Kita mesti mengakui bahwa debat pamungkas Capres tidak lagi mengharubirukan. Pada debat-debat sebelumnya antagonisme politik hadir dan menjadi roh perdebatan.Â
Namun pada debat terakhir, ketiga Capres mampu mengendalikan diri untuk tidak menyerang pribadi dan bersedia menciptakan agonisme politik. Ini adalah sebuah contoh baik untuk perdebatan di masa depan.
Terlepas dari nilai positif yakni agonisme politik yang hadir dalam debat, ada pula yang absen dalam perdebatan tersebut.Â
Eksistensi kebudayaan yang merupakan persoalan esensial dan tengah menjadi perebutan negara-negara luar tidak mendapat tempat dalam gagasan-gagasan para Capres.
Selayang pandang masyarakat bangsa ini pernah terluka oleh rentetan pengklaiman beberapa aset warisan kebudayaan oleh negara-negara luar. Â Sebagai contoh Batik pernah diklaim oleh Malaysia dan Tiongkok, padahal Batik telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia.Â
Wayang Kulit yang juga telah diakui UNESCO pada tahun 2003 sebagai warisan kebudayaan Indonesia pernah diklaim oleh Malaysia pada tahun 2021 lalu.Â
Reog Ponorogo, sebuah warisan budaya Indonesia yang kaya akan sejarah dan tradisi juga nyaris 'dicuri' oleh Malaysia dan hingga saat ini persoalan itu belum terselesaikan sepenuhnya.Â
Selain itu ada pula beberapa warisan kebudayaan lain yang kerap diganggu oleh Malaysia dan Sri Lanka seperti lagu daerah Rasa Sayang e, Angklung, Tari Pendet dan Tari Piring, Kuda Lumping, Gamelan Jawa, Keris dan Sasando.
Berkaca pada fakta di atas, ada pertanyaan yang muncul mengguncang Keindonesiaan kita. "Betapa lemah ketahanan kita sebagai sebuah bangsa sehingga aset-aset warisan budaya kita sangat gampang 'dicuri' oleh negara-negara luar?"