Mohon tunggu...
riche pebinurhayati
riche pebinurhayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

traveling

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Mawaris

14 Maret 2023   16:27 Diperbarui: 14 Maret 2023   16:34 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Golongan pertama, mazhab ahlul qarabah, golongan kedua, madzhab ahlu al- tanszil, golongan ketiga, madzhab ahlur rahim. Selanjutnya pada warisan ahli waris yang statusnya diragukan yang pertama ada warisan anak hasil zina yang dimana para ulama telah sepakat bahwa seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah, jika anak tersebut dilahirkan kurang dari waktu enam bulam setelah akad perkawinan, sebab karena tenggang waktu yang pendek yang harus ada antara kelahiran anak dengan perkawinan adalah enam bulan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa jika ada anak yang lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya melaksanakan nikah, maka anak tersebut tidak dpat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah. Selanjutnya warisan anak li'an, hukum anak li'an dalam kewarisan sama dengan hukumannya untuk anak zina. Tidak ada kewarisan antara sang anak li'an dengan ayahnya dan kerabat-kerabatnya, karena seorang hakim telah menetapkan bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan darah dengan ayahnya dan menghubungkannya dengan ibunya.

Adapun warisan orang hilang (mafqud) mengenai pembagian harta waris terhadap masalah oran yang hilang (mafqud) ini para ulama juga berpendapat menyamakan pembagiannya seperti pembagian waris dengan jalan perkiraan, seperti khuntsa dan anak yang berada dalam kandungan. Warisan orang yang mati serentak dalam kasus hal ini para ahli hukum islam juga menjelaskan bahwa diantara mereka tidak boleh saling mewarisi. Adapun alasan mengenai penjelasan tersebut adalah disebabkan syarat-syarat (siapa yang mejadi pewaris dan yang menjadi ahli waris) tidak dapat diketahui, denan demikian harta warisan mereka hanya dapat diberikan kepada ahli waris mereka masing-masing yang masih hidup. Selain itu para ahli hukum islam juga menggunakan atsar (ucapan atau perbuatan sahabat nabi) yang diriwayatkan oleh Sa'ad dari Ismail bin 'Iyas dan Yahya bin Sa'id. Pendapat kedua menurut Umar, Ali, Imam ahmad mengatakan bahwa mereka yang mengalami kecelakaan bersama itu saling mewarisi. Ada juga warisan orang yang tertawan (asir) merupakan orang yang ditawan karena ditangkap atau kalah dalam suatu peperangan. Maka dalam penyelesaian hukum waris orang yang tertawan ini sangat dibutuhkan peranan hakim dalam meutuskan status dan keberadaannya ditepuh upaya untuk mendapatkan informasi mengenai orang yang tertawan tersebut.

Sedangkan Khunsa merupakan orang yang diragukan apakah orang itu laki-laki atau perempuan, selanjutnya dzawil arham di dalamnya terdapat tiga pendapat yaitu pendapat Ahl Al-qarabah, pendapat Ahl at-tanzil, dan pendapat Ahl ar-Rahim. Anak yang masih dalam kandungan belum dapat dipastikan hidup atau tidak, serta belum dapat dipastikan saat ia lahir berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Hal inimenjadi sangat penting dalam hal pembagian harta warisan si pewaris dan penentuan porsi warisannya. Dan pada pusaka anak pungut ialah anak yang dipungut dari jalan raya, atau sebagainya yan ditinggalkan oleh ibu dan ayahnya, sedang ibu, ayah atau keluarga lainnya tidak diketahui. Hukum waris islam mempunyai sejarah tersendiri ditambah dengan masuknya hukum islam ke indonesia mampu dengan cepat beradaptasi dan tidak menimbulkan benturan budaya dengan adat istiadat lokal yang sebelumnya sudah tercipta. Sejarah yang berkembang di indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah islam itu sendiri. Ada perbedaan pendapat di kalangan para pakar mengenai masuknya islam ke indonesia. Perbedaan teori terdapat di dalam sejarah berkembangnya islam menyebutkan bahwa islam masuk pertama kali ke indonesia pada abad ke-12 dari Gujarat bukan dari Arabia.

Kedua, teori yang dikembangkan menyatakan bahwa islam datang dari Bengal. Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya pada Abad ke-11 M. Tepatnya dari pantai timur, bukan dari barat (Malaka), melalui Canton, Phantang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Teori ketiga, menyatakan bahwa islam datang ke indonesia langsung berasal dari Arab, tepatnya Hadhramaut. Selanjutnya islam  abab XII M dilakukan oleh para pedagang yang datang dari pantai Malabar, pantai Karamandel termasuk, dari Gujarat. Peran ulama dalam perkembangan hukum islam pada era sebelum kemerdekaan, peranya di fokuskan peran ulama seperti Sultan Maliki Zahir dari Samudera pasai adalah seorang ahli agama dan hukum islam terkenal pada abad ke-14 Masehi. Melalui kerajaan ini hukum islam disebarakan ke kerajaan- kerajaan islam lainnya di kepulauan nusantara. Kedua, Hamzah Fanshuri dan Syamsudin As-Sumtrani adalah dua orang guru-murid yang merupakan pelopor dari tasawuf Panteisme. Ketiga, Nuruddin menulis buku hukum islam dan beliau juga telah menjalin lama dengan Sultan Iskandar Muda II. Keempat, Abd al-Rauf merupakan seorsng ulama yang berpikiran cukup moderat, kompromis. Dan pada hukum kewarisan islam pada masa kemerdekaan, di indonesia sampai sekarang ini belum terdapat suatu kesatuan hukum tentang hukum kewarisan yang ditetapkan untuk seluruh warga negara indonesia. Oleh karena itu hukum kewarisan yang ditetapkan kepada seluruh warga negara indonesia masih berbeda-beda. Adapun dampak dari adanya pluralisme tersebut adalah pemberlakuan hukum kewarisan di indonesia terdiri dari tiga macam yakni: hukum kewarisan menurut islam ialah hukum kewarisan yang bersumber dari Al-Qur'an, Hadits, Ijma dan Qiyas. Hukum kewarisan menurut KUHPerdata yang mana sudah diatur dalam buku II titel 12 sampai  dengan 18, paal 830 sampai dengan 1130. Hukum kewarisan menurut hukum adat yang mana dikenal pada pembagian warisan secara adat, diantaranya: sistem kewarisan individal, sistem kewarisan kolektif, sistem kewarisan mayorat.

Selanjutnya penerapan hukum kewarisan islam di pengadilan agama pada era kemerdekaan berdasarkan pasal 29 UUD 1945 yang mana kedudukan hukum islam diakui keberadaannya di dalam sistem hukum di indonesia. Hal itu sejalan dengan pemikiran Hazairin bahwa sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat didalam UUD 1945 dan dijadikan garis hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945 tersebut. Karena terdapat beberapa penafsiran terhadap ketentuan pasal 29 ayat (1) yang berbunyi "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa" yang mana berisi diantaranya: Pertama, dalam negara republik indonesia tidak boleh berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah islam bagi umat islam, kaidah-kaidah nasrani bagi umat nasrani, kaidah-kaidah bagi orang hindu, dan kaidah-kaidah budha bagi orang budha. Kedua, negara republik indonesia wajib menjalankan syariat islam bagi orang isla, syariat nasrani bagi orang nasrani, syariat hindu bagi orang hindu dan syariat budha bagi orang budha yang sepanang pelaksanaanya membutuhkan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara, setiap pemeluknya wajib menjalankan sendiri.

Adapun hukum waris menurut kompilasi hukum islam (KHI) hukum islam merupakan salah satu hukum yang ada di indonesi, dalam artian hukum islam menjadi salah satu norma hukum bagi upaya pembentukan hukum nasioanal termasuk di bidang kewarisan. Terbentuknya hukum islam mengenai hukum keluarga islam terutama dalam kewarisan islam yang tertuliskan sudah lama sebagaimana semenjak adanya peradilan agama yang mempunyai wewenang menyelesaikan masalah-masalah hukum menjadi sangat diperlukan adanya satu kompilasi hukum tertulis yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan oleh para hakim, karena kitab-kitab hukum yang ada sekarang dianggap terlalu banyak dan beragam. Hal tersebut berpengaruh terhadap penjatuhan putusan yang beragam dalam perkara yang sama sehingga tidak tercapai suatu kepastian hukum. Beberapa kitab hukum islam yang bisa dijadikan sebagai rujukan bagi hakim dalam memutus perkara agar terdapat kesatuan hukum diantaranya: Al-Bajuri, Fathul Mu'in, Syarqowi ala at-Tahrir dan lain sebagainya.

Yang menjadi dasar utama penyusunan kompilasi hukum islam sesuai dengan intruksi presiden Nomor 154 Tahun 1991. Hal tersebut menunjukkan upaya fungsional ajaran islam sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat dan sebagai upaya mengakhiri propaganda dari keberlakuan hukum islam. Oleh karena itu pembentukan kompilasi hukum islam memiliki beberapa tujuan diantaranya: melengkapi pilar peradilan agama, menyamakan persepsi penetapan hukum, mempercepat proses taqribi bainal ummah, menyingkirkan paham private affain. Kompilasi hukum islam sendiri mempunyai pengertian sekumpulan hukum islam yang ditulis dalam bentuk pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga komponen materi hukum yaitu hukum perkawinan (710 pasal) hukum kewarisan dan hibah (44 pasal) dan hukum perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebu. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik yang terjadi di negeri ini dari masa ke masa.

Terdapat beberapa hikmah yang dapat diambil dari penyusunan kompilasi hukum islam, diantaranya: hukum islam pemberlakuannya serupa hukum positif dan diberlakukan di lingkungan peradilan agama terutama dalam bidang hukum keluarga, kompilasi hukum islam menjamin tercapainya kesatuan dan kepastian hukum, kompilasi hukum islam merupakan langkah awal untuk mewujudkan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional, kompilsai hukum islam merupakan hasil ijtihad kolektif, kompilasi hukum islam mempertegas bentuk sosiologi "unity" (satu keseragaman ) dari hukum islam. Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan salah satu dasar hukum bagi hakim di Pengadilan Agama (PA) dalam memutuskan perkara. Salah satu bagian yang diatur dalam KHI adalah tentang hukum waris. Khusus islam tersebut terdapat pada buku II dan tiga buku yang ada, yaitu Buku I Kewarisan Islam yag terdapat pada Buku II dan Kompilasi Hukum Islam tersebut sudah meliputi aspek-aspek bahasan tentang hukum kewarisan, misalnya tentang ahli waris, pewaris, harta warisan, dan lain sebagainya. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 171 sampai Pasal 193, serta Pasal 209 tentang wasiat wajibah dengan rincian yakni: Pasal 171, tentang Ketentuan Umum, Pasal 172, tentang Ahli Waris, Pasal 173, Pasal 174, Pasal 175, Pasal 176, tentang besarnya bagian, Pasal 177, Pasal 178, Pasal 179, Pasal 180, Pasal 181, Pasal 182, Pasal 183, Pasal 184, Pasal 185, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 188, Pasal 189, Pasal 190, Pasal 191, Pasal 192 tentang Aul dan Rad, Pasal 193 dan Pasal 209.

Jadi dapat disimpulkan berdasarkan pasal diatas pokok-pokok hukum kewarisan islam dalam kompilasi hukum islam yaitu:

  • Secara umum serupa dengan Faraidh.
  • Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai hukum kewarisan yang diatur dalam KHI berpedoman pada garis-garis hukum faraidh, penggunaan asas qath'i lebih mendominasi perumusannya, dan seluruhnya didasarkan pada garis rumusan nash yang terdapat dalam al-Qur'an.
  • Wasiat wajibah bagi anak angkat.
  • KHI tidak mengadopsi ketentuan hukum Adat yang menyamakan hak dan kedudukan anak angkat dengan status anak kandung. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 171 huruf h.
  • Bagian anak laki-laki dan anak perempuan tidak mengalami reaktualisasi. Kepastian ini berpegang pada nash Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 11.
  • Penertiban warisan bagi anak yang belum dewasa.

  • Sebelum adanya KHI, belum ada penertiban di kalangan masyarakat islam atas perolehan harta warisan yang diterima anak yang belum dewasa. Pengurusan dan pemeliharaanya diserahkan berdasarkan hanya kepada kepercayaan salah seorang saja tanpa melibatkan pengawasan dan pertanggungjawaban. Akhirnya ketika ahli waris anak sudah dewasa warisan yang harusnya diberikan kepadanya sudah lenyap dihabiskan oleh pemelihara. Dalam mengantisipasi lenyapnya harta warisan saat sah ahli waris anak sudah dewasa maka KHI melalui Pasal 184 menggariskan suatu kepastian penegakan hukum untuk menjamin terpelihara dan keutuhan harta warisan yang menjadi bagian anak yang belum dewasa diangkat wali. Pengangkatan wali berdasarkan putusan hakim (pengadilan). Menurut Pasal 107 KHI perwalian berlangsung sampai anak berumur 21 tahun. Pasal 107 ayat (2), perwalian meliputi diri dan harta kekayaan anak. Pasal 107 ayat (4), wali sedapat mungkin dari keluarga anak. Pasal 110 ayat (2), wali dilarang mengikat, membebani, mengasingkan harta orang yang berada dibawah perwalian. Pada pasal 110 ayat (3), wali bertangguang jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya.
  • Pada pasal 110 ayat (4), pertanggungjawaban wali harus dibuktikan dengan pembukuan yag ditutup setiap satu tahun sekali. Terdiri dari modifikasi plaatsvervuling (ahli waris pengganti). Yang berisi pasal 185 berbunyi KHI melembagakan plaatsvervulling ke dalam hukum islam. Berbicara mengenai pelembagaan ini terdapat beberapa hal yang penting yakni:
  • Pelembagaan plaatsvervulling melalui pendekatan kompromistis dengan hukum adat dan nilai- nilai hukum eropa.
  • Penerimaan lembaga ini tidak secara bulat, tetapi dalam bentuk modifikasi dalam acuan penerapan.

Selanjutnya bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Jika ahli waris pengganti seorang saja dan ayahnya hanya mempunyai seorang saudara perempuan, agar bagiannya tidak lebih besar daripada bagian saudara perempuan ayahnya. Harta warisan dibagi dua antara ahli waris pengganti dengan bibinya. Pelembagaaan ini mempunyai motivasi tersendiri yaitu ahli waris pengganti didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan. Memang sangat tidak adil jika menghukum seseorang tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh oleh ayahnya, hanya faktor kebetulan ayahnya lebih dulu meninggal daripada kakeknya, ditambah lagi jika faktanya saat kakek meninggal anak-anaknya semua sudah kaya dan mapan, sedangkan si cucu ditinggal yatim, melarat dan miskin. Dari situ dapat dikatakan jika ayah angkat berhak 1/3 bagian sebagai wasiat wajibah. Tetapi dalam hukum islam, tidak ada hubungan waris-pewaris antara anak angkat dengan orang tua angkatnya begitu pula sebaliknya orang tua angkat dengan anaknya. Tetapi hal ini diberikan melalui wasiat wajibah, ebagimana tercantum ketentuannya dalam Pasal 109 ayat (2) KHI. Di dalam penertiban dan penyeragaman hibah bab IV, buku II, diatur mengenai hibah. Pada dasarnya apa yang diatur dalam KHI hampir sama nilai-nilai normanya dengan yang terdapat dalam hukum adat dan hukum Eropa. Namun dalam perumusan hukum hibah yang diatur KHI mengalami modifikasi dan ketegasan kepastian demi untuk terciptanya persepsi yang sama baik bagi aparat penegak hukum maupun bagi anggota masyarakat.

Modifikasi tersebut diantaranya adalah:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun