Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Fakta Antagonisme Politik dalam Debat Capres III

13 Januari 2024   07:59 Diperbarui: 13 Januari 2024   08:10 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antagonisme politik hadir sebagai antitesis agonisme politik. Sebagai antitesis agonisme politik, antagonisme politik berarti tindakan seorang politisi berupa antipati, kebencian, dan negasi untuk mempertahankan diri dan serentak membinasakan lawan politik. Kebinasaan lawan politik menjadi goal, agar dengan demikian dapat melapangkan jalan menuju kekuasaan.

Antagonisme politik beroperasi dalam wilayah-wilayah hitam dan di sana fatsun dan etika politik sama sekali tidak mendapatkan tempat karena memang didominasi oleh kekerasan. Manusia sebagai subjek dipandang sebagai obyek yang perlu dibinasakan. Dalam bahasa Thomas Hobbes, 'manusia menjadi serigala bagi yang lain' (homo homini lupus). Antagonisme politik bila tidak dikendalikan maka ia akan mendeformasi watak politik manusia menjadi binatang.

Antagonisme politik sebagaimana yang diuraikan ini sejatinya hadir menjadi fakta tak terbantah dalam debat Capres ketiga beberapa hari yang lalu. Debat dengan level yang tinggi karena menghadirkan ketiga calon pemimpin negara ini ternyata tak ubahnya dengan debat-debat amartir lainnya. Begitu gamblang disaksikan bagaimana Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo saling serang dengan menisbihkan peran etika.

Lebih menggelikan lagi adalah serangan demi serangan ternyata tidak bersumber dari data yang valid. Sebagai misal, Ganjar Pranomo dan Anies Baswedan yang melakukan serangan kepada Prabowo Subianto dengan data palsu sebagaimana telah diungkapkan oleh Dahnil Ansar Simanjuntak, Jubir TKN Prabowo-Gibran.

Misalnya Ganjar menyebutkan akan ada pesawat tempur yang dihibahkan dan tidak harus dibeli. Namun berdasarkan checking oleh Kementerian Pertahanan kepada Pemerintah Qatar tentang rencana hibah pada tahun 2009-2012 ternyata Pemerintah Qatar membantahnya.

Selanjutnya Anies Baswedan juga menyerang Prabowo dengan data palsu. Sebagai misal, Anies mengatakan bahwa 700 triliun (Rp) digunakan oleh Kemenhan untuk membeli alusista bekas. Padahal sekalipun secara akumulatif dari tahun 2020-2024 anggaran yang digunakan Kemenhan tidak mencapai 700 triliun (Rp) melainkan 697 triliun (Rp). Anggaran sebesar itu pun tidak digunakan sepenuhnya untuk membeli alusiste bekas melainkan belanja akumluatif semua kepentingan Mabes TNI dan lain sebagainya.

Sedikit berbeda dengan Ganjar dan Anies, Prabowo justru menyerang Anies dengan mengatakan bahwa Anies tidak pantas menanyakan masalah etika terhadap Prabowo. Padahal sesungguhnya persoalan etika adalah salah satu masalah substansial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang melekat pada setiap individu. Sebagai calon presiden, Anies pantas mengarusutamakan masalah etika dalam debat terlepas dari perilakunya baik di depan maupun di belakang panggung.

Aksi debat oleh ketiga Capres tersebut mewajarkan absennya etika dan fatsun politik. Dan hal semacam ini menciptakan antagonisme politik. Antagonisme politik rentan terjadi pada argumentasi politik yang minus rasionalitas dan kental akan sentimen-sentimen primordial. Dengan demikian pertarungan politik tidak ubahnya dengan pertarungan isu-isu rasial, agama, dan fitnah untuk menjelek-jelekan lawan.

Dalam konteks debat Capres ketiga, argumentasi debat yang tidak memiliki data yang valid dan cenderung palsu adalah perwujudan debat yang irasional dan kehilangan dasar akademis plus ilmiah. Dengan begitu argumentasi  debat yang dibangun cenderung argumentasi ad hominem. Praktek debat politik semacam ini jelas-jelas merupakan antagonisme politik yang membodohkan masyarakat dan merusak demokrasi.

Kita mestinya menilai secara jujur dan obyektif bahwa argumentasi yang dibangun di atas dasar data palsu sama halnya dengan fitnah. Begitu pula dengan problem kepantasan pertanyaan mengenai etika adalah perwujudan sentimen pribadi yang kehilangan akal sehat. Praktek-praktek debat yang menghadirkan antagonisme politik seperti yang diuraikan ini merupakan pengerusakan terhadap nalar dan ruang publik.

Fakta antagonisme politik semacam ini diharapkan tidak mendapat tempat lagi di debat berikutnya. Agonisme politik hadir menjadi keniscayaan di debat berikutnya. Masyarakat di negara ini membutuhkan hidangan pemandangan debat yang menghadirkan akal sehat. Masyarakat mendambakan edukasi politik yang melibatkan nalar dan argumentasi yang bersumber dari akal budi. Hal ini mestinya hadir di atas panggung debat Capres. Perdebatan yang membahas kebijakan, kinerja, rekam jejak, visi-misi, kapasitas moral kepemimpinan dan kemampuan manajerial adalah kerinduan publik, dan karena itu harus dipertontonkan di hadapan publik.

Semuanya ini dapat terwujud hanya bila antagonisme politik diganti dengan agonisme politik oleh ketiga Capres di debat berikutnya. Agonisme politik adalah antitesis antagonisme politik. Hasil dari agonisme politik dalam debat politik adalah pemimpin yang dipilih nanti merupakan buah dari proses demokrasi yang sehat, rasional, kualitas, dan etis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun