Untuk itu harus diakui pula kalau pisau analisis Arendt tentang politik sangat tajam hingga mampu membongkar kemapanan liberalisme yang ditonggak filsuf-filsuf besar seperti Locke, Hobbes, dan Rousseau.
Arendt membuat distingsi tajam antara manusia politik dan apolitik dalam metafisika politiknya. Baginya, der Mensch atau sang Manusia atau manusia singular adalah realitas abstrak karena itu dia tidak mungkin politis melainkan der Mensch itu, a-politis.Â
Realitas yang konkret adalah die Menschen, manusia-manusia atau manusia plural. Manusia plural inilah yang bagi Arendt politis. Konsep manusia seperti ini sekaligus mementahkan anggapan konsep manusia zoon politikon-nya Aristoteles.
Arendt memperluas jangkauan pemikiran Aristoteles mengenai oikos dan polis. Oikos, dalam konsep Aristoteles selalu dikaitkan dengan relasi yang menguasai dan yang dikuasai, laki-laki dan perempuan, tuan dan budak karena itu relasi ini niscahya karena tujuannya jelas yakni demi pengembangbiakan dan untuk mempertahankan hidup.Â
Menurutnya, oikos itu pra politis bukan dalam pengertian state of nature Hobbes atau hubungan-hubungan produksi ala Marx dan bukan juga dalam konsep oikos sebagai rumah tangga, melainkan karena intimitas anonim penguasa dan yang dikuasai.
Dalam hal ini sang diktator dan massanya. Keseluruhan tatanan politis itu tidak termasuk dalam ruang publik melainkan sebatas ruang privat semata.
Tidak begitu jauh berbeda dengan Aristoteles, Arendt pun mengakui baru dalam polis tercipta ruang publik yang tidak terkontaminasi dengan ruang privat. Di dalam polis ada komunikasi publik tiada henti dan solidaritas manusia-manusia (die Menschen). Polis adalah kerajaan kebebasan yang memungkinkan setiap orang berbicara lantang.Â
Dengan demikian kesimpulan yang sangat bernas bisa ditarik dari konsep Arendt ini; bukan polis yang memungkinkan komunikasi publik, tetapi komunikasi publiklah yang memungkinkan polis. Di dalam polis sendiri tidak ada kepentingan-kepentingan yang dibawa dari ruang privat.
Lalu, apa itu ruang privat bagi Arendt? Jawabannya sederhana saja, ruang privat yang a-politis itu adalah agama, relasi bisnis-ekonomi, komunitas etnis.Â
Kediktatoran bukan saja intervensi ruang publik terhadap ruang privat, tetapi lebih dari itu, terjadinya kolonisasi ruang publik oleh yang privat.Â
Budi Hardiman mengangkat contoh kolonisasi itu dengan realitas Orde Lama dimana para konglomerat begitu mempengaruhi pemerintahan politis, agama dikomando oleh kementerian agama, masyarakat luar Jawa di-Jawakan, dan contoh sejenis lainnya. Itu semua jauh dari konsep republik.