Pada masa reformasi juga ditandai dengan adanya pergeseran relasi kekuasaan dari pusat ke daerah melalui kebijakan desentralisasi. Desentralisasi ini memberikan akses pada masyarakat lokal untuk mengelola sumber dayanya secara  mandiri. Dengan itu, beberapa kewenangan berpindah ke daerah. Salah satu implikasinya adalah terjadinya korupsi di tingkat lokal. Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian. ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 -- Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum (https://www.antikorupsi.org/id/korupsi-kepala-daerah). Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya pergeseran dalam relasi kekuasaan, di mana pada rezim sebelumnya kekuasaan dijalankan secara terpusat (sentralisasi) menjadi berubah dengan dijalankannya desentralisasi, yang selanjutnya juga menyebabkan terjadinya pergeseran peta korupsi yang dulunya tersentralisasi kemudian berkembang ke tingkatan-tingkatan yang lebih kecil ke daerah.
Bukan tidak mungkin bila praktek semacam ini terjadi sebelum, pada saat dan sesudah pemilihan umum 2024 nanti. Mewaspadainya merupakan sebuah gerakan untuk menghindari bangsa ini dari kejatuhan pada kerusakan-kerusakan serentak merawat masa depan bangsa. Jika aktor politik dan pebisnis sanggup menahan diri fenomena ini di masa jelang pemilu dan pasca pemilu keniscayaan demokrasi menemui wajahnya yang paling asli. Kebaikan bersama akan dan tentang bangsa ini akan mudah ditemui. Wajah aktor politik dan pebisnis pun akan terselamatkan secara paling paling asali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H