Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Debat Pamungkas dan Potensi Pencurian Kebudayaan di Masa Depan

6 Februari 2024   16:16 Diperbarui: 7 Februari 2024   20:10 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita mesti mengakui bahwa debat pamungkas Capres tidak lagi mengharubirukan. Pada debat-debat sebelumnya antagonisme politik hadir dan menjadi roh perdebatan. 

Namun pada debat terakhir, ketiga Capres mampu mengendalikan diri untuk tidak menyerang pribadi dan bersedia menciptakan agonisme politik. Ini adalah sebuah contoh baik untuk perdebatan di masa depan.

Terlepas dari nilai positif yakni agonisme politik yang hadir dalam debat, ada pula yang absen dalam perdebatan tersebut. 

Eksistensi kebudayaan yang merupakan persoalan esensial dan tengah menjadi perebutan negara-negara luar tidak mendapat tempat dalam gagasan-gagasan para Capres.

Selayang pandang masyarakat bangsa ini pernah terluka oleh rentetan pengklaiman beberapa aset warisan kebudayaan oleh negara-negara luar.  Sebagai contoh Batik pernah diklaim oleh Malaysia dan Tiongkok, padahal Batik telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia. 

Wayang Kulit yang juga telah diakui UNESCO pada tahun 2003 sebagai warisan kebudayaan Indonesia pernah diklaim oleh Malaysia pada tahun 2021 lalu. 

Reog Ponorogo, sebuah warisan budaya Indonesia yang kaya akan sejarah dan tradisi juga nyaris 'dicuri' oleh Malaysia dan hingga saat ini persoalan itu belum terselesaikan sepenuhnya. 

Selain itu ada pula beberapa warisan kebudayaan lain yang kerap diganggu oleh Malaysia dan Sri Lanka seperti lagu daerah Rasa Sayang e, Angklung, Tari Pendet dan Tari Piring, Kuda Lumping, Gamelan Jawa, Keris dan Sasando.

Berkaca pada fakta di atas, ada pertanyaan yang muncul mengguncang Keindonesiaan kita. "Betapa lemah ketahanan kita sebagai sebuah bangsa sehingga aset-aset warisan budaya kita sangat gampang 'dicuri' oleh negara-negara luar?"

Pertanyaan retoris di atas sejatinya menggugat kesadaran bangsa akan pentingnya perlindungan dan pengakuan atas warisan budaya yang menjadi identitas kita. 

Kesadaran bangsa mengandaikan adanya kesadaran kolektif dan kesadaran kolektif harus diperkuat oleh rangkaian kebijakan untuk melindungi eksistensi warisan kebudayaan kita. 

Terhadap hal ini maka negara ini membutuhkan calon pemimpin yang memiliki keberpihakan yang jelas terhadap kebudayaan dan memberikan ruang yang cukup untuk perlindungan aset warisan budaya.

Sayangnya, pengarusutamaan keamanan eksistensi warisan kebudayaan yang dituangkan dalam gagasan kebijakan tidak ditemukan dalam perdebatan pamungkas. 

Ketiga Capres yang akan memimpin negeri berbudaya ini sama sekali tidak fokus menjual gagasan konkret dalam upaya menjaga eksistensi warisan kebudayaan dari jamahan tangan-tangan najis negara luar. Sejatinya, ini adalah fakta debat yang menggelisahkan kita.

Tidak ada Capres yang melihat kegelisahan bangsa sebagai pemantik gagasan perlindungan kebudayaan di atas panggung politik. Mereka gagal memanfaatkan panggung itu untuk mengubah cara pandang terhadap budaya di mata publik. 

Dialektika yang dibangun hanya seputar upaya fasilitasi dan penyedia sumber daya untuk para Budayawan dalam rangka pengembangan budaya.

Sebagai contoh, Ganjar Pranowo menyerahkan sepenuhnya urusan kebudayaan kepada pelaku budaya dan pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator. 

Anies Baswedan menggagas pemerintah berperan sebagai pencipta ekosistem yang sehat dan penyalur sumber daya kepada para Budayawan untuk mengembangkan kebudayaan bangsa. 

Berbeda dengan kedua Capres lainnya, Prabowo Subianto sedikit mengena meskipun tak lugas. Prabowo menyentil bahwa pemerintah harus turun tangan menjaga warisan budaya seperti situs-situs, museum, dan istana para Sultan yang tampak mulai reyot.

Fakta 'pencurian' warisan budaya yang kita alami beberapa tahun belakangan harus dilihat sebagai persoalan bangsa yang serius. 

Namun ketika absen dalam dialektika debat maka kemungkinan konsentrasi kebijakan perlindungan warisan kebudayaan di kemudian hari semakin kecil. 

Dengan demikian kita dapat berspekulasi bahwa potensi 'pencurian' aset warisan budaya kita kian bertambah di masa depan. 

Jika demikian maka masyarakat bangsa ini semakin terluka dan akumulasi kekecewaan dapat saja berupa seruan penyerangan terhadap negara-negara 'maling'.

Upaya menekan lajunya para 'maling' melirik aset warisan kebudayaan bangsa kita sedapat mungkin harus ditekan. Apabila absen dalam debat pamungkas maka kita perlu mencari jalan lain. 

Jalan lain yang paling mungkin adalah mengarusutamakan isu 'pencurian' warisan kebudayaan dalam setiap media dan sentilan ringan kepada 'pembisik-pembisik' para Capres. 

Waktu yang sisa di masa kampanye setidaknya dapat dimanfaatkan oleh para Capres untuk menggagas kebijakan yang tegas untuk menekan lajunya intensitas 'pencurian' warisan kebudayaan di satu sisi dan perlindungan yang ketat terhadap warisan kebudayaan di sisi yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun