Mohon tunggu...
Richard Andrew
Richard Andrew Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Tarumanagara

Seorang Warga Negara Indonesia yang antusias dengan perkembangan Dunia Bisnis, Pendidikan dan Olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Inovasi untuk Para Pengajar agar Turut Merdeka

2 Februari 2020   00:29 Diperbarui: 2 Februari 2020   06:36 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pameran Pendidikan di Ketapang, Kalimantan Barat, dokpri

Program merdeka yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan banyak memberi harapan yang cerah bagi pendidikan Indonesia.  Merdeka belajar memberikan nuansa baru dengan menggantikan ujian nasional dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.  

Selain itu pada merdeka belajar rencana pelaksanaan pembelajaran yang memiliki banyak halaman dikurangi menjadi hanya satu halaman saja dan jalur prestasi pada sistem zonasi ditingkatkan untuk mengakomodir para siswa yang berprestasi di sekolah.

Tidak hanya berhenti sampai disini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali melakukan gebrakan dengan menghadirkan Kampus Merdeka.  Kali ini yang diberikan gebrakan adalah para pengelola pendidikan tinggi berakreditasi A dan B yang diberikan kemudahan untuk membuka program studi baru dengan akreditasi C.  

Tidak hanya itu akreditasi bagi program studi hanya dibutuhkan bagi yang menginginkan kenaikan akreditasi dan belum mendapatkan akreditasi internasional.

Bukan cuma pengelola perguruan tinggi saja, Kampus merdeka menawarkan alternatif bagi mahasiswa untuk mendapatkan 40 sks yang berasal dari program magang selama 1 tahun di luar kampus serta mendapatkan kurang lebih 20 sks yang berasal dari program studi lain sebagai mata kuliah pilihan.  

Misal mahasiswa yang menempuh strata-1 di Manajemen bisa mengambil mata kuliah seperti Desain AutoCAD/Lab (Teknik), Pemograman Phyton/Lab (IT), Animasi Multimedia/Lab (Desain), Audit Kualitatif/Lab (Akuntansi) dan Pengorganisasian Acara/Lab (Komunikasi).

Akan tetapi, inovasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak boleh stop sampai disini saja.  Untuk langkah selanjutnya, ada rekomendasi untuk menciptakan kebijakan Pengajar Merdeka yang inovatif.  

Dalam kebijakan ini terdapat empat program yakni Merdeka Administrasi, Merdeka Asesmen, Merdeka Bersertifikasi dan Merdeka Finansial.  

Untuk merdeka administrasi diharapkan proses administrasi dosen untuk banyak program dijadikan satu seperti penghitungan Jenjang Fungsional dan Beban Kerja per semester disatukan secara otomatis.

Untuk merdeka asesmen, saat ini banyak pengajar dibatasi dengan akreditasi yang memprioritaskan kelulusan peserta didik tepat waktu dan kepangkatan pengajar itu sendiri.  

Akibatnya, banyak  pengajar terpaksa meluluskan peserta didik secara lebih mudah demi meningkatkan nilai akreditasi dan meluangkan waktu lebih untuk menyelesaikan administrasi kepangkatan mereka.  Ini secara tidak langsung dapat menyebabkan lulusan semakin memprihatinkan.  Asesmen yang merdeka dan evaluator yang independen menjadi solusi.

Setelah administrasi dan asesmen merdeka maka selanjutnya yang harus diprogramkan adalah merdeka bersertifikasi.  Banyak tenaga kependidikan muda yang sangat layak untuk menjadi pengajar terbentur dengan proses yang super panjang dari kepengajaran.  

Mulai dari pengurusan Nomor Induk Pengajar Nasional, Jenjang Fungsional Pengajar, Sertifikasi Pengajar, Beban Kerja Pengajar, Administrasi Pra Artikel Ilmiah seperti Laporan Penelitian dan Laporan Pengabdian kepada Masyarakat yang dimonitoring dan dievaluasi berulang.

Dengan adanya hal ini disertai dengan administrasi tambahan dari perguruan tinggi itu sendiri, maka pengajar memiliki keterbatasan waktu untuk aktualisasi diri dan pengembangan diri.  

Jika semua proses ini dilakukan simplifikasi maka pengajar akan lebih merdeka tersertifikasi.  Misal jika Dosen suatu Perguruan Tinggi sudah bersertifikasi maka administrasi artikel ilmiah cukup setelah terpublikasi saja dan pencairan uang penelitian dapat dilakukan dengan batasan tertentu berdasarkan kualitas penerbit artikel ilmiah tersebut sesuai standar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Terakhir, pengajar harus memiliki kemerdekaan finansial.  Masih banyak guru honorer yang dibayar terlalu rendah seperti lulusan S2 yang menjadi hanya dibayar ratusan ribu per bulan.  

Hal ini bisa dibantu dengan Upah Minimum Pengajar berbasis kualifikasi pendidikan tertinggi.  Jika ini terlaksana, maka semua yang berstatus honorer dan tidak tetap juga mendapatkan kesejahteraan yang layak.  

Apalagi jika batasan maksimal untuk mengajar dicabut selama sang pengajar dapat menjalankan tugas dengan optimal, maka kesejahteraan para pahlawan ini dapat membaik seketika.

Terima kasih Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan semoga usulan ini berguna bagi kemajuan bangsa Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun