Pertanyaan retoris di atas sejatinya menggugat kesadaran bangsa akan pentingnya perlindungan dan pengakuan atas warisan budaya yang menjadi identitas kita.Â
Kesadaran bangsa mengandaikan adanya kesadaran kolektif dan kesadaran kolektif harus diperkuat oleh rangkaian kebijakan untuk melindungi eksistensi warisan kebudayaan kita.Â
Terhadap hal ini maka negara ini membutuhkan calon pemimpin yang memiliki keberpihakan yang jelas terhadap kebudayaan dan memberikan ruang yang cukup untuk perlindungan aset warisan budaya.
Sayangnya, pengarusutamaan keamanan eksistensi warisan kebudayaan yang dituangkan dalam gagasan kebijakan tidak ditemukan dalam perdebatan pamungkas.Â
Ketiga Capres yang akan memimpin negeri berbudaya ini sama sekali tidak fokus menjual gagasan konkret dalam upaya menjaga eksistensi warisan kebudayaan dari jamahan tangan-tangan najis negara luar. Sejatinya, ini adalah fakta debat yang menggelisahkan kita.
Tidak ada Capres yang melihat kegelisahan bangsa sebagai pemantik gagasan perlindungan kebudayaan di atas panggung politik. Mereka gagal memanfaatkan panggung itu untuk mengubah cara pandang terhadap budaya di mata publik.Â
Dialektika yang dibangun hanya seputar upaya fasilitasi dan penyedia sumber daya untuk para Budayawan dalam rangka pengembangan budaya.
Sebagai contoh, Ganjar Pranowo menyerahkan sepenuhnya urusan kebudayaan kepada pelaku budaya dan pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator.Â
Anies Baswedan menggagas pemerintah berperan sebagai pencipta ekosistem yang sehat dan penyalur sumber daya kepada para Budayawan untuk mengembangkan kebudayaan bangsa.Â
Berbeda dengan kedua Capres lainnya, Prabowo Subianto sedikit mengena meskipun tak lugas. Prabowo menyentil bahwa pemerintah harus turun tangan menjaga warisan budaya seperti situs-situs, museum, dan istana para Sultan yang tampak mulai reyot.
Fakta 'pencurian' warisan budaya yang kita alami beberapa tahun belakangan harus dilihat sebagai persoalan bangsa yang serius.Â