Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Bola

Bagian yang Hilang dari Sepak Bola yang Membuat Maradona Jadi Pengecut

15 November 2020   21:38 Diperbarui: 15 November 2020   21:52 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya mulai dengan merumuskan tesis,Maradona hanyalah seorang pengecut ketika dia mencetak gol dengan tangan di tahun 2020.

Kembali ke Piala Dunia Meksiko tahun 1986. Tepat pada 22 Juni di Estadio Azteca, kota Meksiko laga perempat final Argentina versus Inggris dilangsungkan. 

Tak ada gol yang teripta di babak pertama. Memasuki babak kedua sebuah 'keajaiban' terjadi. Maradona menggiring bola dan hendak mengirim umpan kepada Jorge Valdano. 

Bola operan tersebut berusaha disapu oleh gelandang Inggris Steve Hodge, tetapi bola yang mau diselamatkan itu justru melambung ke arah kotak penalti timnya sendiri.

Celakanya di sana sudah berdiri si cebol Maradona. Dengan cepat ia beradu lompatan dengan Peter Shelton, kiper kawakan Inggris yang posturnya 1,85 m jauh lebih tinggi dari Maradona yang hanya 1,6 m. Sepintas, orang mengira Peter Shelton yang akan memenangi duel udara itu, sebab akan mudah baginya untuk meraih bola itu dengan tangan atau sekadar meninjunya. Naas bagi Inggris, di menit ke-51 takdir berkehandak lain.

Bola tersebut berhasil diceploskan oleh Maradona dengan trik cerdik yang membuat para pemain Inggris dan semua warga Britania kebakaran jenggot; Maradona yang kala itu berusia 25 tahun melompat seolah-olah ingin menyundul bola, dan dengan cepat salah satu tangannya juga menyentuh bola dan mendorongnya masuk ke dalam gawang.

Seluruh dunia tahu bola yang menyentuh tangan atau hands ball adalah haram hukumnya dalam dunia sepak bola. Namun, tidak untuk pertandingan kali itu. Wasit asal Tunisia, Ali bin Nasser tetap menganggap gol itu sah meski seluruh pemain Inggris mengerumuni dirinya dan memprotes gol tersebut. Sehabis pertandingan, si pengadil memang mengakui kalau ia tidak melihat Maradona menggunakan tangan.

Sayangnya, di luar lapangan pria Argentina itu sudah terlanjur melegitimasi, "gol itu diciptakan dengan sedikit sundulan Maradona dan sedikit tangan Tuhan." Ia berbangga bisa menjadi pahlawan pengobat luka rakyat Argentina yang beberapa tahun sebelumnya kalah dalam perang Falkland melawan tentara Inggris. Maka,jadilah legenda paling fenomenal tentang Maradona;gol tangan Tuhan. Tuhan menitipkan perintah kepadanya untuk mencetak gol dengan tangan.

Sebuah keajaiban dari Tuhan, bukan? Paling tidak menurut orang Argentina.

Kegemilangan Diego Armando Maradona kian lengkap ketika di menit ke-54 ia berhasil mencetak gol indah dengan solo run melewati empat orang pemain Inggris termasuk mengecoh sang kiper sebelum mencetak gol dengan kaki kirinya. Peter Shelton dkk menderita untuk kedua kalinya. Inggris baru bisa mengejar ketertinggalan di menit ke-81 lewat Gary Lineker.

Skor 2-1 bertahan hingga akhir laga. Di semifinal Argentina berhasil mengandaskan Belgia dan berhasil menjadi juara Piala Dunia 1986 setelah mengandaskan Jerman Barat 3-2. Sontak saja Maradona menjadi buah bibir. Bahkan para pengikut setianya di Argentina menganggap Maradona sebagai Mesias dan mendirikan sebuah gereja irasional bernama Gereja Maradona.

Konon, buku autobiografi Maradona adalah kitab sucinya dan para pengikut gereja ini wajib memberi nama depan anak mereka yang lahir dengan nama, Diego. Menggelikan bukan? Tetapi saya yakin, bahkan untuk orang yang tak peduli dengan dunia sepak bola sekali pun pasti mengenal Maradona bukan pertama-tama soal kemahiran dia mendribel bola (bayangkan bagaimana Lionel Messi menggiring bola), tetapi soal gol tangan Tuhan itu.

Saya belum lahir ketika Piala Dunia 1986 dihelat di Meksiko. Walau begitu saya masih ingat betul, ketika masih kecil, seumuran Nobita dan Suneo, saya dan teman-teman lainnya sering bermain sepak bola di tanah lapang di samping rumah tetangga. Apabila ada teman yang dengan iseng menceploskan bola ke gawang dengan tangannya, teman-teman (termasuk saya) langsung menyebut tindakan itu sebagai gol tangan Tuhan, merujuk pada gol Maradona.

Saya tak tahu pasti sejak kapan kami menggunakan frasa itu. Namun saya yakin sekali cerita tentang gol tangan Tuhan itu kami dapat dari orang tua kami atau  dari orang-orang yang lebih dewasa. Gol tangan Tuhan melegenda dari generasi ke generasi.

Sejak era emas Maradona itu, sepak bola kini telah bertransformasi menjadi permainan yang sangat taktis dan teliti, secara individu, secara tim dan secara bisnis. Sepak bola era Johan Cruyff dengan spirit total football lahir kembali dalam wujud tiki-taka. Tetapi filosofi total football, 'ketidakteraturan dalam keteraturan', tidak bertahan lama di tubuh klub Catalan. Taktik Pep Guardiola telah usang dan semua pelatih rajin berinovasi.

Bermain pragmatis a la Mourinho salah satunya; menumpuk pemain di dekat garis gawang sambil menunggu waktu untuk menyerang balik kala lawan lengah. Ini juga butuh teknik tinggi. Jadi, tak ada lagi cerita tiki-taka sekarang. Yang ada justru sebaliknya, ball possesion doesn't win the game. Setiap tim berusaha menajamkan lini depan sembari memperkokoh lini belakang. Pemain dituntut untuk menyerang sama baik dengan bertahan.

Pemain sepak bola bukan gladiator yang mengandalkan kekuatan belaka, mereka adalah sejenis Floyd Mayweather jr yang tidak saja mengandalkan skill dan power tetapi juga otak yang cerdas untuk membuat perhitungan matematis; kapan bertahan, kapan menyerang. Mungkin inilah perpaduan ramuan-ramuan klasik kick and rush, Catenaccio dan total football. Terciptalah sepak bola modern.

Seiring dengan itu. Wasit kini tidak bekerja sendiri. Belajar dari puluhan bahkan ratusan kontroversi di sepanjang sejarah kompetisi si kulit bundar, teknologi kini diizinkan masuk membantu para pengadil(meski kalah cepat dari olahraga tenis dan badminton). Sekarang sudah ada goal line technology atau teknologi garis gawang, selain ditambah wasit di belakang gawang.

Dengan teknologi ini wasit utama bisa langsung tahu bola sudah melewati garis gawang atau belum. Seberapa jauh jaraknya dengan bola, sinyal di jam tangannya akan memberitahu bola tersebut gol atau tidak. Meski biaya untuk teknologi ini bernilai milyaran rupiah, beberapa liga domestik di Eropa sudah menggunakan teknologi ini. Tak ada lagi protes pemain dan pelatih atau sejenisnya karena mereka tahu teknologi tak pernah salah, tak pernah menipu, tak pernah bisa disogok. Tiga hal yang rentan terjadi pada seorang wasit.

Bukan hanya itu, sejak Piala Konfederasi 2017di Rusia teknologi Video Asistent Referee atau VAR, yang bisa membantu wasit menonton replay permainan juga sudah diterapkan. 

Bila ada pelanggaran atau insiden tanpa bola yang tidak bisa dijangkau secara kasat mata, sang pengadil yang bimbang mengambil keputusan bisa sejenak memberhentikan permainan, mengambil waktu beberapa menit untuk menonton tayangan ulang dari kejadian yang diperkarakan para pemain.

Sekarang penggunaan VAR sudah menjadi hal yang jamak ketika kita menyaksikan liga-liga Eropa dan kompetisi-kompetisi internasional lainnya.

Nah, pada bagian inilah, bisa kita simpulkan aksi gol tangan Tuhan milik Maradona tadi. Bila ia melakukannya sekarang di stadion sekelas Old Trafford, dan dengan wajah tak bersalah memprotes keputusan Howard Webb---yang pada saat ia mencetak gol sedang berdiri di tengah lapangan, segera memelototi layar VAR di tepi lapangan sambil berdiskusi dengan seorang asisten wasit yang ada di dekat gawang, maka Maradona tidak lain adalah seorang pengecut sepak bola.

Ia bakal diludahi pemain lawan karena tidak sportif dan dicemooh fans seisi stadion karena diganjar kartu merah akibat tindakan yang tidak terpuji; menggunakan tangan untuk mencetak gol. Lalu tak ada yang dikenang dari sosok seorang Maradona selain tindakan seorang pemain yang kehabisan akal untuk mencetak gol.

Inilah bagian yang hilang dari sebuah permainan. Kehadiran teknologi telah melenyapkan sisi manusiawi dari sepak bola. Tidak akan ada lagi drama, komedi, dan spontanitas. Teknologi telah mengubah human error; dari sekadar sebuah kontroversi menjadi hal tabu untuk dilakukan.

Di bawah kendali teknologi tak ada lagi semboyan nobody's perfect atau error is human. Padahal sepak bola merupakan olahraga manusia yang memang tak luput dari ketidaksempurnaan dan spontanitas. Akibatnya, tak ada yang bisa kita kenang selain rekor transfer saga Neymar, gol spektakuler Modric yang menghancurkan Barca, dan bagaimana kecerdikan Zidane meramu taktik. Tidak ada lagi kontroversi yang diceritakan dari generasi ke generasi seperti gol tangan Tuhan Maradona.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun