Isu mengenai kebijakan seragam sekolah menuai polemik besar-besaran di negeri ini, barangkali lebih besar dari pada sengketa Pemilu di Mahkama Konstitusi. Isu ini sempat menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial dan mendapat tanggapan dari Kemendikbudristek sebagai tidak benar melalui pernyataan resmi di akun Instagram Kemendikbudristek.
Menurut Kemendikbudristek, kebijakan terkait seragam sekolah tetap sesuai dengan Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 50 Tahun 2022, yang tidak mengharuskan siswa untuk membeli seragam baru di tahun 2024. Kementerian ini lalu menghimbau masyarakat untuk bijak dalam memilah informasi yang diterima.
Ada benarnya himbauan tersebut tetapi tidak sepenuhnya benar. Jika sudah diklarifikasi, perlukah kita memperdebatkannya? Bangsa ini seperti dikuras tenaganya hanya untuk urusan pertengkaran berbasis isu melulu dari pada mensinergikan kekuatan untuk mewujudkan bonum communae dalam kerja nyata.Â
Namun apa boleh dikata, teori opini publik selalu mengingatkan bahwa opini publik dapat dibangun melalui media-media dan ini penting sebagai kontrol masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang terkadang no sense. Ini berarti pembahasan tentang isu kebijakan seragam sekolah penting untuk mencegah isu ini masuk dalam kebijakan formil.
Menurut Inspektorat Jenderal Kemendikbud Ristek, aturan seragam bertujuan mengutamakan kesetaraan tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi, meningkatkan disiplin, dan menumbuhkan tanggung jawab, nasionalisme, kebersamaan, hingga persatuan siswa (https://www.cnbcindonesia.com/). Benarkah demikian? Kesetaraan seperti apakah yang diidealkan pemerintah? Mari kita uji bersama.
Sejak negara ini mewajibkan seragam sekolah saya berpendapat bahwa negara ini terlalu sibuk mengurus privasi individu. Intervensi negara terlalu jauh masuk dalam ranah-ranah individual dengan alasan kesetaraan.
Konsep kesetaraan telah menjadi salah satu isu yang sangat penting dalam filsafat dan politik selama berabad-abad. Berbagai filsuf dari berbagai tradisi telah menyumbangkan pemikiran mereka tentang apa yang dimaksud dengan kesetaraan, bagaimana kesetaraan harus dipahami, dan mengapa kesetaraan itu penting. Dari semua filsuf yang berfilsafat tentang kesetaraan tidak ada satu pun filsuf yang memahami kesetaraan dicapai melalui keseragaman pakaian.
John Rawls misalnya, ia berargumentasi bahwa prinsip kesetaraan dibangun melalui konsep "posisi asli" dan "selubung ketidaktahuan". Dalam karyanya yang terkenal "A Theory of Justice," Rawls menyatakan kesetaraan harus dipahami dalam konteks keadilan distributif, di mana ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika memberikan manfaat bagi yang paling tidak beruntung dalam masyarakat.
Ada juga Jean-Jacques Rousseau. Secara singkat prinsip kesetaraan bagi Rousseau dipahami dalam konteks kontrak sosial, di mana ketimpangan ekonomi dan sosial dianggap sebagai penghalang bagi kesetaraan yang sejati. Filsuf lain seperti Karl Marx melihat kesetaraan sebagai tujuan akhir dari perjuangan kelas.Â
Baginya, kesetaraan berarti penghapusan kelas sosial dan ekonomi. Marx menekankan kesetaraan ekonomi, di mana semua individu memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan hasil produksi.