BOOK REVIEW
Â
Judul : MAWARIS HUKUM WARIS ISLAM
Penulis : Dr. Aunur Rahim Faqih, S.H., M.Hum.
Penerbit : UII Press Yogyakarta
Buku tulisan Dr. Aunur Rahim Faquh, S.H., M.Hum. yang berjudul "Mawaris Hukum Islam"mendiskripsikan tentag mawaris dalam hukum islam mulai dari tinjauan hukumnya, dasar hukum dan asas nya, sebab mewarisi, harta peninggalan, wasiat, pembagian harta warisan, ashabah, dzawul furudh, ahli waris arham dan penyelesainya, status keraguannya, hukum positifnya, serta dalam KHII. Di dalam hukum islam terdapat mawaris karena hal tersebut merupakan hal penting dalam mengurus hak kepemilikan, bukan hanya tentang hak kepemilikan saja tetapi juga membahas hukum islam di dalamnya.
Ada banyak sekali di dalam masyarakat yang menerapkan hukum Islam mawaris ini. Sehingga para masyarakat juga mudah untuk mengetahui mawaris di dalam hukum islam ini. Yang pertama yaitu mengenai hukum waris islam merupakan ilmu yang mempelajari warisan atau bisa juga disebut dengan arti bagian yang telah ditentukan kadarnya. Secara istilah juga berarti untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditetapkan dan ditentukan besar kecilnya oleh syara'. Waris menurut hukum islam sendiri yaitu sebuah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik berupa benda berwujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yan dinyatakan berhak menurut hukum. Dengan demikian proses pewarisan harta kekayan kepada ahli waris pada waktu pewaris masih hidup tidak dipadang sebagai waris. Batasan tersebut menegaskan juga bahwa menurut hukum islam, yang tergolong ahli waris hanyalah keluarga, yaitu yang berhubungan dengan pewaris dengan jalan perkawinan.
Mengenai hukum waris islam sendiri merupakan seperangkat ketentuan yang mengatur cara-car peralihan hak dari seorang orang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan- ketetuan tersebut berdasarkan wahyu ilahi yang terdapat dalam al-qur'an dan penjelasaannya diberikan oleh nabi muhammad saw. Dalam istilah bahasa arabdisebut faraidl. Jadi bisa dikatakan hukum waris islam merupakan hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, dan juga menetapkan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris, dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan. Sedangkan menurut sistem hukum perdata non islam dapat disimpulkan, bahwa hukum waris ialah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
Sedangkan jika dilihat menurut hukum adat waris di indonesia terdapat pengaruh garis keturunan dalam pemberlakuan penetapan ahli waris maupun bagian harta peninggalan yang diwariskan. Pada prinsip tersebut bisa berupa patrilineal murni, patrilineal beralih-alih, matrilineal maupun bilateral dan prinsip unilateral berganda. Selain itu juga di dalam hukum waris ini mempunyai tujuan yaitu agar dapat menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama agar dapat menghindari jika ada pihak yang dirugikan. Tetapi juga ada dimana orang yang menghalalkan segala cara agar mendapatkan warisan. Harta kekayaan merupakan sebuah harta yang menjadi keinginan semua manusia. Dari sini dapat dikatakan bahwa mempelajari hukum waris itu berfaat sekali bagi diri sendiri maupun orang lain. Serta juga dapat membawa manfaat bagi orang lain dalam kasus penyelesaian pembagian harta warisan keluarga dan jika diliat secara luas juga membantu masyarakat dalam penyelesaian dalam pembagian harta.
Hukum waris juga mempunyai urgensi dan fungsi hal ini membuktikan bahwa uruan waris merupakan hal yang sangat penting dalam islam. Islam juga menghapus hukum waris yag berlaku pada masa jahiliyah karena pada masa itu hukum waris tidak mempunyai unsur keadilan. Jadi pada bagian ini hukum waris islam menjelaskan seluruh unsur keadilan di dalam hukum waris islam. Terdapat tiga hal yang mendasari dalam pembagian harta pada masa jahiliyah yaitu: Al-qarabah (Pertalian Kerabat), Al-Hilf wa Al-Mu'aqqadah (Janji Setia), At-Tabanni (Adopsi). Di samping itu negara indonesia juga menganut sistem pluralisme yang di dalamnya berisi berbagai macam agama dan kepercayaan yang mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem dan keturunan yang berbeda-beda. Pada sistem keturunan ini berpengaruh terhadap sistem waris dalam masyarakat tersebut.
Sifat kekeluargaan yang dimiliki negara indonesia merata di wilayah: Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok. Dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara suami dan isteri dalam perihal kedudukannya dalam keluarga masing-masin. Akibatnya dari perkawinan tersebut si suami menjadi anggota keluarga si isteri dan si isteri menjadi anggota keluarga si suami, jadi masing- masing mempunyai dua kekeluargaan. Dalam perbedaan sifat kekeluargaan itu memberikan konsekuensi terhadap perbedaan pembagian warisannya. Tetapi hal tersebut berbeda pada orang indonesia tetapi bukan orang indonesia asli, seperti orang Tionghoa dan Eropa yang menganut pada hukum Burherlijk Wetbook.
Di dalam aliran hukum waris di indonesia terdapat suatu hukum tentang hukum warisan yang diterapkan bagi seluruh warga indonesia masih ada yang berbeda karena mengingat adanya penggolongan warga negara. Yang mana terdiri dari warga negara indonesia asli yang masih berpegang prinsip pada hukum adat, Warga  negara indonesia  yang asli beragama islam memegang prinsip hukum waris islam sesuai ketentuannya, dan bagi orang Arab sendiri berlaku hukum islam secara keseluruhan, sedangkan bagi orang Tionghoa dan Eropa berlaku hukum warisan dari Bugerlijk Wettbook (BW).
Hukum waris ini juga mempunyai dasar hukum waris islam dan asas-asasnya dasar yang pertama adalah Al-Qur'an yang mana di dalamnya menjelaskan ketentuan- ketentuan fard tiap-tiap ahli waris. Sejumlah frad juga sudah diatur secara jelas dalam Al-Qur'an seperti menyangkut tentang tanggung jawab orang tua dan anak ditemui dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 233, menyangkut harta pusaka dan pewarisnya ditemui dalam QS. An-Nisa (4) ayat 33 dll, tentang aturan pembagian harta warisan ditemui dalam QS. An-Nisa ayat 7,14, 34 dan 176., serta tentang penjelasan tambahan mengenai waris berisi pengertian pembantu. Selanjutnya sesuai dengan sunnah rasul juga menyebutkan ketentuan- ketentuan mengenai waris meskipun didalam Al-Qur'an telah disebutkan secara rinci. Di dalam asas-asas hukum waris ada bagian ijbra, bilateral, individual, keadilan berimbang, prinsip bilateral, akibat kematian.
Dan dalam prinsip nya hukum waris islam mempunyai prinsip yang dapat disimpulkan yaitu pertama,hukum waris islam menempuh jalan tengah dengan memberi kebebasan kepada seseorang. Kedua, yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu pernyataan menerima secara suka rela atau atas keputusan hakim. Ketiga, warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Sebab-sebab waris mewaris ada beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya proses waris dalam islam yaitu tiga hal yakni: sebab hubungan kerabat/nasab, perkawinan, dan wala (memerdekakan budak).
Yang pertama masuk ke hubungan kekerabatan (nasab) yang dimana menjadi salah satu sebab dapat beralihnya harta, dari seorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup dikarenakan ada hubungan nasab. Yang kedua tentang hubungan perkawinan dengan artian suami menjadi ahli waris bagi istrinya yan meninggal dan isteri juga menjadi ahli waris bagi suami yan meninggal. Yang ketiga, hubungan Al-wala yaitu waris mewarisi karena kekerabatan hukum yang timbul karena membebaskan budak. Yang keempat, hubungan sesama islam maksudnya terjadi apabila seseorang yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya diserahkan kepada perbendaharaan umum atau disebut baitul maal.
Terdapat juga syarat warisan yang dimana ada kaitannya dengan sebab seseorang mewarisi. Adapun sebab seseorang tidak mendapatkan warisan yang pertama karena halangan waris maksudnya ada hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena adanya sebab sehingga tidak dapat menerima hak waris, misalnya pembunuhan,perbedaan agama, perbudakan, serta berlaianan negara. Selanjutnya karena adanya beberapa kelompok yang menjadi penghalang waris, hilangnya hak mewarisi mungkin karena haknya secara keseluruhan atau sebagian yaitu bergeser dari bagian yang besar menjadi bagian yang lebih kecil. Mengenai harta peninggal di dalam hukum waris islam atau yang bisa disebut "tirkah".
Tirkah sendiri mempunyai arti nominal jadi seluruh yang ditinggalkan mayit berupa harta dan hak- hak yang tetap secara mutlak. Di dala tirkah mencakup 4 hal yaitu kebendaan, hak-hak yang mempunyai nilai kebendaan, beberapa tindakan yang oleh si mayit saat hidup seperti menyimpan khamar, diyat (denda) yang dibayarkan kepada oleh pembunuh yang melakukan pembunuhan karena khilaf. Selanjutnya hak- hak yang terkait dengan harta peninggalan diantaranya ada hak yang menyangkut kepentingan mayit sendiri seperti untuk biaya pengurusan jenazah, hak yang menyangkut kepentingan para kreditur atau untuk membayar hutang pewaris, hak yang menyangkut kepentingan orang yang menerima wasiat atau untuk memenuhi wasiat pewarisnya, dan hak para ahli waris.
Wasiat sendiri mempunyai arti yaitu pesan seseorang untuk menyisihkan sebagian harta bendanya untuk orang yang ditentukannya dan pelaksanannya terjadi sesudah ia meninggal dunia. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara wasiat dan pemilikan harta lainnya seperti jual beli dan sewa menyewa, karena pemilikan dalam kedua bentuk akad yang disebutkan terakhir bisa berlaku ketika yang bersangkutan masih hidup. Tetapi berbeda dengan hukum islam dalam hukum perdata sendiri memiliki art hibah yang tidak dibatasi berapa besarnya, sedangkan dalam hukum islam besarnya wasiat paling banyak hanya 1/3 (satu per tiga) harta peninggalan. Menurut Oemarsalim, jika wasiat (testament) menetapkan penghibahan barang tertentu diberi sebutan "legaat", sedangkan menurut Syi'ah Imamiyah, wasiat boleh untuk ahli waris maupun bukan ahli waris, dan tidak tergantung pada persetujuan ahli waris lainnya, sepanjang tidak melebihi 1/3(sepertiga) harta warisan.
Dasar hukum wasiat memang kuat dalam syariat islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Hukum dalam melakukan wasiat juga ada dalam hukum islam yang dimana di dalam nya mengatakan bahwa wasiat itu hukumnya wajib selain itu dikatakan juga bahwa sebelum harta waris dibagikan keoada ahli waris setelah dilaksanakan wasiat dan dibayar utang orang yang meninggal itu. Selanjutnya pada rukun dan syarat wasiat yaitu terdiri dari orang yang mewasiatkan (mushi), orang yang menerima wasiat (musha lah), harta yang diwasiatkan (musha hih), lafal ijab dan qabul (shig[hat). Batalnya wasiat bisa terjadi jika tidak memenuhi segala rukun dan persyaratan, atau tidak terpenuhi salah satu rukun dan  persyaratannya maka wasiat dianggap batal dan tidak sah, karenanya tidak menimbulkan akibat hukum apa pun. Adapun pencabutan wasiat juga sudah diatur dalam pasal 199 kompilasi hukum islam. Wasiat dilakuan dalam keadaan tertutup, selain itu juga dalam hukum islam ini ada ketentuan wasiat yang lainnya seperti teknis pelaksanaan wasiat, larangan wasiat. Adapun wasiat bagi anak angkat dalam ketentuan hukum ini bermanfaat bagi anak dari anak laki-laki yang meninggal atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah.
Dalam pembagian harta warisan terdapat tata cara perhitungan warisan yaitu pertama, menghitung harta warisan dengan sistem asal masalah. Kedua, menghitung harta warisan dengan sistem perbandingan. Di dalam nya juga menjelaskan tentang masalah 'aul yang artinya bertambahnya jumlah ashabul furudh yang menyebabkan hak waris berkurang. Selain itu ada raad yakni mengembalikan sisa harta warisan setelah adanya pembagian tetap kepada ashabul furudh secara proposional apabila tidak ada ashabah. Â Ada juga pembagian malasah akdariyah, masalah takharruj, masalah munasakhah, dan koreksi asal masalah.
Adapun bagian asabah yakni ahli waris yang mendapat harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan. Ashabah terdiri dari 2 bagian yaitu ashabah nin nafsi yaitu laki-laki yang bernisbah kepada mayit tanpa perempuan. Sedangkan ashabah bil ghair yaitu ahl waris yang menerima bagian dari sisa karena bersama-sama dengan ahli waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada maka ia tetap menerima bagian tertentu. Ashabah ma'al ghair yaitu ahli waris yang menerima bagian ashabah karena bersama ahli waris lain yang bukan penerima bagian ashabah.
Ada juga bagian dzawil furudh merupakan bentuk mufrod (tunggal) dari furudh, yang dalam artinya bagian yang sudah ditentukan jumlahnya untuk waris dari harta peninggalan, baik dengan nash ataupun dengan jalan ijma. Di dalamya terdapat hak dzawil furudh seperti, dzawil furudh yang berhak menerima setengah (Nishf) harta, dzawil furudh yang berhak menerima seperempat (Rubu') harta, dzawil furudh yang berhak menerima seperdelapan (Tsumun) harta, dzawil furudh yang berhak menerim dua pertiga (Tsulutsani) harta, dan dzawil furudh yang berhak menerima sepertiga (Tsulust) harta, dzawil furudh yang berhak menerima seperenam (Sudus) harta. Selain itu ada ahli waris dzawil arham dan penyelesainnya, dzawil arham sendiri mencakup secra umum seluruh keluraga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, baik yang termasuk ahli waris golongan ashabul furudh, ashabah maupun golongan lain. Cara pembagian waris dzawil arham dibagi dalam tiga golongan.
Golongan pertama, mazhab ahlul qarabah, golongan kedua, madzhab ahlu al- tanszil, golongan ketiga, madzhab ahlur rahim. Selanjutnya pada warisan ahli waris yang statusnya diragukan yang pertama ada warisan anak hasil zina yang dimana para ulama telah sepakat bahwa seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah, jika anak tersebut dilahirkan kurang dari waktu enam bulam setelah akad perkawinan, sebab karena tenggang waktu yang pendek yang harus ada antara kelahiran anak dengan perkawinan adalah enam bulan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa jika ada anak yang lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya melaksanakan nikah, maka anak tersebut tidak dpat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah. Selanjutnya warisan anak li'an, hukum anak li'an dalam kewarisan sama dengan hukumannya untuk anak zina. Tidak ada kewarisan antara sang anak li'an dengan ayahnya dan kerabat-kerabatnya, karena seorang hakim telah menetapkan bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan darah dengan ayahnya dan menghubungkannya dengan ibunya.
Adapun warisan orang hilang (mafqud) mengenai pembagian harta waris terhadap masalah oran yang hilang (mafqud) ini para ulama juga berpendapat menyamakan pembagiannya seperti pembagian waris dengan jalan perkiraan, seperti khuntsa dan anak yang berada dalam kandungan. Warisan orang yang mati serentak dalam kasus hal ini para ahli hukum islam juga menjelaskan bahwa diantara mereka tidak boleh saling mewarisi. Adapun alasan mengenai penjelasan tersebut adalah disebabkan syarat-syarat (siapa yang mejadi pewaris dan yang menjadi ahli waris) tidak dapat diketahui, denan demikian harta warisan mereka hanya dapat diberikan kepada ahli waris mereka masing-masing yang masih hidup. Selain itu para ahli hukum islam juga menggunakan atsar (ucapan atau perbuatan sahabat nabi) yang diriwayatkan oleh Sa'ad dari Ismail bin 'Iyas dan Yahya bin Sa'id. Pendapat kedua menurut Umar, Ali, Imam ahmad mengatakan bahwa mereka yang mengalami kecelakaan bersama itu saling mewarisi. Ada juga warisan orang yang tertawan (asir) merupakan orang yang ditawan karena ditangkap atau kalah dalam suatu peperangan. Maka dalam penyelesaian hukum waris orang yang tertawan ini sangat dibutuhkan peranan hakim dalam meutuskan status dan keberadaannya ditepuh upaya untuk mendapatkan informasi mengenai orang yang tertawan tersebut.
Sedangkan Khunsa merupakan orang yang diragukan apakah orang itu laki-laki atau perempuan, selanjutnya dzawil arham di dalamnya terdapat tiga pendapat yaitu pendapat Ahl Al-qarabah, pendapat Ahl at-tanzil, dan pendapat Ahl ar-Rahim. Anak yang masih dalam kandungan belum dapat dipastikan hidup atau tidak, serta belum dapat dipastikan saat ia lahir berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Hal inimenjadi sangat penting dalam hal pembagian harta warisan si pewaris dan penentuan porsi warisannya. Dan pada pusaka anak pungut ialah anak yang dipungut dari jalan raya, atau sebagainya yan ditinggalkan oleh ibu dan ayahnya, sedang ibu, ayah atau keluarga lainnya tidak diketahui. Hukum waris islam mempunyai sejarah tersendiri ditambah dengan masuknya hukum islam ke indonesia mampu dengan cepat beradaptasi dan tidak menimbulkan benturan budaya dengan adat istiadat lokal yang sebelumnya sudah tercipta. Sejarah yang berkembang di indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah islam itu sendiri. Ada perbedaan pendapat di kalangan para pakar mengenai masuknya islam ke indonesia. Perbedaan teori terdapat di dalam sejarah berkembangnya islam menyebutkan bahwa islam masuk pertama kali ke indonesia pada abad ke-12 dari Gujarat bukan dari Arabia.
Kedua, teori yang dikembangkan menyatakan bahwa islam datang dari Bengal. Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya pada Abad ke-11 M. Tepatnya dari pantai timur, bukan dari barat (Malaka), melalui Canton, Phantang (Vietnam), Leran, dan Trengganu. Teori ketiga, menyatakan bahwa islam datang ke indonesia langsung berasal dari Arab, tepatnya Hadhramaut. Selanjutnya islam  abab XII M dilakukan oleh para pedagang yang datang dari pantai Malabar, pantai Karamandel termasuk, dari Gujarat. Peran ulama dalam perkembangan hukum islam pada era sebelum kemerdekaan, peranya di fokuskan peran ulama seperti Sultan Maliki Zahir dari Samudera pasai adalah seorang ahli agama dan hukum islam terkenal pada abad ke-14 Masehi. Melalui kerajaan ini hukum islam disebarakan ke kerajaan- kerajaan islam lainnya di kepulauan nusantara. Kedua, Hamzah Fanshuri dan Syamsudin As-Sumtrani adalah dua orang guru-murid yang merupakan pelopor dari tasawuf Panteisme. Ketiga, Nuruddin menulis buku hukum islam dan beliau juga telah menjalin lama dengan Sultan Iskandar Muda II. Keempat, Abd al-Rauf merupakan seorsng ulama yang berpikiran cukup moderat, kompromis. Dan pada hukum kewarisan islam pada masa kemerdekaan, di indonesia sampai sekarang ini belum terdapat suatu kesatuan hukum tentang hukum kewarisan yang ditetapkan untuk seluruh warga negara indonesia. Oleh karena itu hukum kewarisan yang ditetapkan kepada seluruh warga negara indonesia masih berbeda-beda. Adapun dampak dari adanya pluralisme tersebut adalah pemberlakuan hukum kewarisan di indonesia terdiri dari tiga macam yakni: hukum kewarisan menurut islam ialah hukum kewarisan yang bersumber dari Al-Qur'an, Hadits, Ijma dan Qiyas. Hukum kewarisan menurut KUHPerdata yang mana sudah diatur dalam buku II titel 12 sampai  dengan 18, paal 830 sampai dengan 1130. Hukum kewarisan menurut hukum adat yang mana dikenal pada pembagian warisan secara adat, diantaranya: sistem kewarisan individal, sistem kewarisan kolektif, sistem kewarisan mayorat.
Selanjutnya penerapan hukum kewarisan islam di pengadilan agama pada era kemerdekaan berdasarkan pasal 29 UUD 1945 yang mana kedudukan hukum islam diakui keberadaannya di dalam sistem hukum di indonesia. Hal itu sejalan dengan pemikiran Hazairin bahwa sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang terdapat didalam UUD 1945 dan dijadikan garis hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945 tersebut. Karena terdapat beberapa penafsiran terhadap ketentuan pasal 29 ayat (1) yang berbunyi "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa" yang mana berisi diantaranya: Pertama, dalam negara republik indonesia tidak boleh berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah islam bagi umat islam, kaidah-kaidah nasrani bagi umat nasrani, kaidah-kaidah bagi orang hindu, dan kaidah-kaidah budha bagi orang budha. Kedua, negara republik indonesia wajib menjalankan syariat islam bagi orang isla, syariat nasrani bagi orang nasrani, syariat hindu bagi orang hindu dan syariat budha bagi orang budha yang sepanang pelaksanaanya membutuhkan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara, setiap pemeluknya wajib menjalankan sendiri.
Adapun hukum waris menurut kompilasi hukum islam (KHI) hukum islam merupakan salah satu hukum yang ada di indonesi, dalam artian hukum islam menjadi salah satu norma hukum bagi upaya pembentukan hukum nasioanal termasuk di bidang kewarisan. Terbentuknya hukum islam mengenai hukum keluarga islam terutama dalam kewarisan islam yang tertuliskan sudah lama sebagaimana semenjak adanya peradilan agama yang mempunyai wewenang menyelesaikan masalah-masalah hukum menjadi sangat diperlukan adanya satu kompilasi hukum tertulis yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan oleh para hakim, karena kitab-kitab hukum yang ada sekarang dianggap terlalu banyak dan beragam. Hal tersebut berpengaruh terhadap penjatuhan putusan yang beragam dalam perkara yang sama sehingga tidak tercapai suatu kepastian hukum. Beberapa kitab hukum islam yang bisa dijadikan sebagai rujukan bagi hakim dalam memutus perkara agar terdapat kesatuan hukum diantaranya: Al-Bajuri, Fathul Mu'in, Syarqowi ala at-Tahrir dan lain sebagainya.
Yang menjadi dasar utama penyusunan kompilasi hukum islam sesuai dengan intruksi presiden Nomor 154 Tahun 1991. Hal tersebut menunjukkan upaya fungsional ajaran islam sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat dan sebagai upaya mengakhiri propaganda dari keberlakuan hukum islam. Oleh karena itu pembentukan kompilasi hukum islam memiliki beberapa tujuan diantaranya: melengkapi pilar peradilan agama, menyamakan persepsi penetapan hukum, mempercepat proses taqribi bainal ummah, menyingkirkan paham private affain. Kompilasi hukum islam sendiri mempunyai pengertian sekumpulan hukum islam yang ditulis dalam bentuk pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga komponen materi hukum yaitu hukum perkawinan (710 pasal) hukum kewarisan dan hibah (44 pasal) dan hukum perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebu. KHI disusun melalui jalan yang sangat panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik yang terjadi di negeri ini dari masa ke masa.
Terdapat beberapa hikmah yang dapat diambil dari penyusunan kompilasi hukum islam, diantaranya: hukum islam pemberlakuannya serupa hukum positif dan diberlakukan di lingkungan peradilan agama terutama dalam bidang hukum keluarga, kompilasi hukum islam menjamin tercapainya kesatuan dan kepastian hukum, kompilasi hukum islam merupakan langkah awal untuk mewujudkan kodifikasi dan unifikasi hukum nasional, kompilsai hukum islam merupakan hasil ijtihad kolektif, kompilasi hukum islam mempertegas bentuk sosiologi "unity" (satu keseragaman ) dari hukum islam. Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan salah satu dasar hukum bagi hakim di Pengadilan Agama (PA) dalam memutuskan perkara. Salah satu bagian yang diatur dalam KHI adalah tentang hukum waris. Khusus islam tersebut terdapat pada buku II dan tiga buku yang ada, yaitu Buku I Kewarisan Islam yag terdapat pada Buku II dan Kompilasi Hukum Islam tersebut sudah meliputi aspek-aspek bahasan tentang hukum kewarisan, misalnya tentang ahli waris, pewaris, harta warisan, dan lain sebagainya. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 171 sampai Pasal 193, serta Pasal 209 tentang wasiat wajibah dengan rincian yakni: Pasal 171, tentang Ketentuan Umum, Pasal 172, tentang Ahli Waris, Pasal 173, Pasal 174, Pasal 175, Pasal 176, tentang besarnya bagian, Pasal 177, Pasal 178, Pasal 179, Pasal 180, Pasal 181, Pasal 182, Pasal 183, Pasal 184, Pasal 185, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 188, Pasal 189, Pasal 190, Pasal 191, Pasal 192 tentang Aul dan Rad, Pasal 193 dan Pasal 209.
Jadi dapat disimpulkan berdasarkan pasal diatas pokok-pokok hukum kewarisan islam dalam kompilasi hukum islam yaitu:
- Secara umum serupa dengan Faraidh.
- Secara umum dapat dikatakan bahwa ketentuan mengenai hukum kewarisan yang diatur dalam KHI berpedoman pada garis-garis hukum faraidh, penggunaan asas qath'i lebih mendominasi perumusannya, dan seluruhnya didasarkan pada garis rumusan nash yang terdapat dalam al-Qur'an.
- Wasiat wajibah bagi anak angkat.
- KHI tidak mengadopsi ketentuan hukum Adat yang menyamakan hak dan kedudukan anak angkat dengan status anak kandung. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 171 huruf h.
- Bagian anak laki-laki dan anak perempuan tidak mengalami reaktualisasi. Kepastian ini berpegang pada nash Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 11.
- Penertiban warisan bagi anak yang belum dewasa.
- Sebelum adanya KHI, belum ada penertiban di kalangan masyarakat islam atas perolehan harta warisan yang diterima anak yang belum dewasa. Pengurusan dan pemeliharaanya diserahkan berdasarkan hanya kepada kepercayaan salah seorang saja tanpa melibatkan pengawasan dan pertanggungjawaban. Akhirnya ketika ahli waris anak sudah dewasa warisan yang harusnya diberikan kepadanya sudah lenyap dihabiskan oleh pemelihara. Dalam mengantisipasi lenyapnya harta warisan saat sah ahli waris anak sudah dewasa maka KHI melalui Pasal 184 menggariskan suatu kepastian penegakan hukum untuk menjamin terpelihara dan keutuhan harta warisan yang menjadi bagian anak yang belum dewasa diangkat wali. Pengangkatan wali berdasarkan putusan hakim (pengadilan). Menurut Pasal 107 KHI perwalian berlangsung sampai anak berumur 21 tahun. Pasal 107 ayat (2), perwalian meliputi diri dan harta kekayaan anak. Pasal 107 ayat (4), wali sedapat mungkin dari keluarga anak. Pasal 110 ayat (2), wali dilarang mengikat, membebani, mengasingkan harta orang yang berada dibawah perwalian. Pada pasal 110 ayat (3), wali bertangguang jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya.
- Pada pasal 110 ayat (4), pertanggungjawaban wali harus dibuktikan dengan pembukuan yag ditutup setiap satu tahun sekali. Terdiri dari modifikasi plaatsvervuling (ahli waris pengganti). Yang berisi pasal 185 berbunyi KHI melembagakan plaatsvervulling ke dalam hukum islam. Berbicara mengenai pelembagaan ini terdapat beberapa hal yang penting yakni:
- Pelembagaan plaatsvervulling melalui pendekatan kompromistis dengan hukum adat dan nilai- nilai hukum eropa.
- Penerimaan lembaga ini tidak secara bulat, tetapi dalam bentuk modifikasi dalam acuan penerapan.
Selanjutnya bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Jika ahli waris pengganti seorang saja dan ayahnya hanya mempunyai seorang saudara perempuan, agar bagiannya tidak lebih besar daripada bagian saudara perempuan ayahnya. Harta warisan dibagi dua antara ahli waris pengganti dengan bibinya. Pelembagaaan ini mempunyai motivasi tersendiri yaitu ahli waris pengganti didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan. Memang sangat tidak adil jika menghukum seseorang tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus diperoleh oleh ayahnya, hanya faktor kebetulan ayahnya lebih dulu meninggal daripada kakeknya, ditambah lagi jika faktanya saat kakek meninggal anak-anaknya semua sudah kaya dan mapan, sedangkan si cucu ditinggal yatim, melarat dan miskin. Dari situ dapat dikatakan jika ayah angkat berhak 1/3 bagian sebagai wasiat wajibah. Tetapi dalam hukum islam, tidak ada hubungan waris-pewaris antara anak angkat dengan orang tua angkatnya begitu pula sebaliknya orang tua angkat dengan anaknya. Tetapi hal ini diberikan melalui wasiat wajibah, ebagimana tercantum ketentuannya dalam Pasal 109 ayat (2) KHI. Di dalam penertiban dan penyeragaman hibah bab IV, buku II, diatur mengenai hibah. Pada dasarnya apa yang diatur dalam KHI hampir sama nilai-nilai normanya dengan yang terdapat dalam hukum adat dan hukum Eropa. Namun dalam perumusan hukum hibah yang diatur KHI mengalami modifikasi dan ketegasan kepastian demi untuk terciptanya persepsi yang sama baik bagi aparat penegak hukum maupun bagi anggota masyarakat.
Modifikasi tersebut diantaranya adalah:
Modifikasi tersebut diantaranya adalah:
- Pembatasan secara definitif:
- Tentang umur penghibah minimal 21 tahun.
- Tentang pembatasan secara difinitif kebolehan jumlah harta yang dihibahkan tidak lebih dari 1/3.
- Secara hibah dapat diperhitungkan sebagai warisan.
- Orang tua boleh menarik hibah yang diberikan kepada anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H