Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Paradoks Kesetaraan pada Seragam Sekolah: Sebuah Tinjauan Filosofis

21 April 2024   16:00 Diperbarui: 21 April 2024   16:20 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu mengenai kebijakan seragam sekolah menuai polemik besar-besaran di negeri ini, barangkali lebih besar dari pada sengketa Pemilu di Mahkama Konstitusi. Isu ini sempat menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial dan mendapat tanggapan dari Kemendikbudristek sebagai tidak benar melalui pernyataan resmi di akun Instagram Kemendikbudristek.

Menurut Kemendikbudristek, kebijakan terkait seragam sekolah tetap sesuai dengan Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 50 Tahun 2022, yang tidak mengharuskan siswa untuk membeli seragam baru di tahun 2024. Kementerian ini lalu menghimbau masyarakat untuk bijak dalam memilah informasi yang diterima.

Ada benarnya himbauan tersebut tetapi tidak sepenuhnya benar. Jika sudah diklarifikasi, perlukah kita memperdebatkannya? Bangsa ini seperti dikuras tenaganya hanya untuk urusan pertengkaran berbasis isu melulu dari pada mensinergikan kekuatan untuk mewujudkan bonum communae dalam kerja nyata. 

Namun apa boleh dikata, teori opini publik selalu mengingatkan bahwa opini publik dapat dibangun melalui media-media dan ini penting sebagai kontrol masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang terkadang no sense. Ini berarti pembahasan tentang isu kebijakan seragam sekolah penting untuk mencegah isu ini masuk dalam kebijakan formil.

Menurut Inspektorat Jenderal Kemendikbud Ristek, aturan seragam bertujuan mengutamakan kesetaraan tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi, meningkatkan disiplin, dan menumbuhkan tanggung jawab, nasionalisme, kebersamaan, hingga persatuan siswa (https://www.cnbcindonesia.com/). Benarkah demikian? Kesetaraan seperti apakah yang diidealkan pemerintah? Mari kita uji bersama.

Sejak negara ini mewajibkan seragam sekolah saya berpendapat bahwa negara ini terlalu sibuk mengurus privasi individu. Intervensi negara terlalu jauh masuk dalam ranah-ranah individual dengan alasan kesetaraan.

Konsep kesetaraan telah menjadi salah satu isu yang sangat penting dalam filsafat dan politik selama berabad-abad. Berbagai filsuf dari berbagai tradisi telah menyumbangkan pemikiran mereka tentang apa yang dimaksud dengan kesetaraan, bagaimana kesetaraan harus dipahami, dan mengapa kesetaraan itu penting. Dari semua filsuf yang berfilsafat tentang kesetaraan tidak ada satu pun filsuf yang memahami kesetaraan dicapai melalui keseragaman pakaian.

John Rawls misalnya, ia berargumentasi bahwa prinsip kesetaraan dibangun melalui konsep "posisi asli" dan "selubung ketidaktahuan". Dalam karyanya yang terkenal "A Theory of Justice," Rawls menyatakan kesetaraan harus dipahami dalam konteks keadilan distributif, di mana ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika memberikan manfaat bagi yang paling tidak beruntung dalam masyarakat.

Ada juga Jean-Jacques Rousseau. Secara singkat prinsip kesetaraan bagi Rousseau dipahami dalam konteks kontrak sosial, di mana ketimpangan ekonomi dan sosial dianggap sebagai penghalang bagi kesetaraan yang sejati. Filsuf lain seperti Karl Marx melihat kesetaraan sebagai tujuan akhir dari perjuangan kelas. 

Baginya, kesetaraan berarti penghapusan kelas sosial dan ekonomi. Marx menekankan kesetaraan ekonomi, di mana semua individu memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan hasil produksi.

Meringkas dari beberapa pendapat di atas, kesetaraan diperoleh melalui distribusi keadilan yang merata termasuk kepada masyarakat yang kurang beruntung (di Indonesia banyak masyarakat yang kurang beruntung), pemerataan Ekosospol dan bahkan yang paling radikal adalah penghapusan kelas untuk kesamaan akses terhadap sumber daya. Sekali lagi kesetaraan bukan diperoleh melalui keseragaman pakaian, apalagi seragam sekolah.

Pencapaian kesetaraan melampaui penyeragaman pakaian sekolah. Belajar dari filsafat Aristoteles tentang hilemorfisme di mana Hyle dan morphe membentuk satu realitas, maka seragam sekolah tidak hadir sebagai salah satu unsur di atas yang membentuk realitas kesetaraan. Oleh karena itu seragam sekolah bukanlah hyle (materi) yang terbentuk dari kesetaraan atau sebaliknya ia bukan morphe (forma) yang membentuk kesetaraan.

Atas dasar refkleksi filosofis di atas, maka menjadikan seragam sekolah sebagai sarana kesetaraan adalah 'omon-omon', justru seragam sekolah adalah paradoks kesetaraan sebab penggunaan seragam sekolah tidak serta merta menghilangkan perbedaan status sosial, latar belakang ekonomi dan budaya melainkan sebaliknya.

Cukup dari perspektif ekonomi saja, seragam sekolah sudah dapat dibuktikan sebagai fakta paradoks kesetaraan. Mewajibkan penggunaaan seragam sekolah kepada siswa/siswi yang memiliki latar belakang ekonomi yang berbeda memberikan beban ekonomi kepada keluarga yang memiliki penghasilan ekonomi rendah. Keluarga yang berkecukupan memandangnya bukan sebagai beban karena tidak berdampak pada sisi ekonomi. Akan tetapi bagi keluarga yang kurang mampu akan menurunkan 'saldo' penghasilan dan jelas ini akan menimbulkan disparitas ekonomi. Jurang pemisah antara kaya dan miskin semakin melebar.

Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan adalah dalil seragam sekolah yang berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Sulit bagi saya untuk menarik sebuah konklusi di atas premis-premis fiktif bahwa penyeragaman pakaian kepada peserta didik dapat menumbuhkan minat belajar yang tinggi. Berkaca dari pengalaman pribadi, ekspresi dan kreativitas diri lebih tercipta dengan bebas jika tidak dihalangi oleh ketidaknyamanan terhadap aturan eksternal yang masuk menjamah urusan privasi.

Saya kira ilmu psikologs juga mengamini hal yang sama. Bahwasannya hambatan perkembangan dan kreativitas remaja dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor psikologis salah satunya adalah tekanan sosial. Tekanan dari luar diri seperti tekanan dari teman sebaya, keluarga, dan atau masyarakat umumnya dapat menjadi hambatan bagi perkembangan remaja. Tekanan dalam masyarakat dapat dipahami berupa seperangkat aturan/regulasi yang mengekang aktualisasi diri.

Ya, aturan seragam sekolah juga belum tentu disukai oleh semua peserta didik yang adalah usia remaja sehingga pasti akan menghambat kreativitas dan pengembangan diri melalui belajar. Pada aras pemahaman ini maka penggunaan seragam sekolah untuk kualitas belajar (pendidikan) adalah keadaan paradoksal.

Apabila seragam sekolah adalah kesetaraan paradoksal, apakah isu ini perlu diformulasikan ke dalam kebijakan publik? Apakah tangan negara harus menjamah jauh ke dalam urusan pakaian? Benar bahwa negara ini bukan negara liberal tetapi urusan seragam pakaian tidak harus didikte oleh negara. 

Menurut saya negara cukup mengatur penggunaan pakaian sekolah (bukan seragam sekolah) sesuai standar etika ketimuran dengan memasukan simbol-simbol kebangsaan. Toh, ada negara di luar sana yang tidak mewajibkan seragam sekolah seperti Kanada atau Amerika Serikat yang prestasi pendidikannya lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Kita tidak harus menelan mentah-mentah apa yang dilakukan negar-negara itu, tetapi setidaknya kita belajar dari bagaimana negara memasukan simbol-simbol negara dan menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam urusan pakaian tanpa harus menimbulkan perdebatan atau resistensi publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun