Di Padang ia memakai nama Ramli Hussein dan masuk ke pulau Jawa dengan nama Ilyas Hussein. Dua puluh tahun di pembuangan, Tan akhirnya menginjakan kaki di Indonesia masih juga secara ilegal.
Mengapa Tan Malaka Penting Untuk Dikenang?
Tan Malaka adalah seorang revolusioner sejati, tokoh pendidikan, filsuf, pendiri partai Murba, pejuang kemerdekaan dan pahlawan besar. Bukunya Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) adalah buku pertama yang menggagas konsep Republik Indonesia.Â
Buku ini adalah bacaan wajib para tokoh perjuangan, termasuk Soekarno, yang menurut Sayuti Melik, sering terlihat menenteng buku ini saat tinggal di Bandung. Bukunya Massa Actie yang ditulis di Singapura merupakan pedoman perjuangan para tokoh pergerakan bawah tanah di Indonesia.Â
Total Tan sudah menghasilkan 26 buah pikir dalam bentuk buku dan brosur pada masa itu, termasuk masterpiece-nya Dari Penjara ke Penjara (3 jilid) dan Madilog.Â
Dalam pengembaraannya ia menggunakan 23 nama samaran, pernah melakoni 5 jenis pekerjaan (guru, penulis lepas, kerani, mandor, tukang jahit), menguasai 6 bahasa asing (Inggris, Jerman, Belanda, Tagalog, Rusia, Mandarin), dan menjelajah 2 benua 11 negara, kira-kira sejauh 89 ribu kilometer, setara dua kali keliling bumi.
Tan Malaka pernah bertemu Soekarno. Dari pertemuan ini, lahirlah sebuah wasiat Soekarno yang sangat kontroversial. Ia membuat sebuah testamen politik yang isinya meminta Tan Malaka untuk mengambilalih tongkat revolusi (memimpin Indonesia) bila keadaan darurat terjadi pada dwi-tunggal Soekarno-Hatta. Banyak pihak tak setuju dengan testamen ini.
Bersama Soekarni, salah satu tokoh pemuda yang menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, ia mendirikan partai Murba, partai kiri tandingan Partai Komunis Indonesia.Tan Malaka ditangkap karena dituduh oleh para lawan politiknya hendak mengkudeta pemerintahan Soekarno.Â
Ternyata nasibnya tak sebaik di pembuangan. Dari tahun 1946 sampai tahun 1948, ia berpindah dari penjara ke penjara di pulau Jawa. Pada tahun 1949, Tan Malaka dinyatakan hilang tak berjejak.
Selama hampir enam puluh tahun, kematian Tan Malaka terus diselimuti misteri. Hingga melalui sebuah penelitian dan penyelidikan yang teliti, seorang sejarawan Belanda bernama Harry A. Poeze yang sudah meneliti Tan Malaka selama 40 tahun menguak tabir misteri kematian itu.
Tan Malaka tewas ditembak oleh Tentara Republik Indonesia Batalion Sikatan pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung, di bawah kaki gunung Wilis, Kediri. Tahun 2008, saat makamnya dibongkar, ditemukan jenasah tulang belulang dengan kedua tangannya masih terikat ke belakang.