jacobs mendekatinya dan berkata, " pakai lagi jilbab Anda. Tidak ada yang perlu anda takuti. Saya akan berjalan bersama Anda." Mendengar suara Jacobs, perempuan tersebut sontak menangis dan memeluk Jacobs selama hampir satu menit.

Kisah Jacobs dan perempuan berjilbab ini kemudian menginspirasi pengguna Twitter untuk menggunakan tagar #illridewithyou.

Dukungan tidak berhenti di alam maya. Banyak pengguna media sosial yang secara tulus menggunakan tagar untuk menyampaikan keinginan mendampingi warga Muslim yang tengah bepergian melalui transportasi umum.

Lain lagi yang terjadi di Paris, Brussel, Jakarta, Istanbul, dan rentetan teror mematikan di kota lainnya, berjuta-juta simpati dan pesan damai diungkapkan dari seluruh dunia dengan satu harapan; tak boleh ada lagi teror yang mencaplok nama Tuhan. Di media sosial muncul pesan #pray for Paris, #pray for Jakarta, #pray for.... Ini bukti kalau mayoritas manusia muak dengan berita teror, apalagi teror berlandaskan agama.

Tidak ada teror yang tidak dikutuk dan tidak ada teror yang tidak diikuti dengan pesan damai. Walaupun bukan berarti damai selalu mengandaikan harus ada teror, hanya damailah yang akan menjadi cerita orang -- orang tua kepada anak-anaknya sebelum mereka tidur malam.

Mundur ke belakang, Karen Armstrong berkisah tentang salah satu periode damai sehabis teror. Lewat pertempuran sengit selama empat bulan, akhirnya Yerusalem jatuh ke tangan Khalifah Umar Bin al Khattab. Pada tahun 638, pemegang mandat pemerintahan kota suci adalah Sophoronius, Uskup Yunani. 

Ketika itu Sophoronius mendapat tugas mendampingi Khalifah Umar yang penuh kemenangan masuk kota Yerusalem. Ia minta diantarkan ke tempat -- tempat suci berbagai agama termasuk tempat-tempat ibadah Kristen, sepertiGereja Makam Suci. Periode pemerintahan Khalifah Umar merupakan periode yang penuh toleransi antaragama. Para pemeluk agama Yahudi, Kristen, dan Islam dapat hidup bersama secara berdampingan dan bebas melaksanakan ibadah mereka tanpa hambatan.

Narasi damai memang harus gencar diwartakan, kemudian dilaksanakan. Jika tidak, teror (is) kehilangan musuh abadinya yakni damai. Mungkin dengan alasan inilah Voltaire dengan geram menyindir para pelaku teror dalam esai bernada satir, Risalah Toleransi, "Aku melihat semua orang yang telah meninggal, baik mereka yang meninggal di masa lampau maupun masa sekarang, berjajar di hadapan Tuhan. 

Apa kalian yakin bahwa Sang Pencipta akan berkata kepada Konfusius, yang bijak dan berbudi luhur; kepada si perumus undang-undang, Solon; kepada Pitagoras, Zaleucus, Sokrates, Plato, Antonini yang agung, Trajan yang baik, Titus yang rajin menolong sesama, juga Epictetus, serta semua orang yang telah jadi contoh baik bagi kemanusiaan: Pergilah, wahai monster! Semoga kalian membara dalam kubangan api neraka selamanya! --- Sementara kalian, Jean Chtel, Ravaillac, Damiens, Cartouche dan lainnya yang mati di tiang gantung karena perbuatan keji kalian yang mengatasnamakan aku, kepada kalian kuberikan singgasana di sisiku dan juga kerajaanku, serta kebahagiaanku!"

Tulisan ini mengisi kolom BOX dalam majalah VOX Tahun 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun