Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Teror Agama dan Narasi Damai

9 Desember 2020   22:00 Diperbarui: 9 Desember 2020   22:07 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dukungan tidak berhenti di alam maya. Banyak pengguna media sosial yang secara tulus menggunakan tagar untuk menyampaikan keinginan mendampingi warga Muslim yang tengah bepergian melalui transportasi umum.

Lain lagi yang terjadi di Paris, Brussel, Jakarta, Istanbul, dan rentetan teror mematikan di kota lainnya, berjuta-juta simpati dan pesan damai diungkapkan dari seluruh dunia dengan satu harapan; tak boleh ada lagi teror yang mencaplok nama Tuhan. Di media sosial muncul pesan #pray for Paris, #pray for Jakarta, #pray for.... Ini bukti kalau mayoritas manusia muak dengan berita teror, apalagi teror berlandaskan agama.

Tidak ada teror yang tidak dikutuk dan tidak ada teror yang tidak diikuti dengan pesan damai. Walaupun bukan berarti damai selalu mengandaikan harus ada teror, hanya damailah yang akan menjadi cerita orang -- orang tua kepada anak-anaknya sebelum mereka tidur malam.

Mundur ke belakang, Karen Armstrong berkisah tentang salah satu periode damai sehabis teror. Lewat pertempuran sengit selama empat bulan, akhirnya Yerusalem jatuh ke tangan Khalifah Umar Bin al Khattab. Pada tahun 638, pemegang mandat pemerintahan kota suci adalah Sophoronius, Uskup Yunani. 

Ketika itu Sophoronius mendapat tugas mendampingi Khalifah Umar yang penuh kemenangan masuk kota Yerusalem. Ia minta diantarkan ke tempat -- tempat suci berbagai agama termasuk tempat-tempat ibadah Kristen, sepertiGereja Makam Suci. Periode pemerintahan Khalifah Umar merupakan periode yang penuh toleransi antaragama. Para pemeluk agama Yahudi, Kristen, dan Islam dapat hidup bersama secara berdampingan dan bebas melaksanakan ibadah mereka tanpa hambatan.

Narasi damai memang harus gencar diwartakan, kemudian dilaksanakan. Jika tidak, teror (is) kehilangan musuh abadinya yakni damai. Mungkin dengan alasan inilah Voltaire dengan geram menyindir para pelaku teror dalam esai bernada satir, Risalah Toleransi, "Aku melihat semua orang yang telah meninggal, baik mereka yang meninggal di masa lampau maupun masa sekarang, berjajar di hadapan Tuhan. 

Apa kalian yakin bahwa Sang Pencipta akan berkata kepada Konfusius, yang bijak dan berbudi luhur; kepada si perumus undang-undang, Solon; kepada Pitagoras, Zaleucus, Sokrates, Plato, Antonini yang agung, Trajan yang baik, Titus yang rajin menolong sesama, juga Epictetus, serta semua orang yang telah jadi contoh baik bagi kemanusiaan: Pergilah, wahai monster! Semoga kalian membara dalam kubangan api neraka selamanya! --- Sementara kalian, Jean Chtel, Ravaillac, Damiens, Cartouche dan lainnya yang mati di tiang gantung karena perbuatan keji kalian yang mengatasnamakan aku, kepada kalian kuberikan singgasana di sisiku dan juga kerajaanku, serta kebahagiaanku!"

Tulisan ini mengisi kolom BOX dalam majalah VOX Tahun 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun