Sebuah Pengantar
"Ayah kalian adalah seorang lelaki yang bertindak seperti apa yang ia pikir dan, tentunya selalu setia pada keyakinannya. Tumbuhlah sebagai revolusioner yang baik. Belajarlah dengan keras agar kalian mengetahui bagaimana teknik menguasai alam. Ingatlah bahwa revolusi adalah hal penting dan tiap-tiap diri kita tak ada harganya. Di atas segalanya, berusahalah selalu bisa menyelami setiap ketidakadilan yang dilakukan terhadap siapa pun di seluruh dunia. Ini adalah pencapaian paling indah di setiap revolusi." (Carlos 'Calica' Ferrer, Becoming Che, 2007)
Ini adalah petikan surat Ernesto 'Che' Guevara kepada anak-anaknya sebelum dia mati sebagai revolusioner di hutan Bolivia di usianya yang masih terbilang muda, 31 tahun.Â
Aneh memang, sebab pada masa itu, Ernesto justru sudah memiliki jabatan penting di Kuba, dan bersama Fidel Castro cs. sudah dianggap sebagai pahlawan revolusi pembebasan rakyat Kuba dari cengkeraman diktator Fulgencio Batista, antek Amerika tulen.Â
Untuk apa lagi Che pergi ke Bolivia dan ikut dalam perang gerilya melawan imperialisme? Jawabannya tentu saja sudah bisa ditebak secara tersirat dari kutipan surat di atas. Yang ia butuh adalah kebebasan martabat manusia seutuhnya; sebuah revolusi.Â
Jabatan, uang dan popularitas ia tak butuh. Dan apa yang ia tinggalkan untuk generasi selanjutnya? Sebuah kebebasan. Dia tidak butuh waktu tujuh puluh atau delapan puluh tahun hidup di dunia untuk bisa meninggalkan jejak kebebasan dan inspirasi bagi generasi muda Kuba (pada saat itu, hampir seluruh negara Amerika Latin dikuasai junta militer dan rezim yang mendukung kapitalisme)
Saya mulai dengan menyitir Che Guevara justru ketika yang hendak akan kita bahas adalah perihal sang Bapak Republik Yang Terlupakan, Ibrahim Datuk Tan Malaka.Â
Tak ada maksud untuk membandingkan keduanya. Sejarah sendiri telah membuktikan bagaimana roh kedua revolusioner ini menjadi kekal abadi, walau raga mereka tak hidup panjang.Â
Ernesto berkeliling Amerika Latin dengan sedikit uang di saku, menyaksikan penderitaan rakyat Indian pribumi yang diperlakukan bak binatang; dan pada akhirnya sebagai orang bebas memutuskan untuk bergerilya demi kemerdekaan pribumi.
Tan Malaka, berkeliling Asia (bahkan dunia) sebagai seorang 'martir' imperialisme Belanda, lalu secara klandestin, dikejar-kejar agen rahasia Belanda, Inggris, dan Amerika hanya untuk satu tujuan: memperjuangkan kemerdekaan seutuh-utuhnya. Ia mati secara tragis di ujung bedil tentara Indonesia, negara yang ia bela di sepanjang hidupnya, di usia 51 tahun.
Tan---dan juga Che---paling kurang sudah membuktikan bahwa memperjuangkan kebebasan sesama, sudah cukup dan layak untuk membuat kita juga bebas. Itu dulu!