Ada hubungan yang adekuat antara bisnis, politik dan pola keterkaitan yang dibangun antara keduanya. Ketika bisnis menguasai politik atau sebaliknya politik menguasai bisnis maka ada kemungkinan terjadinya kerusakan gerak pembangunan dan tata perekonomian bangsa dan negara. Kerusakan menguat ketika aktor-aktor yang terlibat di dalamnya baik aktor politik dan pebisnis menjalankan praktek yang hanya menguntungkan diri dan kelompoknya. Â Kasus yang dialami Lukas Enembe, mantan gubernur Papua dan Johny G. Plate bisa diangkat sebagai contohnya. Â
Natasha Hamilton Hart dalam tulisannya yang berjudul "Government and Private Business: Rents, Representation and Collective Action", menegaskan bahwa relasi bisnis dan pemerintah (politik) di Indonesia pada masa reformasi mengalami kepincangan. Kepincangan itu ditandai oleh fenomena kekuatan suara kelompok bisnis untuk lebih didengar oleh pemerintah dan memberikan peluang untuk lebih diakomodir kepentingannya dalam pengambilan kebijakan (Hart, 2007: 97).
Dalam konteks tersebut, kelompok bisnis menjadi salah satu agen input dalam proses politik di eksekutif atau legislatif. Sejak 1998, kelompok bisnis menjadi lebih vokal dalam mengekspresikan opininya atas kinerja pemerintah, kebijakan dan proses legislasi melalui Kamar Dagang Indonesia (Kadin). Kelompok bisnis juga memiliki irisan kepentingan dengan investor luar negeri, melalui agenda privatisasi, liberalisasi dan deregulasi. Di samping itu, kelompok ini juga dapat menekan pemerintah untuk memberikan previlese dan proteksi. Dapat dikatakan bahwa perubahan institusional memberikan pola yang lebih terbuka bagi kelompok bisnis untuk mempengaruhi kebijakan politik secara formal dibandingkan pada masa Orde Baru yang terkesan lebih tertutup.
Meski demikian di masa reformasi ini terdapat pola relasi bisnis dan politik yang dilakukan oleh aktor bisnis dan aktor politik atau pemerintahan sebagaimana dilakukan masa Orde Baru. Dengan kata lain masih ditemukannya pola relasi bisnis dan politik yang diwariskan dari masa sebelumnya ke masa sekarang. Pola relasi tersebut dicirikan dengan adanya aktor ekonomi (pebisnis) yang berusaha melindungi kepentingannya dengan menjalin relasi informal dan individu dengan aktor politik/pemerintahan. Dalam pola relasi antara aktor ekonomi (pebisnis) dan aktor politik/pemerintahan (politisi/birokrat) diperlihatkan pola transaksional yang bersifat predatoris dan bersifat patron-klien, yang dilakukan untuk mendapatkan rent dari pemerintah (Hart, 2007: 99).
Dalam relasi tersebut, karakter relasi patron-klien antara aktor bisnis dengan aktor pemerintah dilakukan dengan pola hubungan yang bersifat informal dan individu. Hal tersebut dilakukan aktor bisnis untuk mendapatkan sejumlah perlindungan, konsesi, dan proyek yang diberikan pemerintah. Para aktor bisnis yang merupakan kapitalis mencari peluang untuk menjadi penerima rente yang diberikan pemerintah dengan menyerahkan sumberdayanya, menawarkan proteksi atau memberikan wewenang untuk jenis-jenis kegiatan tertentu yang diaturnya. Praktek bisnis dan politik tersebut dinamakan rent seeking (pemburu rente).
Perilaku rent seeking ini berkembang karena adanya kerjasama saling menguntungkan antara pemburu rente (pebisnis) di sektor ekonomi dengan kaum predator pembuat kebijakan di sektor publik (politisi, pemerintah, birokrat), yang tidak hanya di kalangan aktor ekonomi dan aktor politik/pemerintah pada tingkat pusat tetapi juga meluas ke daerah dalam lingkungan politik/pemerintahan yang desentralistis.
Praktek rent seeking ini merupakan akar dari munculnya korupsi. Pebisnis membangun pola relasi dengan pemerintah yang membuat kebijakan, dalam prosesnya banyak menghasilkan kesepakatan yang berada di luar struktur lembaga formal. Meskipun sistem politik yang lebih terbuka atau demokratis telah dijalankan, namun dengan adanya kemudahan atau keterbukaan bagi semua pihak untuk berpartisipasi dalam sektor publik membuat praktek rent seeking tetap ada. Kenyataan ini diperkuat dengan hasil studi dari Ari Kuncoro dalam tulisannya yang berjudul 'Corruption and Business Uncertainty in Indonesia' yang menjelaskan bahwa perilaku rent-seeking berfokus pada penyuapan dan market dari produk-produk regulasi pemerintah, seperti izin bisnis, inspeksi keselamatan kebakaran, kepatuhan terhadap peraturan lingkungan, penilaian pajak daerah, pemberian izin, dan inspeksi kontrak lingkungan. Hal-hal yang menjadi perilaku rent-seeking adalah lobi pemerintah untuk proyek tertentu, proteksi industrial dan hak monopoli eksklusif (Kuncoro, 2006: 11).
Praktek rent seeking yang berujung pada korupsi dapat dilihat dalam banyak kasus korupsi yang melibatkan pihak pebisnis (pengusaha) dengan aktor politik/pemerintah (politisi/pemerintah/birokrat) di masa reformasi, seperti kasus BLBI, kasus Bank Century, korupsi terkait Alih Fungsi Hutan, kasus Kuota Import Daging Sapi, Kasus Hambalang, kasus BPPN, Kasus SKK Migas dan sebagainya. Praktek rent-seeking juga dapat ditelusuri dari adanya perburuan atas lisensi dan kemudian berujung pada terjadinya korupsi.
Hal tersebut dilakukan di luar arena formal dan publik, dan juga adanya sejumlah uang yang diberikan dalam proses lobi untuk mempengaruhi penguasa dalam pengambilan kebijakan atau keputusan publik. Bentuk rent seeking seperti ini yang umumnya terjadi dalam pola korupsi di masa reformasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani setidaknya 1.261 kasus korupsi terhitung sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022. Berdasarkan profesi atau jabatan, swasta menduduki peringkat pertama profesi dengan jumlah kasus korupsi terbanyak di Indonesia. Adapun total kasus korupsi yang dilakukan oleh pihak swasta terhitung telah mencapai angka 310 kasus sejak tahun 2004 hingga terakhir 3 Januari 2022 lalu. Anggota DPR dan DPRD menjadi penyumbang kasus korupsi terbanyak berikutnya di tanah air dengan total 310 kasus terjadi sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022. Kedua profesi ini mendominasi jumlah kasus korupsi terbanyak di tanah air dengan total mencapai lebih dari 300 kasus. Sementara itu eselon I/II/III menempati posisi ke-3 dengan total 260 kasus korupsi, diikuti profesi lainnya sebanyak 207 kasus, menempatkannya di posisi ke-4. Adapun posisi ke-5 diraih oleh walikota/bupati dan wakil dengan total 154 kasus korupsi hingga 3 Januari 2022. Beberapa kasus korupsi lainnya juga dilakukan oleh kepala lembaga/kementerian (32 kasus), gubernur (22 kasus), hakim (21 kasus), pengacara (13 kasus), jaksa (10 kasus), komisioner (7 kasus), korporasi (7 kasus), duta besar (4 kasus), dan polisi (3 kasus) Â (https://goodstats.id).
A.K Jain berpandangan bahwa korupsi tersebut merupakan bagian dari rent seeking. Menurutnya esensi rent seeking menjadi korupsi saat dilakukan di luar hubungan publik dan formal, Â pebisnis yang melakukan lobi membayar atau memberikan uang (secara pribadi) ke pejabat publik, dan berkaitan dengan monopoli atas suatu sumber daya (Lambdorf, 2002: 104-106). Pemberian uang tersebut berkaitan untuk mendapatkan sejumlah rent yang merupakan produk kebijakan politik.
Pada masa reformasi juga ditandai dengan adanya pergeseran relasi kekuasaan dari pusat ke daerah melalui kebijakan desentralisasi. Desentralisasi ini memberikan akses pada masyarakat lokal untuk mengelola sumber dayanya secara  mandiri. Dengan itu, beberapa kewenangan berpindah ke daerah. Salah satu implikasinya adalah terjadinya korupsi di tingkat lokal. Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian. ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 -- Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum (https://www.antikorupsi.org/id/korupsi-kepala-daerah). Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya pergeseran dalam relasi kekuasaan, di mana pada rezim sebelumnya kekuasaan dijalankan secara terpusat (sentralisasi) menjadi berubah dengan dijalankannya desentralisasi, yang selanjutnya juga menyebabkan terjadinya pergeseran peta korupsi yang dulunya tersentralisasi kemudian berkembang ke tingkatan-tingkatan yang lebih kecil ke daerah.
Bukan tidak mungkin bila praktek semacam ini terjadi sebelum, pada saat dan sesudah pemilihan umum 2024 nanti. Mewaspadainya merupakan sebuah gerakan untuk menghindari bangsa ini dari kejatuhan pada kerusakan-kerusakan serentak merawat masa depan bangsa. Jika aktor politik dan pebisnis sanggup menahan diri fenomena ini di masa jelang pemilu dan pasca pemilu keniscayaan demokrasi menemui wajahnya yang paling asli. Kebaikan bersama akan dan tentang bangsa ini akan mudah ditemui. Wajah aktor politik dan pebisnis pun akan terselamatkan secara paling paling asali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H