Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jalan Terjal Kurikulum Merdeka Menuju Kurikulum Nasional

10 Maret 2024   09:52 Diperbarui: 11 Maret 2024   09:13 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala BSKAP Kemendikbud Ristek Anindito Aditomo saat berkunjung ke Bulungan Kaltara melihat langsung implementasi kurikulum merdeka belajar. (Sumber: Kompas.com/Ahmad Dzulviqor) 

Ketika wacana tentang kurikulum merdeka disiapkan menjadi kurikulum nasional bergulir, saya merasa pesimis bahwa kurikulum merdeka dapat bertransformasi menjadi kurikulum nasional. 

Barangkali sebagian besar orang menjadikan wacana ini menjadi hal yang mungkin, tapi bagi sebagian yang lain agak sulit.

Kesulitan yang pertama adalah jabatan Nadiem Makarim sebagai menteri yang membidangi urusan ini tidak mengekal. Sejarah pendidikan di Indonesia memberikan kita pengalaman traumatis bahwa tak ada kurikulum yang abadi di setiap rezim. 

Mengapa demikian? Setiap orang yang dipercayakan menjabati menteri pendidikan senantiasa berlomba-lomba menciptakan produk kurikulum sebagai kurikulum yang terbaik. Seolah-olah ada sebuah stigmatisasi bahwa menteri tanpa produk kurikulum adalah menteri gagal. 

Dengan demikian maka apresiasi terhadap kurikulum sebelumnya tidak akan pernah ada dan justru yang ada hanyalah menegasikan produk kurikulum sebelumnya dan membanggakan kurikulum yang baru sebagai kurikulum yang paripurna.

Gambaran sejarah budaya pendidikan kita di atas sesungguhnya sedang mengintip mas Nadiem Makarim di ujung jabatannya. Siapa yang bisa menjamin bahwa presiden yang baru nanti akan mempertahankan beliau? 

Tidak ada yang pasti bila rekrutmen sumber daya manusia selalu diintervensi oleh politik. Ini yang sering terjadi di negara kita. 

Oleh karena itu mungkin saja kurikulum merdeka tidak berpindah nama menjadi kurikulum nasional melainkan justru berkemungkinan menemukan kematiannya yang mengenaskan pada rezim yang baru. Kalkulasi politik dapat mengubah segalanya.

Pesimis terhadap kurikulum merdeka menjadi kurikulum nasional juga didasari oleh implementasi kurikulum merdeka saat ini. 

Dari perspektif lingkungan kebijakan membuktikan bahwa kurikulum merdeka berjalan sangat lambat di daerah-daerah yang terisolasi dan tingkat kemajuan teknologi yang relatif rendah. 

Kemajuan teknologi akan membantu proses keberhasilan implementasi kurikulum merdeka karena kurikulum tersebut dapat disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan teknologi moderen.

Ada beberapa sekolah dan perguruan tinggi yang berada di lokasi tersebut baru saja mengimplementasikan kurikulum merdeka. 

Penerapannya terkesan paksa oleh karena tuntutan akreditasi yang memasukan kurikulum merdeka sebagai salah satu unsur penilaian. Demi memenuhi kriteria akreditasi maka siap atau tidak siap harus diterapkan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim saat pelantikan menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019). (Foto: KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO) 
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim saat pelantikan menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019). (Foto: KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO) 

Nasib kurikulum ini semakin suram ketika ketidaksiapan tersebut didukung oleh tingkat sumber daya baik sumber daya manusia maupun sumber daya non-manusia. 

Perlu diakui bahwa banyak guru dan dosen di daerah terpencil yang belum memahami secara komprehensif kebijakan kurikulum merdeka. 

Pemerintah nyaris tak pernah hadir secara langsung menemui kampus dan sekolah-sekolah di wilayah tertinggal. 

Pemerintah seakan yakin bahwa 'zoom' bisa mengatasi sekat topografi wilayah yang penuh dengan persoalan budaya, ekonomi, sosial, dan politik. Sementara banyak wilayah yang sama sekali belum tersentuh jaringan teknologi komunikasi.

Kita lupa menyiapkan sumber daya organisasi di daerah semacam ini sebelum menerapkan kurikulum merdeka. 

Alhasil kurikulum merdeka hanya dilihat sebagai persyaratan formil akreditasi dan serentak gagal menimba substansi kurikulum yang katanya membawa banyak berkah.

Dengan kondisi demikian ini maka dapat dipastikan kurikulum merdeka akan menemukan jalan terjal dan cadas-cadas tajam menuju kurikulum nasional. 

Namun demikian ada harapan yang menanti. Apabila rezim yang baru menyisihkan sedikit ruang rasionalitas melampaui kepentingan politik maka jalan terjal ini bakal menjadi sebuah 'tol' menuju kurikulum nasional.

Seandainya mas menteri dipercayakan lagi pada periode berikutnya maka harapan itu perlahan-lahan terjawab. Pemerataan sumber daya harus menjadi prioritas apabila mas menteri ingin keadilan pendidikan terpenuhi di bumi pertiwi ini. 

Apa gunanya dana pendidikan 'buncit' tetapi tidak menyentuh lokalitas yang minim teknologi dan sumber daya. Keadaan ini membuktikan bahwa pendidikan yang berkualitas hanya menjadi  milik orang-orang kota bukan orang-orang desa. 

Jangan memaksakan kurikulum merdeka diterapkan pada daerah-daerah terisolasi apabila kesiapan belum memadai. Mari kita perbaiki kelemahan secara merata sebelum mengantar kurikulum merdeka menuju gerbang kurikulum nasional.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun