Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melihat Wajah Tan Malaka yang Tersenyum di Surga

23 November 2020   06:00 Diperbarui: 23 November 2020   06:56 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah Pengantar

"Ayah kalian adalah seorang lelaki yang bertindak seperti apa yang ia pikir dan, tentunya selalu setia pada keyakinannya. Tumbuhlah sebagai revolusioner yang baik. Belajarlah dengan keras agar kalian mengetahui bagaimana teknik menguasai alam. Ingatlah bahwa revolusi adalah hal penting dan tiap-tiap diri kita tak ada harganya. Di atas segalanya, berusahalah selalu bisa menyelami setiap ketidakadilan yang dilakukan terhadap siapa pun di seluruh dunia. Ini adalah pencapaian paling indah di setiap revolusi." (Carlos 'Calica' Ferrer, Becoming Che, 2007)

Ini adalah petikan surat Ernesto 'Che' Guevara kepada anak-anaknya sebelum dia mati sebagai revolusioner di hutan Bolivia di usianya yang masih terbilang muda, 31 tahun. 

Aneh memang, sebab pada masa itu, Ernesto justru sudah memiliki jabatan penting di Kuba, dan bersama Fidel Castro cs. sudah dianggap sebagai pahlawan revolusi pembebasan rakyat Kuba dari cengkeraman diktator Fulgencio Batista, antek Amerika tulen. 

Untuk apa lagi Che pergi ke Bolivia dan ikut dalam perang gerilya melawan imperialisme? Jawabannya tentu saja sudah bisa ditebak secara tersirat dari kutipan surat di atas. Yang ia butuh adalah kebebasan martabat manusia seutuhnya; sebuah revolusi. 

Jabatan, uang dan popularitas ia tak butuh. Dan apa yang ia tinggalkan untuk generasi selanjutnya? Sebuah kebebasan. Dia tidak butuh waktu tujuh puluh atau delapan puluh tahun hidup di dunia untuk bisa meninggalkan jejak kebebasan dan inspirasi bagi generasi muda Kuba (pada saat itu, hampir seluruh negara Amerika Latin dikuasai junta militer dan rezim yang mendukung kapitalisme)

Saya mulai dengan menyitir Che Guevara justru ketika yang hendak akan kita bahas adalah perihal sang Bapak Republik Yang Terlupakan, Ibrahim Datuk Tan Malaka. 

Tak ada maksud untuk membandingkan keduanya. Sejarah sendiri telah membuktikan bagaimana roh kedua revolusioner ini menjadi kekal abadi, walau raga mereka tak hidup panjang. 

Ernesto berkeliling Amerika Latin dengan sedikit uang di saku, menyaksikan penderitaan rakyat Indian pribumi yang diperlakukan bak binatang; dan pada akhirnya sebagai orang bebas memutuskan untuk bergerilya demi kemerdekaan pribumi.

Tan Malaka, berkeliling Asia (bahkan dunia) sebagai seorang 'martir' imperialisme Belanda, lalu secara klandestin, dikejar-kejar agen rahasia Belanda, Inggris, dan Amerika hanya untuk satu tujuan: memperjuangkan kemerdekaan seutuh-utuhnya. Ia mati secara tragis di ujung bedil tentara Indonesia, negara yang ia bela di sepanjang hidupnya, di usia 51 tahun.

Tan---dan juga Che---paling kurang sudah membuktikan bahwa memperjuangkan kebebasan sesama, sudah cukup dan layak untuk membuat kita juga bebas. Itu dulu!

Melihat Wajah Tan Malaka yang Tersenyum di Surga

Tak banyak yang tahu siapa itu Tan Malaka. Nama, kisah dan perjuangannya tidak sefamiliar Soekarno, Hatta, Sjahrir dan tokoh pejuang arus utama lainnya. 

Pada masa orde baru nama Tan Malaka betul-betul hilang dari tulisan sejarah karena satu alasan: dia komunis. Pernah, sebuah monolog bertajuk Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah juga pernah dilarang pentas oleh sebuah ormas beberapa tahun lalu. Padahal tahun 1963, Soekarno, yang sangat mengagumi Tan, memberi gelar pahlawan kepada sang Bapak Republik tersebut.

Tan Malaka lahir pada tahun 1897 sebagai Ibrahim di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Pada usia remaja, gelar Tan Malaka diberikan kepadanya sebagai penerus bangsawan Minang dalam keluarganya. Namun takdir rupanya membawa Tan pergi jauh dari tanah Minang.

Ia belajar di Belanda di sebuah sekolah guru selama enam tahun. Sepulangnya dari Belanda,cita-citanya hanya satu: mengubah nasib bangsa Indonesia. Tan bekerja sebagai guru bagi anak-anak para kuli perkebunan teh di Deli, Sumatera Utara. 

Di perkebunan teh inilah jiwa revolusionernya mulai memberontak. Ia melihat penderitaan orang-orang pribumi yang dijajah kolonial Belanda. Teori-teori sosialisme yang tersimpan dalam kepalanya segera terbentur dengan realitas kolonialisme dan imperialisme di tanahnya sendiri.

Pada tahun 1921, karena berselisih paham dengan pemerintah Belanda yang menganggapnya terlalu subversif, Tan akhirnya hengkang ke Semarang dan bergabung dengan Sarekat Islam. 

Di Jawa dia mulai aktif berorganisasi sambil mendirikan sekolah rakyat di Semarang dan Bandung. Tan adalah seorang pendidik yang visioner. Baginya, menjadi guru adalah pekerjaan paling suci dan mulia. 

Pendidikan bertujuan untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan dan memperhalus perasaan; inilah salah satu ungkapan Tan yang masih sering dikutip hingga kini.

Pada 13 Februari 1922, Tan ditangkap Belanda di Bandung karena gencar menyatukan gerakan komunis dan Islam dalam menghadapi kaum imperialis. Pada 1 Mei 1922, ia dibuang ke Belanda tanpa ada jaminan untuk bisa pulang lagi.

Di Belanda Tan disambut sebagai 'martir' kolonialisme oleh rekan-rekan seideologinya di sana. Ia juga menjadi anggota Partai Komunis Belanda dan menjadi calon anggota Parlemen Belanda dari Partai Komunis Belanda. 

Meski pada akhirnya gagal dalam pemilu, Tan tetap tak berkecil hati sebab ia bisa berkampanye keliling Belanda untuk menyuarakan penderitaan bangsa Indonesia.

Dari Belanda, Tan menuju ke Jerman. Lalu pada November 1922, ia pergi ke Moskow, Rusia untuk menghadiri Konferensi Komunis Internasional (Komintern) sebagai wakil dari Partai Komunis Indonesia. 

Dalam konferensi ini pidatonya tentang penyatuan perjuangan Komunisme dan Pan Islamisme mendapat tepuk tangan meriah dan menuai pujian peserta kongres. Ia kemudian terpilih sebagai Wakil Komintern untuk wilayah Asia Timur. Dengan modal jabatan ini, ia pun harus berkeliling wilayah Asia.

Pada Desember 1923, ia pergi ke Kanton dan berperan besar dalam penerbitan majalah 'merah',The Dawn. Di kota ini juga Tan menerbitkan bukunya yang sangat berpengaruh, Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). 

Dengan aktivitas komunisnya ini, Tan Malaka pun diincar oleh polisi rahasia Amerika, Inggris, dan Belanda, negara-negara imperialis yang memang pada masa itu banyak menjajah wilayah Asia tenggara dan sekitarnya.

Tan malaka pun mulai masuk dari satu negara ke negara yang lainnya dengan menggunakan identitas palsu. Ia pergi ke Filipina dengan nama Elias Fuentes dan bekerja sebagai koresponden El Debate. 

Ia ke Singapura dengan nama Hasan Gozali, orang Mindanao. Ia ke Bangkok, Thailand dan mendirikan sebuah partai ilegal bernama Partai Republik Indonesia. Ia kembali ke Filipina dan ditangkap di sana. 

Penangkapannya sempat membuat rakyat Filipina bergejolak dan bersimpati kepadanya. Ia sudah dianggap sebagai simbol pemberontakan rakyat Filipinaterhadap penjajah. Ia kemudian dibuang ke pulau Amoy, Tiongkok. 

Kemudian terus ke Hongkong. Lalu, ia ke Sanghai pada 1930 sebagai Ossario, wartawan Filipina untuk majalah Bankers Weekly. Kembali lagi ke Hongkong karena pecah perang Cina dan Jepang.

Di Hongkong, ia ditangkap lagi dan dibuang ke Sanghai, lalu berhasil kabur ke Amoy dan mendirikan sekolah bahasa Inggris dan Jerman. Ketika Jepang menduduki Amoy, ia menyelundup ke Rangoon, Birma pada 31 Agustus 1931.

Sebulan di Rangoon, ia kembali ke Singapura dan menjadi guru bahasa Inggris dan Matematika di sebuah sekolah Tionghoa. Ia pulang ke Indonesia pada 1942 melalui Penang, Malaysia dengan menggunakan sebuah kapal tongkang. 10 Juni 1942, ia tiba di Medan dengan nama Legas Hussein. 

Di Padang ia memakai nama Ramli Hussein dan masuk ke pulau Jawa dengan nama Ilyas Hussein. Dua puluh tahun di pembuangan, Tan akhirnya menginjakan kaki di Indonesia masih juga secara ilegal.

Mengapa Tan Malaka Penting Untuk Dikenang?

Tan Malaka adalah seorang revolusioner sejati, tokoh pendidikan, filsuf, pendiri partai Murba, pejuang kemerdekaan dan pahlawan besar. Bukunya Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) adalah buku pertama yang menggagas konsep Republik Indonesia. 

Buku ini adalah bacaan wajib para tokoh perjuangan, termasuk Soekarno, yang menurut Sayuti Melik, sering terlihat menenteng buku ini saat tinggal di Bandung. Bukunya Massa Actie yang ditulis di Singapura merupakan pedoman perjuangan para tokoh pergerakan bawah tanah di Indonesia. 

Total Tan sudah menghasilkan 26 buah pikir dalam bentuk buku dan brosur pada masa itu, termasuk masterpiece-nya Dari Penjara ke Penjara (3 jilid) dan Madilog. 

Dalam pengembaraannya ia menggunakan 23 nama samaran, pernah melakoni 5 jenis pekerjaan (guru, penulis lepas, kerani, mandor, tukang jahit), menguasai 6 bahasa asing (Inggris, Jerman, Belanda, Tagalog, Rusia, Mandarin), dan menjelajah 2 benua 11 negara, kira-kira sejauh 89 ribu kilometer, setara dua kali keliling bumi.

Tan Malaka pernah bertemu Soekarno. Dari pertemuan ini, lahirlah sebuah wasiat Soekarno yang sangat kontroversial. Ia membuat sebuah testamen politik yang isinya meminta Tan Malaka untuk mengambilalih tongkat revolusi (memimpin Indonesia) bila keadaan darurat terjadi pada dwi-tunggal Soekarno-Hatta. Banyak pihak tak setuju dengan testamen ini.

Bersama Soekarni, salah satu tokoh pemuda yang menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, ia mendirikan partai Murba, partai kiri tandingan Partai Komunis Indonesia.Tan Malaka ditangkap karena dituduh oleh para lawan politiknya hendak mengkudeta pemerintahan Soekarno. 

Ternyata nasibnya tak sebaik di pembuangan. Dari tahun 1946 sampai tahun 1948, ia berpindah dari penjara ke penjara di pulau Jawa. Pada tahun 1949, Tan Malaka dinyatakan hilang tak berjejak.

Selama hampir enam puluh tahun, kematian Tan Malaka terus diselimuti misteri. Hingga melalui sebuah penelitian dan penyelidikan yang teliti, seorang sejarawan Belanda bernama Harry A. Poeze yang sudah meneliti Tan Malaka selama 40 tahun menguak tabir misteri kematian itu.

Tan Malaka tewas ditembak oleh Tentara Republik Indonesia Batalion Sikatan pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung, di bawah kaki gunung Wilis, Kediri. Tahun 2008, saat makamnya dibongkar, ditemukan jenasah tulang belulang dengan kedua tangannya masih terikat ke belakang.

Itulah akhir tragis sang Bapak Republik: tewas di ujung bedil tentara bangsanya sendiri. Walau begitu, Tan Malaka pasti bahagia di Surga. Republik Indonesia yang ia cintai sudah merdeka dari penjajah asing.

Andai saja kita bisa melihat wajah Tan Malaka yang tersenyum di Surga....

Sumber Pustaka: Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan (Seri Buku Saku Tempo) dan sumber lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun